Kepemimpinan Kharismatik

Muhammad Aufal Fresky

Memilih menjadi pemimpin, berarti bersedia untuk berkorban.

Kepemimpinan adalah kerelaan untuk menderita. Setidaknya, begitulah ungkapan H. Agus Salim, salah satu arsitek kemerdekaan Republik Indonesia. Kepemimpinan sejatinya merupakan amanah dan tanggung jawab kepada segenap rakyat. Tentunya yang saya bicarakan saat ini adalah kepemimpinan dalam konteks politik kenegaraan. Seperti Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, dans semacamnya. Cakupannya lebih fokus pada pemimpin level pusat dan daerah. Karena berbicara pemimpin sangatlah luas. Ada pemimpin perusahaan, pemimpin spritual, pemimpin rumah tangga, bahkan masing-masing dari kita merupakan pemimpin bagi diri kita sendiri. Agar tidak menimbulkan kerancuan saya fokuskan catatan pada kepemiminan dalam konteks kebangsaan.

Pemimpin ibarat kompas yang mampu menunjukkan arah bagi para pengikutnya. Seperti pelita yang menajdi penerang bagi orang-orang yang dipimpinnya. Kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya diwujudkan melalui dukungan penuh terhadap kinerja sang pemimpin. Hal tersebut bisa juga tampak dari tutur kata dan arahan sang pemimpin yang dipatuhi oleh seluruh komponen masyarakat. Pemimpin semacam itu yang sedang kita butuhkan. Yaitu pemimpin yang mampu mempengaruhi masyarakat menuju cita-cita bersama. Pemimpin yang bisa menginpirasi dan memotivasi rakyatnya untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negaranya. Kita bisa menyatakan pemimpin semacam itu adalah pemimpin yang kharismatik. Masyarakat tunduk dan segan. Masyarakat rela berkoban dan berjuang bersama pemimpin semacam itu.

Seringkali kita jumpai betapa banyak pemimpin-pemimpin kita yang ucapan dan tindakannya tidak mencerminkan sebagai seorang pemimpin. Tidak mampu memberikan contoh yang baik. Padahal menjadi tauladan semacam kewajiban utama bagi para pemimpin. Karena segala perkataan dan tindakan mereka tidak lepas dari sorotan orang banyak. Seorang pemimpin dilarang keras untuk bersikap emosional, egois, berkata atau bertindak kasar di hadapan rakyatnya. Apalagi marah-marah tidak jelas. Sebisa mungkin para pemimpin menahan amarahnya untuk memberikan ketenangan dan ketentraman di tengah warganya. 

Apakah benar kita sedang mengalami krisis kepemimpinan? Saya rasa pertanyaan semacam itu bisa kita jawab dari realitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya pribadi menjadi iya, kita sedang mengalami krisis kepemimpinan di berbagai level pemerintahan. Buktinya bisa dilihat dari berbagai pemberitaan terkait tertangkapnya para pemimpin daerah yang tersangkut kasus korupsi. Kepercayaan kita semakin menurun. Padahal masih banyak persoalan bangsa yang harus segera dituntaskan.

Kita tidak mungkin memanggil kembali Sukarno untuk memimpin Indonesia menyelesaikan problematika yang dihadapi. Beliau telah tenang di alam sana. Memang jasad telah terkubur, tetapi kharismanya beliau sebagai sosok pemimpin masih terasa sampai sekarang. Nilai-nilai perjuangan Pak Karno mestinya diwarisi oleh segenap komponen bangsa, utamanya generasi muda. Lantas apakah mungkin bangsa ini kembali melahirkan sosok pemimpin kharismatik macam Sukarno? InsyaAllah, saya percaya pastinya akan ada penerus-penerus beliau nanti. 

Tugas kita adalah bagaimana saat ini kita melahirkan pemimpin-pemimpin yang kharismatik. Pemimpin yang senantiasa bersama rakyat dan rela dengan sabar mendengarkan keluh kesah rakyat. Sehingga ada hubungan batin yang kuat antara sang pemimpin dengan rakyatnya. Hubungan emosional rakyat dan pemimpinnya akan membuat bangsa kita semakin kuat dan maju. Daya pikar pemimpin yang kharismatik mampu menggerakkan publik mencapai cita-cita bersama yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kharisma seorang pemimpin tidak serta merta didapatkan begitu saja. Kharisme bukan bakat ataupun pemberian. Kharisma diperolah dari proses yang panjang karena pengabdian dan dedikasi sang pemimpin. Kharisma adalah pancaran dari kepribadian atau watak sang pemimpin yang begitu kuat. Hingga orang lain pun bersedia melakukan arahan atau perintah dari sang pemimpin kharismatik. Kepemimpinan kharismatik sebenarnya bermula dari kebeningan jiwa dan ketulusan untuk mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Ketulusan itu dibuktikan melalui kegigihannya dalam berjuang serta berkorban untuk rakyat banyak. 

Kepemimpinan kharismatik tidak bisa dibuat-buat, disetting atau dicitrakan melalui berbagai media. Di zaman yang penuh keadaban, etis dan serba reformatis saat ini, kepemimpinan kharismatik tidak terwujud hanya karena polesan media. Tapi melalui pembuktian yang nyata. Melalui gaya dan cara pemerintahan yang memprioritaskan kepentingan rakyat. Beda halnya dengan pemimpin yang memakai gaya pencitraan untuk menguatkan kharismanya. Pemimpin semacam itu sebenarnya palsu, tidak otentik, penuh dengan kebohongan.

Biasanya pengaruhnya di tengah masyarakat tidak kuat, berdurasi pendek. Semua karena berangkat dari niatnya yang kurang baik. Hanya sebatas ingin mendapatkan perhatian masyarakat. Biasanya pencitraan mulai tumbuh subur di masa-masa kampanye. Apalagi yang diharapkan kalau bukan untuk mendulang suara yang sebanyak-banyaknya. 

Lain cerita dengan kepemimpinan yang kharismatik yang biasanya lebih mengutamakan pelayanan yang seoptimal mungkin untuk rakyatnya. Tidak peduli apakah kebijakan atau regulasinya dihujat atau dipuji, yang terpenting bagi pemimpin semacam itu bagaimana rakyatnya bisa sejahtera. Intinya, kita semua mendambakan kehadiran pemimpin yang kharismatik yang tidak sekedar mampu membangkitkan semangat warganya, tetapi bersedia berjuang bersama demi kepentingan bangsa dan negara. Pemimpin semam itu jarang sekali muncul di tengah kita. Tetapi saya optimis, kelak akan muncul pemimpin-pemimpin yang berjiwa Patriot dan tentunya sangat kharismatik.

***

Muhammad Aufal Fresky, Kolumnis/ Pengurus Yayasan dan Pondok Pesantren Al-Ikhlas/ Kader Penggerak Nahdlatul `Ulama.