Nadiem dan Akselarasi Membangun Pekerja

Pengemudi gojek saat dukung pendirinya

Penunjukan Nadiem Makarim menjadi Mendikbud dilakukan supaya ia membuat terobosan-terobosan yang signifikan dalam pengembangan SDM, yang siap kerja, siap berusaha, yang me-link and match-kan antara pendidikan dan industri.

Bicara soal kualitas sumber daya manusia, Indonesia setidaknya menghadapi dua tantangan besar. Pertama, revolusi industri keempat, yang saat ini telah mulai berlangsung. Di mana selain menjadi faktor pendorong perubahan yang sangat cepat, revolusi industri keempat ini juga membawa fenomena disrupsi yang sangat besar.

Profesor Klaus Martin Schwab (2016 dalam The Fourth Industrial Revolution) menyebutkan, masyarakat dunia kini berada pada awal sebuah revolusi yang secara fundamental bakalan mengubah cara hidup, cara bekerja, dan cara manusia berhubungan satu sama lain.

Perubahan ini berlangsung sangat dramatis dan terjadi pada kecepatan yang eksponensial. Menurut Schwab, perubahan ini bahkan lebih dramatis dibandingkan era revolusi industri sebelumnya. Karakteristik industri keempat akan ditandai oleh kolaborasi manusia-mesin.

Rilis McKinsey Global Institute, Jobs Lost, Jobs Gained: Workforce Transitions in a Time of Automation, terbit pada Januari 2017 mengatakan, setidaknya “…antara 400 juta sampai 800 juta orang di seluruh dunia mungkin bakal digantikan mesin dan harus mencari pekerjaan baru di tahun 2030.” Menurut McKinsey, posisi pekerjaan yang notabene paling rentan terotomatisasi adalah jenis-jenis pekerjaan yang lebih banyak melibatkan kekuatan fisik. Selain itu, juga jenis pekerjaan yang berkaitan dengan kerja mengumpulkan dan memproses data seperti paralegal dan akuntan.

Berdasarkan riset McKinsey pula, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) periode 2014 – 2019, Bambang Brodjonegoro, pernah mengatakan bahwa Indonesia akan kehilangan hingga 50 juta peluang kerja akibat disrupsi ekonomi dari revolusi digital atau revolusi industri keempat.

Sementara tantangan kedua adalah globalisasi. Utamanya ialah setelah momen integrasi ekonomi kawasan di Asia Tenggara, yaitu sejak dimplementasikannya agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah dimulai pada akhir 2015. Arus bebas tenaga kerja menjadi salah satu agenda utama untuk mendukung pembentukan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi.

Hingga saat ini, sudah ada delapan profesi yang memiliki mutual recognition agreement (MRA) di tingkat ASEAN. Kedelapan profesi itu masing-masing adalah insinyur, arsitek, surveyor, dokter umum, dokter gigi, perawat, jasa pariwisata, dan akuntan. Sudah tentu tidak tertutup kemungkinan pelbagai profesi lain ke depan semakin banyak bakalan disepakati untuk dibuka pada tingkat ASEAN.

Sudah tentu revolusi industri keempat dan integrasi kawasan MEA bakalan memantik perubahan struktural secara besar-besaran. Selain arus mobilitas pekerja dan kesempatan kerja di tingkat kawasan ASEAN semakin terbuka lebar dan juga kompetitif, revolusi industri keempat mudah diprediksi bakalan mendongkrak peningkatan kebutuhan pekerja kualifikasi terampil. Namun bersamaan itu, di sisi lain secara simultan juga bakalan terjadi penurunan kebutuhan pekerja tidak terampil yang signifikan.

Merujuk Kemendikbud 2016 dalam Revitalisasi Pendidikan Vokasi diprediksi permintaan terhadap kebutuhan pekerja terampil di ASEAN di sepanjang tahun 2010 – 2025 akan naik sebesar 41 persen atau sekitar 14 juta orang. Separuh dari angka tersebut merupakan kebutuhan Indonesia. Kemudian disusul Filipina dengan kebutuhan sebesar 4,4 juta orang.

