Pseudo Kemerdekaan

ilustrasi

Oleh: Indah Kartika Sari, SP (Forum Muslimah Untuk Studi Islam Bengkulu)

Bengkulutoday.com - Bulan Agustus tahun ini boleh dikatakan sebagai bulan sakral bagi rakyat Indonesia.   Mengapa demikian ?  Sebab di bulan ini rakyat Indonesia merayakan hari bersejarah yaitu hari kemerdekaan 17 Agustus 2023. Dilansir dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia pada Senin (14/8/2023), tema peringatan HUT ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2023 adalah “Terus Maju untuk Indonesia Maju.”   Sebagai the founding bangsa ini, selayaknya rakyat yang mayoritas muslim bersyukur bahwa perjuangan mereka membebaskan negeri ini dari penjajahan Belanda berbuah kenikmatan lepasnya bangsa ini  dari kezholiman  dan intimidasi bangsa lain. Bila Indonesia sudah lepas dari penjajahan fisik, justru Palestina, Suriah dan negeri-negeri muslim lain masih memperjuangkan lepasnya mereka dari penjajahan fisik. Namun di balik semua ini, terbetik  sebuah pertanyaan, apakah benar bangsa Indonesia sudah  merdeka ? 

Menurut  Kamus Umum Bahasa Indonesia, merdeka berarti bebas (dari penghambaan, penjajahan, dsb); berdiri sendiri (tidak terikat, tidak bergantung pada sesuatu yang lain).  Lalu jika definisi di atas kita jadikan patokan, apakah bangsa ini sudah bebas dan berdiri di atas kaki sendiri ? Jika dinilai secara fisik, Indonesia memang sudah lepas dari penguasaan militer Belanda, namun secara pemikiran, budaya, tata nilai, aturan sampai gaya hidup seluruhnya masih membebek pada hukum positif Belanda yang saat ini bermetamorfosa menjadi penjajahan gaya baru bernama neolib, anak kandung sistem yang mempertuhankan materi alias kapitalisme. Sejatinya, rakyat Indonesia yang merdeka akan melepaskan penghambaannya terhadap hawa nafsu dan materi menuju penghambaan total  kepada kepada Allah SWT termasuk dalam hal pengelolaan negara. Oleh karena itu, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang memiliki kedaulatan utuh atas wilayah sekaligus kekayaan alamnya dan mengelolanya secara mandiri demi  kesejahteraan rakyatnya.

Harapan “Terus Maju untuk Indonesia Maju” terus digaungkan. Sesuai usianya yang tak lagi muda, capaian-capaian kemajuan seperti kesejahteraan seharusnya sudah dirasakan oleh rakyat sejak lama. Namun kenyataan berbicara lain. Secara de facto, bangsa ini memang pemilik wilayah dan SDA yang melimpah. Tetapi secara de jure, penguasaan dan pengelolaannya diserahkan kepada para pemodal asing atas nama investasi dan swastanisasi.  Bumi Bengkulu tetap menarik dan menggiurkan bagi para investor. Terbukti, sampai saat ini sebanyak puluhan perusahaan masih eksis dan bertahan menanamkan investasinya di Provinsi Bengkulu.  Begitu pun penguasaan SDA oleh para oligarkhi menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang berujung pada meningkatnya jumlah penduduk miskin.   

Padahal Rosulullah bersabda, ”Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Memperjualbelikannya adalah haram” (HR Abu Dawud)

Sungguh ironis, ketergantungan yang tinggi kepada asing membuat pemerintah sering membuat kebijakan yang pro asing tapi sangat merugikan dan menzhalimi rakyat. Sejak reformasi saja, ada lebih kurang 67 UU yang lebih berpihak kepada asing.  Apalagi sejak disahkannya UU Omnibus Law, para kapitalisme semakin mendapatkan tempat melalui karpet merah yang sengaja dibentangkan untuk lancarnya misi mereka menguasai SDA rakyat pribumi.

