Pasal di Dalam RUU KUHP Banyak Menuai Kontroversial

Qori Dwi Mardhalena

RUU KUHP yang banyak menuai kontroversial diantaranya ketentuan soal pemberlakuan hukum yang berlaku dalam masyarakat atau hukum adat, korupsi, memelihara hewan, kebebasan pers dan berpendapat, serta masih banyak sekali pasal yang menuai kontroversial.

Agar lebih jelas untuk memahami, kita akan membahas beberapa permasalahan  yang menuai kontroversial tersebut:

1.Hukum adat

Hukum adat merupakan salah satu karakter hukum yang masuk kedalam RUU KUHP. RUU KUHP  dinilai berpotensi memicu efek negatif terhadap  sektor swasta, karena menyangkut dengan hukum adat.

Kita ketahui hukum adat sekarang menuai kontroversial  yang terletak di pasal 2 (1) yang menyebutkan “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini”.

Sementara penjelasan pasal 2 ayat (1) berbunyi “dalam pasal ini, yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana adalah pidana adat. Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Di beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis , yang hidup dalam masyarakat  dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana. Untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana (delik) adat, perlu ditegasi dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari peraturan daerah masing-masing. Komplikasi ini memuat mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat yang dikualifikasikan dengan tindak pidana adat”

"Hukum adat dalam RUU KUHP (the living law) dihargai dalam konstitusi Indonesia, namun hal itu tidak berarti setiap hukum adat yang ada di tengah masyarakat menjadi berlak," ujar Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly.

Hukum adat adalah aturan yang tidak tertulis dan merupakan pedoman untuk sebagian besar orang-orang di Indonesia dan dipertahankan dalam pergaulan hidup sehari-hari baik di kota maupun di desa. Hukum adat sifatnya tidak kaku, hukum adat itu dinamis dan bergerak mengikuti perkembangan zaman, sehingga kodifikasi hukum adat bertentangan dengan kenyataan bahwa hukum adat bukan hukum yang sekali dibuat kemudian tetap seperti KUHP. RUU KUHP belum jelas merumuskan siapa yang berwenang mengeksekusi pidana adat sebagai pidana tambahan.  Maka sebaiknya hukum adat perlu ditinjau kembali secara mendalam sebagai pengecualian asas legalitas dalam RUU KUHP, karena mengingat tidak adanya pemahaman dan kajian ilmiah mengenai hukum adat. Hal ini penting agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat menjamin tidak terjadi overkriminalisasi dalam sistem hukum pidana Indonesia .

2. Korupsi 

Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata kelola administrasi. Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan. korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain. Pelaku korupsi dianggap telah melakukan penyelewengan dalam hal keuangan atau kekuasaan, pengkhianatan amanat terkait pada tanggung jawab dan wewenang yang diberikan kepadanya, serta pelanggaran hukum. Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. 

Pada tahun 2019 Terdapat peraturan mengeni korupsi yang membuat perbincangan masyarakat karena Dalam RUU KUHP menjelaskan bahwa hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal pada  Rancangan Kitab Undang Undang hukum pidana  lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Terdapat 3 pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumnya lebih ringan ketimbang pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam RUU KUHP, koruptor juga cenderung diuntungkan,  terkait dengan penurunan masa hukuman penjara minimal menjadi dua tahun. Persoalan korupsi disinggung dalam pasal 604 hingga pasal 607. 

Pasal 604 RKUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keungan Negara berisi ancaman hukuman pidana selama dua tahun penjara. Padahal pada pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk tindakan serupa di ganjar paling singkat empat tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara. 

Pasal 605 RKUHP yang diambil dari pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan Negara , sanksi dendanya lebih ringan dari Rp. 50 Juta menjadi Rp 10 Juta.

Pasal 607 ayat (2) RKUHP yang  diambil dari pasal 11 UU Tipikor tentang penyelengaraan yang menerima suap , ancaman hukumannya menjadi lebih ringan dari paling lama lima tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. 
Pada pasal tersebut, denda terpidana korupsi terjadi Rp.200 Juta. sedangkan  denda untuk tindakan serupa di ganjar Rp. 250 Juta pada UU Tipikor. 

