Berulangnya Pembakaran Al-Quran, Bukti Hilangnya Perisai dan Persatuan

ilustrasi

Oleh: Ratna Sari (Mahasiswi Bengkulu)

Bengkulutoday.com - Aksi pembakaran Al-Quran dan penghinaan terhadap simbol umat Islam sering kali terjadi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Seolah tidak berkesudahan untuk memutus rantai kebencian. Kali ini pembakaran Al-Qur’an kembali terjadi di Swedia, pada saat perayaan Idul Adha oleh umat muslim pada hari Rabu, 28 juni 2023, yang dilakukan oleh Salwan Momika di depan sebuah masjid di Stockholm. Motif dari tindakan aksi yang dilakukan Salwan tersebut dianggapnya sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Bahkan pihak kepolisian Swedia telah memberikan izin kepada Salwan Momika untuk menggelar aksi protes, sesuai dengan Undang-Undang kebebasan berbicara yang berada di Swedia (bbc.com, 30/06/2023).

Hal yang serupa juga sebelumnya pernah terjadi di Swedia pada awal tahun 2023, berupa pembakaran Al-Qur’an oleh Politisi Sayap Kanan Denmark, Rasmus Paludan, Aksi tersebut juga menuai kecaman dari berbagai pihak, baik di Indonesia sendiri maupun di luar negeri. Bahkan seruan demonstrasi dan boikot menggema dimana-mana. Portal beritapun tak berkesudahan memuat berita pembakaran Al-Qur’an. Namun sayangnya, kasus penistaan agama tersebut seiring berjalannya waktu tertelan tak kunjung menemukan titik terang, apakah pelaku mendapatkan sanksi tegas atau hanya dibiarkan dan diabaikan atas nama kebebasan berekspresi yang dilindungi dan digaungkan oleh negara.

Hadirnya Undang-Undang kebebasan berekspresi ini membuat setiap individu bebas melakukan apapun termasuk menistakan agama. Bahkan atas nama kebebasan tindakan yang dilakukan mendapatkan perlindungan dari pihak aparat kepolisian. Sehingga hal tersebut membuat mereka memiliki keberanian untuk melakukan aksi penistaan agama. Hal ini tentu saja menumbuh suburkan Islamophobia.

Belum lagi tidak adanya sikap tegas kaum muslimin dan para pemimpinnya untuk menindak tegas perbuatan tersebut. Hanya sebatas lisan yang mengecam perbuatan, tidak lebih. Kecaman yang sering dilakukan pada saat adanya penistaan agama tentu tidak akan dapat membungkam dan menghentikan tindakan penistaan agama. Justru adanya kecaman yang hanya muncul dari lisan membuat para penista agama dan pembenci Islam semakin berani dan tak gentar sedikitpun. Belum lagi tidak adanya persatuan kaum muslimin sehingga membuat nyali mereka justru semakin kuat, bukan justru cuit.

Berbeda sekali apabila negara tersebut memiliki power yang segani lawan dan ditakuti lawan seperti pada masa Daulah Islam dahulu. Pada saat Islam memimpin dunia, lawan tunduk dan takut serta kawan segan pada Daulah. Hal tersebut bukan hanya sebatas bualan semata, namun kenyataan yang tercatat dalam tinta sejarah. Dimana Khalifah Abdul Hamid II berhasil menggagalkan aksi penistaan agama yang dilakukan Prancis dan Inggris. 

Dalam peristiwa sejarah tersebut, Perancis berencana untuk mengadakan pertunjukan teater yang menghina Nabi Muhammad Salallahu'alaihiwassalam. Namun, upaya tersebut dicegat dam digagalkan oleh Khalifah Abdul Hamid II. Meskipun demikian, pertunjukan teater tersebut kemudian dipindahkan ke Inggris, tetapi kembali Khalifah Abdul Hamid II tetap tidak menyetujuinya. Akan tetapi Perancis dan Inggris tetap berpegang pada keputusannya dengan menggunakan dalih kebebasan.

Namun, setelah mendengar pernyataan tersebut, Khalifah Abdul Hamid II kembali memberikan perintah untuk mengumumkan kepada umat Islam bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah, serta mengancam akan melancarkan Jihad al-Akbar (Jihad yang besar). Dalam menghadapi ancaman yang diberikan pemimpin umat Islam tersebut, mereka dengan cepat meninggalkan aspirasi mereka terhadap "kebebasan berpendapat" (freedom of speech), dan akhirnya pertunjukan drama tersebut dibatalkan.

Sejarah tersebut hanya sebagian kecil dari kisah heroik lainnya yang terjadi pada masa Daulah Islam dahulu, para pemimpin akan menjadi garda terdepan untuk melindungi kehormatan Islam dan kaum muslim. Karena khalifah merupakan junnah untuk melindungi kehormatan dan keamanan kaum muslim serta syariat Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.

”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll) 

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam telah memberikan teladan dalam menjalankan fungsinya sebagai junnah. Dimana pada saat di Madinah, seorang muslimah mengalami pelecehan terhadap kehormatannya oleh seorang Yahudi dari Bani Qainuqa'. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam kemudian melindunginya dengan mengumumkan perang kepada mereka dan mengusir mereka dari Madinah.

Selama hidupnya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam juga terlibat langsung dalam 79 pertempuran untuk melaksanakan peran sebagai pelindung dan pemimpin bagi Islam dan umat Muslim. Selain Rasulullah, para Khalifah yang mengikuti beliau juga melaksanakan fungsi sebagai junnah. Mereka menjalankan tugas dengan tujuan melindungi agama dan umat Muslim.

Lihatlah adanya junnah membuat umat muslim terjaga, tanpa adanya junnah kaum muslim diterpa nestapa. Tanpa adanya penerapan dan persatuan umat Islam, syariat Islam terus berulang kali dikriminalisasi. Sehingga persatuan kaum muslimin merupakan hal yang sangat penting.

Sehingga apabila simbol agama umat Islam dinistakan maka kaum muslim langsung maju menjadi garda terdepan untuk melindungi. Seperti yang dilakukan para sahabat terdahulu, kini kaum muslimin abai dan disibukkan dengan paham nasionalis yang memberi sekat sehingga membatasi pula rasa peduli dengan kaum muslim lainnya.

Wahai umat muslim, sudah saatnya kita menyadari betapa pentingnya penerapan syariat Islam sehingga pemimpin yang dilahirkan merupakan pemimpin yang mampu menjadi junnah, sudah saatnya persatuan Islam kembali dilakukan. Karena hanya dengan hal tersebutlah Al-Qur’an mampu dilindungi dan diterapkan. Wallahu’alam Bissawab.