ASWANISME Sebagai “Candu”

ASWANISME Sebagai “Candu”

 

Bengkulu Today.Com Sulawesi Selatan
Oleh: Abdul Karim (Ketua Dewas LAPAR Sulawesi Selatan)

Kami tak kenal latar belakang sosialnya secara pasti. Rambut lurus, badan tinggi gempal tegak, dengan kumis tajam—setajam bola mata sipitnya. Bicaranya tegas, berisi tanpa ilusi. 

Ada yang menyangka dia kerabat pengusaha tersohor Aksa Mahmud. Barangkali karena “aksa” dan dialek bugisnya memang mirip bugis Barru hingga ia disangka kerabat Aksa Mahmud. Ternyata bukan. Ia pria asal kabupaten Bone yang lahir disaat Orde baru berusia kanak-kanak. 

“Aswan Achsa”, yang kami kader-kadernya di PMII menyapanya kak Aswan. Ia memang aktifis yang tak berjarak dengan kadernya. Ia dikerumuni ketika ia hadir dihajatan PMII. Ketika saya kuliah di IAIN tahun 1996 silam, kak Aswan menjabat ketua PMII cabang Ujung pandang. Ditangannya, PMII bergerak dengan tegak dalam dua arus pokok; arus atas dan arus bawah struktur negara. Kader-kader yang ia cetak pun diarahkan pada dua arus pokok tadi. Cara mengarahkan kadernya tak seperti seorang komandan batalyon mengarahkan pasukannya. Metodenya malah mirip seorang gembala itik; berposisi dibelakang, tak pernah didepan—sesekali ke samping bila seekor itik diantaranya keluar dari koridor jalan bersama.

Barangkali karena itulah, ia senantiasa diletakkan dalam kategori “guru” tanpa menggurui. Ia mengayomi kadernya, bukan mengayuni. Mengayomi, berarti ia tak saja mengarahkan, tetapi juga melindungi seraya membuka ruang selebar-lebar bagi kader untuk berbuat (action). Ia adalah sosok guru partisipatif sebenarnya. Dalam forum2 minipun ia senantias berucap; “kita sama2 berproses, hargailah proses”. Kalimat ini, ia sudah lontarkan jauh sebelum era medsos berputar. 

Dari situ kelihatan bila sosok Aswan Achsa tak mengelola kadernya dengan langgam “mengayuni”. Metode ini, menyerupai pemanjaan kader. Bukan menempah kader dalam proses menjadi insan mandiri. 

Kak Aswan menolak gaya kaderisasi begitu. Ia mengutamakan proses bersama dengan potensi diri bersama. Potensi ini baginya bergerak dari kenyataan diri dan kenyataan sekitar. Kenyataan baginya adalah modal pokok untuk perubahan nyata. Ia pengusung “realitas”. Tetapi realitas baginya, harus dibaca/dimaknai kritis—tak boleh ditelan begitu saja seperti halnya kita menelan segelas es cendol. Ia tak mudah mengamini realitas. Sebab ia faham, bila realitas itu bukan kiriman dari langit. 

Membaca realitas dengan kritis, adalah ciri khasnya ketika berhadapan dengan siapapun. Tanpa membaca begitu, baginya pembangunan tetaplah memproduksi masyarakat yang “tertindas”. Akrabnya terminologi “tertindas dan ketertindasan” ditubuh aktivis PMII dijaman itu, boleh dikata berkat gagasan kak Aswan. Dialah yang memperkenalkan istilah itu pada kami semua, dan kami menggandrunginya. 

Singkatnya, ide-ide kak Aswan adalah candu yang mengasyikkan bagi aktivis mahasiswa belia dizaman itu. 

***

Daya kritis Aswan Achsa juga tumbuh dari “realitas. Ia tumbuh menjadi seorang aktivis ditengah realitas Orde baru yang tengik. Bermula saat ia hijrah dari kampung halamannya, Bone menempuh pendidikan setingkat SLTA di kota makassar, lantas lanjut di fakuktas Hukum UMI Makassar di erah 1980-an silam. Di kampus hijau itulah ia bermula menjadi seorang aktifis. 

Realitas Orde baru membuatnya berlawan dengan rezim. Dan ia merasa ber-PMII saja tak cukup untuk menghadapi rezim Orde baru itu. Dengan pergulatannya bersama anak muda NU dizamannya, ia lantas menemukan ruang baru untuk berlawan dengan Orde baru. Ruang baru itu tak lain adalah LSM. Di kota makassar, ia bergelut di LKPM dan BLPM-Lakpesdam NU Sulsel. Sementara di level nasional, ia menceburkan diri di Yayasan Bina Desa, sebuah LSM tua yang fokus pada pendampingan masyarakat desa. 

Barangkali Pergulatan di LSM itulah hingga kak Aswan kian terang “kacamata realitasnya”. Kemiskinan baginya tak semata takdir belaka. Ada peran kuat kekuasaan hingga kemiskinan itu kian menyata. Dan ia saksikan itu ditengah masyarakat desa yang didampinginya. 

Sama halnnya dengan kecantikan, dengan celoteh riangnya ia kurang lebih menganggap kecantikan bukan sebagai anugerah Tuhan belaka. Kecantikan kini adalah realitas yang dibentuk kapitalisme mode dan fashion. “kecantikan pabrik”, kata cerdik pandai. 