Di dalam UU Tipikor sudah terdapat aturan pidana dan sanksi materi akan tetapi hal ini terdapat juga diatur di dalam RUU KUHP dengan prinsip dan bobot yang berbeda. Sebaiknya DPR  melakukan tindakan agar RUU KUHP bisa menjadi payung hukum pidana bagi semua Undang-Undang, salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu seperti seluruh pasal – pasal pidana yang sudah diatur di dalam Undag- Undang tidak perlu dimasukan di dalam RUU KUHP.

3. Kebebasan Pers dan Berpendapat    

Terdapat 10 pasal di dalam RUU KUHP yang mengancam kebebasan pers yaitu : pasal 219 tentang penghinaan terhadap  presiden dan wakil presiden, pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa, pasal 262 tentang penyiaran berita bohong, pasal 263 tentang berita tidak pasti, pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan, pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga Negara, pasal 440 tentang pencemaran nama baik, dan pasal 444 tentang pencemaran orang mati. 

Beberapa pasal di dalam RUU KUHP dianggap memberangus kebebasan berpendapat dan berpotensi mengancam kebebasan pers. Terdapat beberapa pasal yang berdampak terhadap  kehidupan demokrasi di tanah air. Pasal yang mengancam kebebasan pers seperti pasal penghinaan kepala negara, simbol negara atau pemerintah. Implementasi pasal – pasal tersebut membuka peluang kriminalisasi karena menghina dan mengkritik presiden dianggap sama. Tidak hanya menunjukan kemunduran demokrasi, tetapi juga akan mencoreng nama baik Indonesia di dunia internasional, terutama terkait kebebasan pers karena Negara Indonesia selama ini dihormati dunia karena demokrasi, kebebasan berpendapat dan kebebasan persnya.

4. Memelihara Hewan 

Hewan berkeliaran di atas lahan orang, menjadi pemandangan yang lumrah, terutama di  kawasan pedesaan. Tidak sedikit orang membiarkan hewan ternaknya mencari makan sendiri termasuk di atas lahan atau kebun milik orang lain.

Tetapi aturan hukum pidana melarang pembiaran semacam itu terjadi. Apalagi jika ternyata menimbulkan kerugian bagi pemilik lahan. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 548-549 KUHP. Selanjutnya masih dipertahankan dalam Pasal 278-279 draf Rancangan KUHP.

Pada pasal 278 RUU KUHP menyebutkan setiap orang yang membiarkan unggas diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi atau tanaman milik orang lain. Jika tetangga keberatan atas pasal itu dan pengadilan bisa membuktikannya tetangga terlapor bisa di hukum denda maksimal Rp. 10 juta. Selain denda juga terdapat kurungan penjara 6 bulan. Sebenarnya pasal ini lebih cocok dijadikan hukum perdata bukan pidana, sebaiknya juga dirumuskan secara materil, yang dilarang apabila perbuatan pembiaran mengakibatkan kerusakan karena  dikhawatirkan mengakibatkan permasalahan .

Keputusan pemerintah untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) belum cukup melegakan. Jika pembahasan dilanjutkan, harus dipastikan seluruh elemen masyarakat yang terkait dilibatkan. DPR dan pemerintah kekeh untuk mengesahkan RUU KUHP di tengah banyak kelompok masyarakat yang meminta pembahasan ditunda untuk membahas ulang pasal-pasal dalam RKUHP tersebut.

Aliansi nasional reformasi KUHP merekomendasikan untuk menunda pengesahan RUU KUHP dikarenakan masih terdapat banyak masalah, salah satunya dimasukannya hukum adat ke dalam RUU KUHP. Aliansi reformasi KUHP menilai bahwa sebaiknya ketentuan mengenai hukum adat tersebut ditinjau ulang secara mendalam. Hal ini agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak terjadi overkriminalisasi dalam system hukum pidana di Negara Indonesia.