NU dan Muhammadiyah Layak Dapat Nobel Perdamaian

Seminar yang diselenggarakan atas kerja sama antara KBRI Oslo dan Oslo Metropolitan University

Bengkulutoday.com - Dua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah masuk dalam daftar nominasi peraih Nobel Perdamaian. Mendengar hal tersebut, Guru Besar (Profesor) Studi Islam Asia Tenggara di Universitas Leiden, Belanda, Nico JG Kaptein mendukungnya.

"Itu ide yang sangat bagus untuk dinominasikan meraih penghargaan Nobel perdamaian," katanya seperti dilansir dari NU Online selepas mengisi seminar The Study of Islam: Indonesian and European Perspectives di Erasmus Huis, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (26/6).

Pasalnya, menurut Kaptein, NU dan Muhammadiyah secara nyata menebarkan benih-benih toleransi kepada masyarakat Indonesia dan dunia.

"Mereka betul-betul menyebarkan toleransi," ujar penulis buku Islam, Kolonialisme, dan Zaman Modern Hindia Belanda, Biografi Sayid Usman (1822-1914) itu.

Lebih lanjut, Kaptein juga mengungkapkan bahwa hal tersebut sangat penting mengingat kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu memiliki banyak pengaruh dalam masyarakat Indonesia.

Sebelumnya, Kaptein mengaku belum mendengar kabar NU dan Muhammadiyah dinominasikan meraih Nobel Perdamaian. "Sebetulnya, saya belum mendengar nominasi ini," kata akademisi yang tengah meneliti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi itu.

Meskipun demikian, ia berharap semoga kedua organisasi tersebut benar-benar terwujud untuk mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut. "Saya berharap mereka betul-betul bisa mendapatkan itu (Nobel Perdamaian)," imbuhnya.

Sebelumnya, seminggu yang lalu, Rabu (19/6/2019), perwakilan NU dan Muhammadiyah hadir memenuhi undangan seminar yang digelar oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Oslo Norwegia bekerjasama dengan Universitas Metropolitan Oslo di Oslo, Norwegia.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud menjelaskan tentang konsep Islam Nusantara yang merefleksikan bentuk Islam moderat.

Konsep Islam Nusantara yang mempromosikan nilai-nilai dasar Islam seperti jalan tengah (tawasuth), berkeseimbangan (tawazun), dan toleransi (tasamuh) merupakan norma yang ditumbuhkembangkan untuk memelihara perdamaian dan persatuan bangsa Indonesia di tengah kemajemukan yang sangat kompleks.

Selain itu, hadir mewakili Muhammadiyah, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti. Hadir pula Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid dan Agamawan Romo Franz Magnis Suseno. 

Artikel terkait seminar yang digelar oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Oslo Norwegia bekerjasama dengan Universitas Metropolitan Oslo di Oslo, Norwegia

KIPRAH NU DAN MUHAMMADIYAH BERANTAS RADIKALISME DIKENALKAN DI OSLO

Peran Nahdhatul Ulama dan Muhamadiyah dalam memberantas ekstrimisme dan radikalisme menggaung di Eropa. Dalam sebuah seminar yang bertajuk The Role of Civil Society in Facing Radicalism in Indonesian Society, wakil dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini menjelaskan upaya yang telah dilakukan dalam memberantas radikalisme di Indonesia.

Seminar yang diselenggarakan atas kerja sama antara KBRI Oslo dan Oslo Metropolitan University berlangsung pada Rabu, 19 Juni 2019. Dari NU paparan disampaikan oleh Ketua PBNU, KH. Dr. Marsudi Syuhud. Sementara dari Muhammadiyah paparan disampaikan oleh Dr. Abdul Mu’ti, Sekjen PP Muhammadiyah. Selain dua tokoh ini, juga hadir Direktur Wahid Institute, Yenny Wahid dan Profesor Elisabeth Eide dari Oslo Metropolitan University yang bergabung dalam panel pembicara di sesi tanya jawab.

Dubes RI untuk Norwegia merangkap Islandia, Todung Mulya Lubis saat membuka seminar menyampaikan bahwa NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi yang memiliki pengaruh besar di Indonesia.

“Saat ini jumlah anggota NU sekitar 60 juta dan Muhammadiyah sekitar 40 juta. Kalau ditotal berarti jumlahnya sekitar 38,46% dari total penduduk Indonesia. Dengan prosentase yang cukup besar tersebut, peran kedua organisasi ini memiliki arti penting sebagai kekuatan untuk menjaga keutuhan NKRI”, ujar Dubes Mulya Lubis.

Lebih lanjut Mulya Lubis menambahkan bahwa kekuatan sebuah negara sangat dipengaruhi oleh kekuatan masyarakat sipilnya. Kalau masyarakat sipilnya kuat maka otomatis akan kuat pula negaranya. Untuk itu NU dan Muhammadiyah punya andil besar untuk menjaga masyarakat sipil Indonesia yang toleran dan berkemajuan.

Pada seminar ini, KH Marsudi menjelaskan tentang konsep Islam Nusantara yang merefleksikan bentuk Islam moderat. Konsep Islam Nusantara yang mempromosikan nilai-nilai dasar Islam seperti “jalan tengah (tawasuth)”, berkeseimbangan (tawazun)”, dan toleransi (tasamuh) merupakan norma yang ditumbuhkembangkan untuk memelihara perdamaian dan persatuan bangsa Indonesia di tengah kemajemukan yang sangat kompleks.

Di sisi lain, Dr. Mu’ti menjelaskan bahwa meskipun menggunakan pendekatan yang berbeda, Muhammadiyah juga mengenalkan konsep muslim yang moderat, damai dan makmur. Menurutnya setiap muslim memiliki tangung jawab terhadap pribadinya, masyarakatnya dan negaranya.

“Sebagai individu, setiap muslim bebas menjalankan amal ibadah sesuai ajaran yang diyakininya. Namun harus diingat bahwa kebebasannya itu juga dibatasi dengan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Dia harus tunduk pada norma sosial masyarakat serta hukum positif yang diatur oleh negara”, jelas Dr. Mu’ti.

Sementara Yenny Wahid, pada sesi tanya jawab menyinggung peran NU dan Muhamadiyah dalam mengkonter fenomena hoaks dan fakenews yang marak di sosial media.

Menurutnya, tantangan besar organisasi masyarakat Indonesia saat ini adalah bagaimana memainkan peran lebih besar di sosial media. Dalam hal ini, NU dan Muhammadiyah dituntut bisa membuat kontra narasi dan kontra identitas untuk menangkal berbagai hoaks dan pemberitaan keliru di media sosial.

“Anak muda sekarang kan semangatnya pengen jadi “hero”. Untuk menjadi hero mereka cenderung mencari “enemy”. Tugas kita adalah mendorong mereka untuk menemukan identitas yang tepat, sehingga mereka bisa menentukan dengan benar siapa yang patut dijadikan musuh dan siapa hero sesungguhnya.

Yenny juga menyebutkan bahwa kelompok radikal padahal jumlahnya tidak banyak tapi heboh, dan bisa menguasai media (noisy minority). Sementara mayoritas muslim Indonesia saat ini lebih cenderung tenang dan diam (silent majority) menjalankan rutinitas sehari-hari. Sehingga pengaruh kelompok mayoritas ini di media sosial belum terlalu besar.

“Sudah saatnya kita berfikir untuk mentransformasi Silent Majority untuk bisa menjadi Noisy Majority”, pungkas Yenny.

Oslo, 19 Juni 2019
KBRI Oslo