Politik Dinasti Jokowi

Ilustrasi/Grid.id

Oleh: Muhammad Aufal Fresky*)

Opini, Bengkulutoday.com -  Setiap anak presiden tak lepas dari sorotan publik. Termasuk anak-anak Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep. Untuk yang pertama sudah menjadi wali kota Solo. Sementara Kaesang, kabarnya masih akan mencalonkan sebagai wali kota Depok. Tentu saja, kita tidak bisa menutup mata bahwa politik dinasti itu benar-benar nyata. Saya pribadi tak pernah membayangkan sebelumnya Gibran terjun ke dunia politik, lalu adiknya, Kaesang juga menyusul. Memang, setiap individu memiliki hak yang dijamin oleh konstitusi untuk terlibat langsung dalam politik praktis. Namun, pencalonan anak presiden dalam pilkada tentu saja membuat kita bertanya: apakah mereka pantas dan kredibel menjadi pemimpin di usia yang masih relatif muda? Usia memang bukan patokan dalam segi kepemimpinan seseorang. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa pengalaman dalam dunia politik itu juga bisa menjadi indikator untuk mengukur kematangan seseorang dalam memimpin.

Jokowi bisa saja berkilah bahwa majunya anak-anaknya dalam kontestasi politik tanpa adanya campur tangannya. Alias berangkat dari kemauannya masing-masing. Namun, sekali lagi, anak-anaknya tersebut tidak bisa lepas dari bayang-bayang Jokowi selaku orang nomor satu di negeri ini. Ketika seorang anak presiden mencalonkan diri sebagai wali kota/bupati/gubernur, tentu saja mereka akan selangkah lebih maju dibandingkan dengan kandidat lainnya. Selain modal sebagai ‘anak presiden’, kemungkinan akan ada mobilisasi aparatur sipil negara (ASN) untuk memenangkan anak presiden. Apalagi restu Jokowi terhadap anak-anaknya bisa dimaknai sebagai perintah kepada seluruh aparatur pemerintah untuk mendukung penuh. 

Pencalonan anak presiden sebagai pejabat publik memang menuai pro dan kontra. Ada yang beranggapan bahwa sah-sah saja asalkan tidak melanggar aturan yang berlaku. Dinasti politik adalah sebuah kewajaran, sebab selain sebagai anak presiden, mereka juga warga Indonesia yang memiliki hak politik yang sama dengan yang lainnya. Politik dinasti adalah suatu hal yang normal asalkan tidak menyalahi regulasi KPU atau Bawaslu. Kelompok lainnya menilai politik dinasti sebagai aji mumpung. Meskipun tak punya kapasitas sebagai kepala daerah, selagi ada kesempatan, kenapa tidak dicoba saja. Rakyat dibuat coba-coba. Ketika memimpin, bisa jadi baru belajar menjadi pemimpin. Entahlah. Realitasnya begitulah iklim demokrasi kita hari ini. 

Pengaruh Jokowi tak bisa dilepaskan dalam kemenangan Gibran di Solo. Begitu juga Kaesang yang masih akan mencalonkan diri sebagai wali kota Depok. Anak-anak Jokowi memiliki modal sosial dan jaringan melebihi yang lainnya. Tapi, saya pribadi mengamati, Kaesang ini sebagai sosok pemuda yang memang baru di bidang politik. Tapi, mungkin dia memiliki kapasitas sebagai pemimpin. Kita sendiri masih belum tahu. Apakah dia benar-benar bisa memimpin atau tidak, sebab memang tak ada pengalaman sebelumnya sebagai kepala daerah. Apalagi pengalamannya di dunia politik masih seumur jagung. Kita lihat saja nanti, gagasan apa yang hendak ditawarkan, jika memang benaran nyalon wali kota Depok. 

Saya pun bertanya-tanya, apakah saat ini parpol kekurangan kader sehingga tidak punya calon untuk diikutkan kontestasi politik lokal maupun nasional? Sepertinya, stok kader melimpah. Hanya saja tidak semua kader memiliki modal yang saat ini dimiliki oleh Kaesang. Yaitu sebagai putra presiden. Selain modal finansial, dalam kontestasi politik juga dibutukan modal jaringan, termasuk juga popularitas. Saat ini, hampir semua orang sudah mengenal Kaesang. Tapi, tidak semua orang mengetahui, bagaimana sepak terjang Kaesang dalam membangun negeri ini. Saya sendiri hanya mengenalnya sebagai anak presiden. Belum tahun betul prestasinya, pencapaiannya, dan prosesnya dalam dunia politik. Sebab, hal itu menjadi pertimbangan seseorang dalam menjatuhkan pilihan politiknya. Kaesang harus membuktikan itu ke publik.

Sejumlah kalangan memaklumi dinasti politik sebagai hal yang lumrah dalam demokrasi. Asalkan mereka yang memiliki ikatan keluarga dengan penguasa bersedia untuk bersaing sehat dengan calon lainnya. Itu saja cukup. Tapi, saya sendiri ragu. Bersaing sehat dalam demokrasi itu seperti apa? Sebab, stempel sebagai anak presiden itu tak bisa serta merta dihilangkan begitu saja. Tetap akan menempel selama Jokowi masih menjadi presiden. Publik juga tak begitu mempersoalkan pencalonan mereka yang memiliki hubungan keluarga dengan presiden. Riset Negara Institut juga menemukan bahwa 57 kandidat dari dinasti politik dipilih rakyat dalam pilkada 2020, termasuk Gibran selaku anak Jokowi dan Bobby selaku mantu Jokowi.

Akhir kata, saya hanya bisa menegaskan bahwa politik dinasti yang tak dibarengi dengan kapasitas dan pengalaman yang mumpuni, bisa jadi awal kehancuran dalam tata kelola pemerintahan. Baik di tingkat daerah maupun pusat. Apalagi jika hanya dijadikan ajang coba-coba. Rakyat dijadikan bahan eksperimen. Padahal, menjadi seseorang pemimpin itu, membutuhkan proses yang tidak instan. Perlu dikader terlebih dahulu sebelum dimunculkan sebagai calon pemimpin yang potensial. Silakan publik menilai sendiri, apakah politik dinasti di era Jokowi ini akan berjalan membawa kemajuan atau sebaliknya, membuat demokrasi kita jauh mundur ke belakang. Biar waktu yang akan menjawabnya nanti. 

*) Penulis buku “Empat Titik Lima Dimensi”