Jika melihat dari sisi SDM Indonesia, sekalipun sudah 78 tahun merdeka, generasi muda muslim banyak yang telah melupakan jasa-jasa generasi terdahulu yang mengorbankan nyawa demi mengusir penjajah. Jangankan meneladani, mengenang jasa-jasanya pun tidak.  Kehidupan hedonis barat yang serba permissif telah membius generasi muda muslim untuk tergila-gila dan mencontek habis semua yang berasal dari barat baik  funfood maupun fashion

Dengan prinsip kebebasan  (disertai klaim, bukankah kita sudah merdeka ?), mereka menganggap bukan hal yang tabu lagi untuk mempertontonkan seks bebas, tawuran dan narkoba. Di sisi lain, era digitalisasi yang deras, membuat generasi muslim terperdaya gaya hidup  konsumtif, terperdaya oleh hingar bingar dunia gemerlap dan media sosial.  Ada yang mengorbankannya usianya bahkan nyawanya karena ketergantungan pada game online bahkan judi online. Di balik itu semua, ada pihak-pihak yang meraup cuan sangat besar dan bersenang-senang di atas bobroknya mental generasi muda Islam. Ini juga adalah penjajahan yang harus kita sadari.

Sungguh tragis, kemerdekaan yang sudah susah payah dicapai generasi pendahulunya harus tergadaikan dengan kualitas generasi sekarang yang lemah akal dan lemah moral.  Lalu bagaimana generasi muda dikatakan sebagai penerus tongkat estafet kemerdekaan jika hidup mereka hanya untuk bersenang-senang dan enggan peduli dengan setumpuk persoalan bangsa ?

Makna kemerdekaan akan semakin dipertanyakan jika kita melongok kepada persoalan dunia pendidikan dan kesehatan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Mahalnya UKT, membuat banyak mahasiswa terjebak pinjol akhirnya berujung gelap mata sampai tega membuat orang meregang nyawa.  Belum lagi masalah kesehatan yang sudah menjadi ajang bisnis apalagi setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi UU Kesehatan yang menuai banyak kontroversi. Salah satunya adalah dihapuskannya mandatory spending, yaitu anggaran wajib yang harus dikeluarkan APBN untuk kesehatan. Bukankah ini membuktikan bahwa bangsa ini belum sepenuhnya merdeka ?

Kapitalisme dalam dunia pendidikan dan kesehatan menyebabkan keduanya  menjadi barang mahal yang hanya dinikmati oleh segelintir orang.  Keadaan semakin diperparah dengan ulah kroni-kroni pejabat yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk memperkaya diri sendiri.   Sementara di ranah hukum, para hakim dan jaksa seolah tak punya nyali dan tak bertaring menghadapi mafia-mafia peradilan karena semuanya dengan mudah  bisa dibeli. 

Inilah pseudo kemerdekaan (kemerdekaan semu) yang secara rutin hampir kita peringati setiap tahun dengan ajang perlombaan dan pendirian gapura di setiap sudut kampung. Merdeka dalam makna bebas secara fisik namun masih terjajah secara pemikiran dan gaya hidup.   Jadi jangan hanya berhenti pada kemerdekaan yang bersifat fisik.  Mensyukuri nikmat kemerdekaan fisik harus disempurnakan melalui perjuangan pembebasan Indonesia dari dominasi pemikiran dan aturan yang bukan berasal dari Allah SWT menuju kemerdekaan hakiki dalam pengabdian penuh kepada al Khaliq yang berwujud penerapan SyariahNya dalam seluruh aspek kehidupan.

Sejatinya, kemerdekaan hakiki adalah saat kita terlepas dari belenggu kekufuran. Individunya berperilaku benar sesuai keyakinannya, yaitu ajaran agama Islam. Masyarakatnya berpola pikir dan memiliki gaya hidup yang terlepas dari kungkungan budaya selain Islam. Begitu juga negaranya terbebas dari penjajahan, baik fisik, politik, ekonomi, dan budaya. Juga  penguasanya menerapkan aturan Allah Taala secara kaffah dalam setiap kebijakannya.

Demikian pula halnya dengan Palestina, Irak, Suriah, Afganistan yang masih tertindas oleh penjajahan Israel dan Amerika.  Kemerdekaan hakiki bagi Palestina dan seluruh negeri kaum muslimin bukan diperoleh melalui “Two State Solutions”.  Namun didapatkan melalui persatuan umat dalam naungan Khilafah yang akan memobilisir tentara umat Islam sedunia demi membebaskan Palestina dan negeri-negeri terjajah lainnya.