Kepandaian tajam kak Aswan dengan analisis2 kritisnya pada realitas bukan karena buku. Ia bukan sosok pembaca buku yg ulet. Ia lebih gemar membaca surat kabar dibanding mendawam buku2 teks. Namun menariknya, ia gencar menyarankan kadernya membeli/membaca buku. Dan ketika berdiskusi dengan kader-kadernya yang rutin membaca buku, ia tak termarginalkan dari diskusi itu. Ide-idenya tetap relevan dengan ide kader2nya yg gemar membaca buku. Buku tak membuatnya kaku. Ia tetaplah cerdas. 

Ia cerdas membaca realitas dengan silet analisis kritis komprehensif. Menganalisa pola relasi seluruh komponen sosial dan negara dengan cermat. Analisis itu ia tumpahkan di hadapan mahasiswa dan kaum papa. Menariknya, kaum papa dan mahasiswa tak rumit mencernahnya. Mengapa? Sebab kak Aswan mengatakan itu dengan kalimat2 nyata dan bahasa realitas. 

Dunia aktifisme digelutinya dengan ketekunan yg penuh tak jenuh walau dompetnya tak pernah penuh. Pergelutannya itu kian menyata ketika 17 April 1999—beberapa pekan setelah ia menikah—atau setahun usia reformasi—ia mendirikan sebuah LSM dengan akronim nama yg tak lazim; LAPAR (Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat). Mudah dibaca saat itu, kehadiran LAPAR adalah proses institusionalisasi dari pembacaan realitas kritis atas kenyataan2 berbangsa dan bernegara kita. 

LAPAR lantas hadir menjadi sebuah LSM baru dizaman itu dipimpin langsung oleh kak Aswan. Namun uniknya, pasukan LAPAR diisi oleh anak-anak mahasiswa remaja. Padahal, kak Aswan sendiri dimasa itu bukan lagi remaja. Uniknya lagi, pasukan LAPAR dominan berlatar belakang santri. Dan kak Aswan sendiri tak pernah nyantri di pondok pesantren. Tetapi ia kadang berkelakar, bahwa dirinya adalah alumni pesantren kilat Padang Lampe UMI.

LAPAR ia kelolah sebagai bengkel atau batu asah anak muda yang ia percaya mampu melahirkan intelektual dan aktivis gerakan sosial (arus atas dan arus bawah). Intelktual yg ia bayangkan adalah intelektual yg mampu menganalisa realitas dan aktivis penggerak sosial yg tajam membaca realitas. Baginya, realitas adalah modal fundamental sekaligus daya dongkrak gerak transformasi sosial. 

Dan mimpi itu terwujud beberapa tahun kemudian. Sejumlah pasukan LAPAR berfokus menjadi intelektual, sebagiannya bergerak disektor penggerak sosial—walau belakangan beberapa diantaranya berkiprah dijalur politik formal. Dalam konteks itu, kak Aswan sukses memerankan diri sebagai “gembala itik” yang ulet. LAPAR menghasilkan telur-telur intelektual dan telur-telur aktivis sosial. 

Sukses di LAPAR, ia lantas fokus di Polman, Sulbar. Disana, ia mirintis sebuah LSM baru, dengan nama unik pula; LIAR (Lembaga Inspirasi dan Advokasi Rakyat). Mirip LAPAR, LIAR diisi anak-anak muda energik dengan tradisi Mandar yg kental. LIAR menjadi bengkel anak muda disana.  LIAR ini menjadi tanda lagi bila sosok kak Aswan tak pernah menyudahi pergulatannya sebagai aktivis sosial, sebagai guru sosial, dan sebagai inspirator yang membangunkan anak muda dari kemalasannya dengan silet analisis kritisnya. Dengan ini, anak2 muda Polman mencandui kak Aswan dengan pemikiran2nya. 

***

Kak Aswan adalah sosok istiqomah. Ia tetap konsisten berdiri dijalur aktvisme sosial sepanjang waktu. Padahal, aktivis semasanya telah lama hijrah ke dunia lain. Ada yang bergelut didunia politik praktis, dunia kerja profesional dan sebagainya. Tetapi kak Aswan tetap di frekwensi semula; aktivis sosial. Ia geluti itu hingga sakit menggerogoti tubuhnya. Bahkan, saat sakit pun ia tak bernah berhenti mendidik ank2 muda berfikiri kritis.

Istiqomah dan pemikiran-pemikiran kritisnya nampaknya menjadi argumen dasar mengapa anak-anak muda era 1990-an hingga kini tetap “mencandui” kak Aswan. Ia bahkan seolah menjadi sistem gagasan/pemikiran tersendiri yang dicandui bagi sejumlah anak muda NU di Sulsel dan Sulbar. Yah, Aswanisme sebagai candu bagi anak2 muda. 

Kata “candu” itu tiba2 mengingatkan saya saat menghadiri pesta pernikahan kak Aswan tahun 1999 silam di Bone. Disana, karib-kerabatnya menyapanya “Candu”. Rupanya, sapaan kampungnya, atau kira2 nama kerennya dikampungnya ternyata Candu. Sayangnya, kami tak pernah tahu sejarah sapaan itu. 

Alfatihah utk kak Aswan. Insya Allah surga tempatnya.