Bengkulu, Bengkulutoday.com- Pengadilan Negeri Bengkulu menggelar sidang perkara Fraud BSI Bengkulu dengan agenda pemeriksaan keterangan terdakwa Tiara Kania Dewi (TKD), Senin (17/3/2025).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Bengkulu, Lucky Selvano Marigo, S.H MH, menerangkan bahwa alasan terdakwa melakukan perbuatannya adalah karena keterpaksaan dan tekanan.
Unsur keterpaksaan itu akibat tindakan kesalahan terdakwa yang menggunakan uang nasabah dan harus mengembalikannya. Sementara tekanan berasal dari kantor (perusahaan) yang menuntut terdakwa mencapai target nasabah.
"Jadi selain karena terpaksa, terdakwa juga mengatakan ada tekanan dari kantor untuk memenuhi target. Jadi, sesudah dia mengambil duit nasabah pertama kali, maka dia harus mengembalikannya. Ada juga tekanan dari keluarga. Tapi terdakwa tidak mau menyebut secara detail," jelas Jaksa Lucky.
Ditambahkan Lucky, terdakwa TKD memang mengakui mengelola semua dana yang menjadi nasabah dikarenakan peran terdakwa tersebut. Dana-dana tersebut. Selain itu, Dana tersebut digunakan untuk membiayai berbagai keperluan pribadi dan kepentingan keluarga.
"Terdakwa tidak bisa lagi mengembalikan uang yang sudah digunakan, karena dia tidak tahu lagi dari mana sumber uang dan dia sudah tak punya uang lagi. Aset-asetnya juga tidak mencukupi. Kemudian, apakah terdakwa berniat mengembalikan kerugian yang ditimbulkan, " kata Lucky .
Lanjut Lucky, menjelaskan bahwa leluasanya terdakwa melakukan perbuatan tersebut, dari tahun 2019 hingga 2023. Karena dana yang dikelola hanya dana nasabah yang memang direkrut sendiri oleh terdakwa. Apalagi nasabah-nasabah tersebut menyerahkan semua urusan kepada terdakwa.
"Dia kan hanya mengelola yang nasabahnya. Seperti nasabah MH dan KB. Lalu ibunya, suaminya. Dan dalam sidang terjawab bahwa suaminya itu punya dua buku tapi satu rekening. Ada satu buku yang tidak pernah dicetak," ungkap Lucky.
Dijelaskan Lucky, Dari keterangan terdakwa,bada Buku rekening yang tidak pernah cetak buku itu. Hal tersebut merupakan biasa terjadi, karena nasabah masih anggota keluarga karyawan perbankan itu sendiri.
"Karena, menurut terdakwa, setiap karyawan BSI itu kalau keluarganya yang menarik, langsung saja," terangnya.
Adanya keleluasaan itulah, kata Lucky, yang menjadi pintu atau celah yang disalah-gunakan terdakwa saat pertama kali menarik uang nasabah, yakni ibu mertuanya sendiri, sejumlah Rp 50 juta dari total 300 juta yang disetorkan. Uang 50 juta itu lah, kemudian uang itu dugaan untuk membayar DP mobil suami terdakwa.
"Tinggal lah 250 juta. Sisa 250 juta ini ditarik lagi oleh terdakwa lalu dibuatkan deposito lagi. Nah, deposito ini nggak tahu fungsinya apa. Kemudian Deposito katanya 600 juta, seperti keterangan di sidang, itu juga gak masuk sistem. TKD sendiri bilang tak masuk system. Tapi oleh terdakwa masuk ke rekening penampung. Diputar untuk bayar ini, bayar itu. Ada juga permintaan dari suaminya," bebernya.
Dari kurun waktu 2019-2023, terdakwa TKD mengaku sudah menikmati uang sejumlah Rp 2,4 miliar. "Itu kan yang dinikmati, belum termasuk perputarannya. Dan belum diaudit. Setelah diaudit itu lah muncul kerugian 4,04 M itu," imbuhnya.
Lanjutnya, Terkait alasan terdakwa yang tidak memasukkan nama nasabah ke system bank. Itu menurut keterangan TKD, itu merupakan permintaan nasabah sendiri. Pasalnya, nasabah meminta bunga sampai 2,5 persen. Sementara besaran bunga yang ditawarkan bank hanya maksimal 1 persen.
"Ini tiba-tiba jadi 2,5 persen. Berarti di sini kan ada inisiatif dari terdakwa," ujar Lucky.
Dengan kondisi tersebut, Lucky menduga kasus ini tak hanya melibatkan terdakwa, tetapi juga pihak lain. Yaitu mereka yang juga menikmati uang yang dikelola TKD.
"Logikanya begini. Nasabah yang punya deposito 1,3 m itu kalau bunganya 2,5%, berarti tiap bulannya terima bunga 40 juta. Dan TKD bilang, dana itu masuk ke rekening nasabah. Harusnya nasabah yang menerima bunga 40 juta tiap bulan itu juga mengembalikan," tandas Lucky.
Sementara, kuasa hukum terdakwa, Dede Frastien, S.H., M.H., mengungkapkan bahwa kliennya pertama kali melakukan tindakan tersebut karena uang deposito milik mertuanya, KA, sebesar Rp 50 juta, terpakai. Untuk menutupi kekurangan tersebut, terdakwa kemudian menggunakan uang titipan dari suaminya, yang merupakan hasil usaha, untuk didepositokan kembali.
Dijelaskan Dede, menurut kesaksiannya, terdakwa mengaku mencairkan dana dengan menggunakan surat keterangan hilang sebagai modus. Selain itu, tekanan target dari BSI juga menjadi faktor yang mendorongnya melakukan tindakan tersebut.
“Selain gaya hidup klien kami, ada target di BSI yang mengharuskan adanya deposito yang masuk. Bahkan, bunga yang diterapkan dalam transaksi ini mencapai 2,5%, yang bukan bunga resmi dari BSI,” jelas Dede.
Selain itu, dalam persidangan terungkap bahwa ada dua nasabah, MH dan KB, yang mengklaim bahwa uang tersebut merupakan milik mereka. Dana tersebut dioperasikan secara bertahap dalam nominal Rp 20-30 juta.
Lebih lanjut, terdakwa juga mengungkap adanya aliran dana yang diterima oleh sejumlah pegawai bank, termasuk back office dan teller. Salah satu pegawai, FR, disebut menerima dana lebih dari Rp10 - 20 juta beberapa kali.
“Artinya, memang ada keterlibatan pihak lain yang mengetahui dan menerima manfaat dari transaksi ini. Namun, sejauh ini hanya klien kami yang dijadikan terdakwa,” ujar Dede.
Meskipun demikian, terdakwa telah mengakui perbuatannya dan menyatakan penyesalan. Ia juga telah mengembalikan dana sebesar Rp 500 juta sebagai bentuk itikad baik.
Menurut kuasa hukum, BSI sebelumnya masih memberi kesempatan hingga Desember untuk menyelesaikan permasalahan ini, namun kasus ini sudah dilaporkan dan diproses hukum sejak Maret.
“Kami berharap majelis hakim dapat melihat perkara ini secara terang benderang, serta penuntut umum dapat bersikap objektif. Harapan kami, tuntutan yang diajukan nanti bisa seringan-ringannya bagi terdakwa,” pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, JPU sudah menghadirkan dua orang saksi ahli pada sidang sebelumnya, kali ini giliran terdakwa TKD yang memberikan kesaksian. Pada Sidang selanjutnya akan berlanjut dengan agenda pembacaan pembelaan terdakwa (pleidoi).