Sebaiknya, Kepala Daerah Tidak Jadi Ketua Partai Politik

Ilustrasi
Ilustrasi

Pupus sudah harapan masyarakat Indonesia yang ingin dipimpin kepala daerah bebas dari 'konflik interest' kepartaian. Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah yang sebelumnya mengatur larangan kepala daerah merangkap jabatan sebagai ketua partai politik, ternyata dianulir dalam pengesahannya pada September 2014 silam.

Dengan demikian, semua kepala daerah tetap bisa merangkap menjadi ketua partai politik di daerahnya. Aspirasi terkait larangan kepada daerah merangkap jabatan ketua parpol dituangkan dalam pasal 76 ayat (1) huruf i, RUU Pemerintah Daerah. Namun dalam rapat paripurna DPR, pasal itu dicabut, padahal sebelumnya telah disepakati pada rapat pengambil keputusan tingkat pertama di komisi DPR. 

Dampak Politik
Secara politik, tentu partai politik diuntungkan dengan bolehnya kepala daerah menjadi ketua partai politik. Rata-rata kepala daerah yang terpilih adalah kader partai, meskipun ada yang sebelum menjadi kepala daerah bukan dari kader partai, namun kemudian setelah terpilih maka partai akan menawarkan posisi strategis kepada kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Sebab secara politik, akan banyak manfaat jika ketua partai dipimpin kepala daerah. Namun kemudian akan menjadi masalah manakala kepala daerah tidak mampu menjaga dan menjalin komunikasi yang baik dengan para legislatif. Sebab, pastinya akan menimbulkan kecemburuan sosial. Hal yang wajar. Dampak politik lainnya adalah kemungkinan adalah politisasi birokrasi dan kebijakan. Kita tahu, sistem sudah mengatur sedemikian rupa terkait posisi kepala daerah yang menjabat ketua partai, namun kita juga tahu betapapun ketatanya regulasi yang melarang, manusia selalu punya cara 'menerobosnya'. 

Nambah Repot
Sibuknya mobilitas kepala daerah dan wakil, akan semakin menyempitkan ruang untuk bergerak demi kepentingan politik partai. Namun, selalu saja ada cara melakukan itu dengan berbagai 'fasilitasi' bagi partai politik yang disediakan oleh kepala daerah nya. Contoh kecil saja soal bicara peluang, tentu kepala daerah yang menjadi ketua partai akan lebih 'open' kepada rekan separtai ketimbang partai lain terkait kebijakan di daerahnya. Pun saat masuk dalam jadwal politik, semisal akan ada kampanye pilpres dan pileg 2019, dapat dibayangkan hampir semua kepala daerah dan wakilnya di Bengkulu ini yang menjadi ketua partai politik. Tentu hal itu akan mengganggu kinerja pemerintah yang objektif, betapa tidak, waktu yang seharusnya digunakan untuk mengurusi daerah justru harus digunakan untuk agenda politik kepartaian. 

Bengkulu Mayoritas
Di Provinsi Bengkulu, mayoritas kepala daerah terlibat sebagai pengurus dan ketua partai politik. Mulai dari Plt Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menjadi ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bengkulu, Bupati Seluma Bundra Jaya di PDIP, Bupati Bengkulu Selatan ketua DPW Perindo, Wakil Bupati Bengkulu Selatan Gusnan Mulyadi ketua DPD Nasdem Bengkulu Selatan, Bupati Kaur Gusril Pausi ketua DPD Partai Golkar Kaur, Bupati Kepahiang Ketua DPD Nasdem, Bupati Bengkulu Utara Ir Mian ketua DPC PDIP, Bupati Mukomuko Choirul Huda Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Mukomuko, Bupati Bengkulu Tengah Ferry Ramli ketua DPD Partai Golkar Bengkulu Tengah, Bupati Rejang Lebong Ahmad Hijazi ketua DPD Partai Golkar Rejang Lebong dan Wali Kota Bengkulu Helmi Hasan ketua DPW PAN Provinsi Bengkulu.

 

Menjadi ketua dan pengurus partai politik memang tidak dilarang bagi setiap kepala daerah dan wakilnya. Namun akan lebih baik dan objektif dalam menjalankan roda pemerintahan tanpa menyandang status ketua dan atau pengurus partai politik. [**}

NID Old
5745