Andai Saja II...

Ilustrasi

Begini, kuceritakan sebuah cinta di ruang 4 kali 5 meter. 

Aku menyebutnya sebuah anugerah karena dapat mengubah hidupku sekalipun itu masih pada sebuah perencanaan dan merangkak. Sekalipun jatuh bangun, aku menganggap keputusan sakral karena memang cita-cita itu adalah mengubah status. Tanggung jawab. Juga meleburkan karakteristik berbeda dari dua manusia lain sisi.

Di ruang 4 kali 5 meter itu kemudian kutelisik demi menggali sebuah realita. Karena selama ini aku merasa sedang hidup di bawah kaki langit, namun ragaku sudah di atas langit. Maka, aku memutuskan untuk bangun dan jatuh cinta pada cita-cita suci mencintaimu. Berbelit. Memang. 

Menjadi seorang yang mencintai fiksi, adalah sebuah mala petaka. Betapa tidak, selama ini aku harus dihadapkan dengan taring kisah-kasih yang tak pernah nyata, namun indah kuceritakan. Pada bait-bait puisiku, kamu adalah indah. Dan pada lembar-lembar cerita fiksi, kamu tetap indah. Sampai aku hijrah dan mengikrarkan diri menulis fiksi. 

Baca Jugaandai saja

Kutemui sisi sakit kalanya melihat kenyataan. Fiksi mengajarkanku pada keluguan. Idealis mati suri, juga khayalan tingkat tinggi. Berbanding terbalik dengan nyatanya kamu di dunia fana. Ah, kukira sama saja.

Seandainya proses penciptaan manusia sama seperti menuangkan segelas coklat dari gelas ke dasar kolam, maka tak ayal tujuannya adalah sia-sia. Buat apa? Jika kemudian mencintaimu untuk sesaat dan tidak mencita-citakannya setinggi langit, di mana raga itu sudah lebih dulu sampai pada nalarnya. Maka untuk apa semua kujelaskan suka duka juga luka yang bakal tersirat sesaat?

Ruang 4 kali 5 meter itu kuharap rumah tempat kita merebah. Bukan sekelilingnya. Bukan atap pun lantainya. Tapi dasar di mana pondasi harus benar-benar di tanam agar tegar tak terbongkar, rapuh, bahkan tersekat. 

Baik. Sedikit keluar dari masalah. Sekali lagi, aku ungkapkan bahwa cita-cita ini adalah murni dari dasar jiwa. Aku takut. Jika berprasangka dan memandang rupa, kamu akan pudar ditolak masa. Sekarang aku mengukurmu dari sanubari dan keadaan. Di mana semuanya murni instan dan keyakinan. Bahwa sepakat untuk tidak sepakat tentu didasari oleh latar belakang afeksi. Tapi semula, kau sudah sepakat dan memintaku membuktikan realitas. Dan aku menyanggupi. 

Namun, sekali lagi aku terjebak dalam sebuah logaritma bahwa ruang 4 kali 5 adalah kenyamanan. Dan terlampau cepat, aku menuntut yang bukan dari kuasaku. Waktu, tak selalu tepat merapat. Dan aku, sedang dilema meyakinkanmu atas cita-cita itu. 

Bukan kau salah. Juga bukan aku. Sekali lagi, ini adalah ruang 4 kali 5 yang terlampau cepat jadi tapi belum terukur konsekuensinya.

Ruang ini kusebut 4 kali 5 karena selamanya kuingin kamu di sisiku. 

***
Bisri