Pemerintah Perlu Bangun Lembaga Khusus Pengembangan Vokasi

Dialog daring bersama FMB9.

Jakarta - Peneliti dan Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Tadjudin Nur Effendi mengatakan, pemerintah harus membentuk satu lembaga di luar kementerian yang fokus mengurusi hal-hal terkait pengembangan vokasi. Tujuannya agar kebijakan mengenai pendidikan dan pengembangan vokasi tidak timbul-tenggelam akibat pergantian menteri atau presiden. 

“Dulu saya pernah membantu Depnaker menyusun kerangka apa yang harus dilakukan. Begitu ganti menteri, konsep-konsep itu hilang. Ganti menteri ganti kebijakan. Itu merugikan. Maka harus ada lembaga yang concern di level itu seperti yang dikatakan Apindo. Mari kita buat semacam program pengembangan vokasi,” ajak Tadjudin Nur Effendi dalam dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) dengan tema ‘Strategi Perluas Lapangan Kerja’, Senin (05/02). 

Di sisi lain, kolaborasi antara pemerintah dan pengusaha untuk mengembangkan sekolah-sekolah vokasi merupakan faktor kunci dalam menyiapkan calon tenaga kerja yang unggul.

Menurutnya kolaborasi ini menjadi sangat penting, agar lulusan pendidikan link and match dengan apa yang diinginkan perusahaan. Hal tersebut, terutama dalam menyambut bonus demografi dan visi Indonesia Emas 2045.

“Berdasarkan data yang saya teliti, pengangguran yang paling banyak itu di tingkat pendidikan menengah yakni SMA dan SMK. Saya kira saat ini dunia pendidikan harus segera menyesuaikan perkembangan zaman,” jelasnya. 

Selain pengembangan di bidang pendidikan, Tadjudin juga menyinggung hal lain yang tak kalah penting dalam menyerap lapangan pekerjaan, yakni investasi.

Dia menilai, investasi berperan sangat penting terkait penyerapan tenaga kerja. Sebab, jika tak ada investor yang menaruh investasinya di Indonesia, maka lapangan pekerjaan juga akan sulit diciptakan.

Karena itu, bagi Tadjudin, edukasi dan investasi menjadi dua komponen penting yang saling berkaitan erat dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

“Edukasi dan investasi itu penting. Kalau SDM kita rendah mana ada yang mau investasi. Kalau tidak ada investasi maka peluang kerja rendah,” ujarnya.

Menurutnya Tajuddin, ada beberapa hal yang membuat investasi kesulitan masuk ke Indonesia. Pertama, masalah perizinan, kondisi politik yang tidak stabil, dan kualitas SDM yang belum mumpuni. 

Tajuddin menambahkan, jika hal tersebut dibiarkan, ia khawatir angka pengangguran akan terus semakin tinggi. Sehingga target memaksimalkan bonus demografi hanya menjadi sebatas impian yang tak pernah terwujud.