Bengkulutoday.com - Revisi RUU TNI telah menjadi salah satu topik hangat yang sedang dibicarakan saat ini. Revisi ini membuka pintu lebih lebar bagi anggota TNI aktif untuk mengisi jabatan di lembaga-lembaga sipil. Dulu, hanya ada 10 lembaga yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif. Sekarang, jumlahnya bertambah menjadi 16 lembaga.
Kekhawatiran Terkait Pemisahan Kekuasaan
Bayangkan saja, sekarang tentara aktif bisa menduduki posisi di lembaga seperti Kejaksaan Agung dan Badan Nasinal Penanggulangan Terorisme (BNPT). Ini bukan persoalan sederhana. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, kita mengenal prinsip pemisahan kekuasaan. Artinya, kekuasaan tidak boleh menumpuk di satu tangan saja.
Ketika tentara yang masih aktif bertugas menduduki jabatan di lembaga sipil, bisa terjadi kebingungan: apa peran mereka sebenarnya? Apakah mereka berperan sebagai tentara atau sebagai petugas sipil? Siapa yag mereka patuhi komandan militer atau pimpinan lembaga sipil? Bagaimana jika suatu waktu terjadi konflik kepentingan antara kepeentingan militer dan kepentingan lembaga sipil? Pertanyaan-pertanyaan ini belum terjawab dengan jelas dalam revisi RUU tersebut.
Kejaksaan Agung: Masalah Independensi
Mari kita ambil contoh penempatan anggota TNI aktif di Kejaksaan Agung. Sebagai lembaga penegak hukum, Kejakksaan harus bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk militer. Mengapa? Karena Kejaksaan harus bisa bertindak objektif dalam menangani semua kasus, termasuk kasus yang melibatkan anggota TNI.
Bayangkan situasi di mana ada kasus pelanggaran hukum yang melibatkan personel TNI. Jika di dalam Kejaksaan ada pejabat yang berasal dsri TNI aktif, tidakkah ini berpotensi mempengaruhi proses hukum? Mungkin saja terjadi tekanan, baik langsung maupun tidak langsung, yang bisa mengganggu independensi kejaksaan dalam menangani kasus tersebut.
Siapa yang akan Mengawasi?
Pertanyaan penting lainnya adalah soal pengawasan. Ketika seorang tentara aktif bekerja di lembaga sipil, siapa yang berhak mengawasinya? Apakah dia harus tunduk pada mekanisme pengawasan internal TNI? Atau dia harus diawasi oleh sistem pengawasan sipil yang berlaku di lembaga tempatnya bertugas?
Jika tidak ada kejelasan tentang ini, bisa muncul "wilayah abu-abu" dalam hal pertanggungjawaban. Misalnya, jika terjadi pelanggaran, kepada siapa dia harus bertanggung jawab? Apakah ke atasan sipilnya atau ke komandan militernya? Tanpa aturan yang jelas, akan sulit menuntut pertanggungjawaban jika terjadi penyalahgunaan wewenang.
Berseberangan dengan Semangat Reformasi
Perluasan peran TNI di lembaga sipil juga perlu dipertanyakan dari sudut pandang sejarah. Dulu, pada masa Orde Baru, kita mengenal konsep "dwifungsi ABRI" di mana militer tidak hanya berperan dalam pertahanan tetapi juga dalam pemerintahan sipil. Praktik ini kemudian ditinggalkan setelah Reformasi 1998, dengan tujuan membangun TNI yang profesional yang fokus pada tugas pertahanan negara.
Dengan adanya perluasan peran TNI di lembaga sipil, apakah ini berarti kita kembali ke masa lalu? Apakah ini sejalan dengan semangat reformasi yang menginginkan TNI profesional yang fokus pada tugas pertahanan? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dengan jujur dan terbuka.
Argumentasi Pendukung: Koordinasi yang Lebih Baik
Tentu ada pihak-pihak yang mendukung perluasan peran TNI ini. Mereka berpendapat bahwa di era sekarang, ancaman terhadap keamanan negara semakin kompleks. Ada terorisme, ada masalah keamanan maritim, ada bencana alam yang membutuhkan penanganan cepat dan terkoordinasi.
Dengan menempatkan anggota TNI aktif di lembaga-lembaga seperti BNPT atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), diharapkan koordinasi antara militer dan sipil dalam menangani ancaman-ancaman ini bisa lebih baik. TNI memiliki sumber daya dan pengalaman yng bisa bermanfaat dalam situasi-situasi darurat.
Alternatif yang Lebih Baik
Namun, kita perlu bertanya: apakah penempatan personel militer aktif adalah satu-satunya cara untuk memperkuat koordinasi? Tentu tidak. Ada cara-cara lain yang bisa ditempuh tanpa harus menempatkan tentara aktif di posisi sipil.
Misalnya, bisa dibentuk tim koordinasi khusus yang beranggotakan perwakilan dari TNI dan lembaga sipil terkait. Atau bisa juga dibuat mekanisme konsultasi rutin antara TNI dan lembaga-lembaga sipil. Dengan cara ini, kooordinasi tetap bisa diperkuat tanpa harus mencampur peran militer dan sipil.
Kebutuhan akan Pengawasan yang Kuat
Yang jelas, jika perluasan peran TNI ini tetap dilaksanakan, harus ada mekanisme pengawasan yang kuat. Masyarakat sipil, DPR, dan media massa harus bisa mengawasi jalannya kebijakan ini dan memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.
Perlu ada aturan yang jelas tentang batas-batas kewenangan anggota TNI yang bertugas di lembaga sipil. Juga perlu ada mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban yang transparan, sehingga publik bisa tahu apa yang dilakukan oleh personel TNI di lembaga-lembaga sipil tersebut.
Penguatan Sistem Hukum yang Komprehensif
Pada akhirnya, apa yang kita butuhkan adalah penguatan sistem hukum secara keseluruhan. Revisi RUU TNI sebaiknya tidak hanya fokus pada perluasan peran TNI di lembaga sipil, tetapi juga pada bagaimana membangun TNI yang profesional, akuntabel, dan tetap menghormati prinsip supremasi sipil.
Perlu ada keseimbangan antara kebutuhan akan koordinasi yang lebih baik dalam menghadapi ancaman keamanan dan pentingnya menjaga pemisahan peran antara militer dan sipil. Sistem check and balance perlu diperkuat untuk mencegah kembalinya praktik-praktik masa lalu yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Kesimpulan
Revisi RUU TNI 2025 yang memperluas peran TNI di lembaga sipil memang membawa sejumlah keuntungan potensioal, seperti koordinasi yang lebih baik dalam menangani ancaman keamanan kompleks. Namun, kebijakan ini juga membawa risiko serius, seperti terganggunya independensi lembaga penegak hukum dan potensi kembalinya dwi fungsi militer seperti di masa lalu.
Yang penting adalah bahwa setiap perubahan dalam peran TNI harus dibarengi dengan penguatan sistem pengawasan dan akuntabilitas. Kita tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil demi efisiensi dalam koordinasi keamanan. Sebaliknya, kita harus mencari cara untuk memperkuat koordinasi tanpa harus mengaburkan batas-batas antara peran militer dan sipil.
Pada akhirnya, tujuan kita adalah membangun Indonesia yang aman, demokratis, dan berdasarkan hukumm. Dalam konteks ini, revisi RUU TNI harus dilihat sebagai bagian dari upaya yang lebih besar untuk memperkuat sistem hukum dan tatanan negara kita, bukan sekadar perluasan kekuasaan satu institusi tertentu.