Pekerjaan Rumah “Besar”

Jelas, Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah besar yang harus segera diselesaikan. Merujuk data Sakernas bulan Agustus 2018, proporsi pekerja berkeahlian menengah dan tinggi hanya tercatat sekitar 39,57 persen. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Dari angka itu, masih tercatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) lulusan pendidikan menengah dan tinggi juga masih berada pada kisaran 7,79 persen.

Hal ini jelas mengisyaratkan adanya fenomena “mismatch”, antara penyediaan layanan pendidikan sebagai sumber pasokan tenaga kerja dan kebutuhan pasar tenaga kerja. Sementara itu, profil pekerja juga masih didominasi oleh lulusan SMP ke bawah. Proporsinya masih mencapai 58,77 persen atau 72,88 juta orang.

Menjawab tantangan profil pasar tenaga kerja tersebut, Indonesia harus meningkatkan kompetensi lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja di masa depan. Riset McKinsey menyebutkan, Indonesia perlu meningkatkan angka lulusan pendidikan menengah dan universitas sebesar 3,7 persen per tahun. Ini berarti setara dengan jumlah sekitar 700.000 lulusan pada setiap tahunnya.

Pekerjaan rumah lainnya ialah meningkatkan produktivitas dan daya saing manusia Indonesia. Merujuk Global Human Capital Report yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF) 2017, peringkat SDM Indonesia berada pada posisi 65 dari 130 negara. Posisi ini tertinggal dibandingkan Malaysia (peringkat 33), Thailand (peringkat 40), Filipina (peringkat 50), dan Vietnam (peringkat 64).

Posisi ini tak jauh berbeda dengan catatan Bank Dunia 2018. Dalam Human Capital Index 2018, Indonesia berada di peringkat ke-87 dari 157 negara. Indonesia mendapatkan skor 0,53 yang berarti bahwa setiap anak yang lahir memiliki 53 persen kesempatan untuk bisa bertumbuh. Itu dengan catatan ia menyelesaikan pendidikannya dan memiliki akses penuh terhadap kesehatan.

Secara global, posisi Singapura menduduki peringkat pertama dengan skor 0,88. Adapun pada lingkup Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat ke-6 di bawah Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Sedangkan Indonesia hanya unggul dari Kamboja, Myanmar, Laos, dan Timor Leste.

Celakanya lagi, kapasitas adopsi iptek dan penciptaan inovasi Indonesia juga masih terbilang rendah. Merujuk Global Innovation Index (GII, 2019), Indonesia memiliki skor 29,8 atau peringkat ke-85 dari 129 negara di dunia.

Di regional ASEAN, peringkat inovasi Indonesia berada di posisi kedua terendah. Negara tetangga lainnya di ASEAN yang berhasil masuk peringkat 10 besar dunia hanyalah Singapura dengan skor 58,4. Meski demikian negara tetangga lainnya seperti Malaysia berada di peringkat ke-35, Thailand peringkat ke-43, Vietnam peringkat ke-42, Filipina peringkat ke-54, Brunei Darussalam peringkat ke-32. Posisi Indonesia berada di atas Kamboja yang berada pada peringkat ke-96.

Kebijakan Pembangunan SDM

SDM berkualitas merupakan salah satu sumber utama pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Semakin berkualitas SDM sebuah negara, maka akan makin maju negara tersebut. Kebijakan peningkatan kualitas SDM dan mendorong efisiensi pasar tenaga kerja merupakan suatu keharusan untuk mewujudkan “Indonesia Maju” di 2045.

Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI periode 2019-2024, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan, prioritas utama yang hendak dilakukannya ialah membenahi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Caranya ialah selain membangun pekerja beretos kerja tinggi, SDM Indonesia juga diharapkan sanggup bekerja terampil dalam sebuah tim kerja, dan menguasai teknologi (technical skills).

Selain itu, pemerintah juga akan mengoptimalkan kerja sama dengan industri demi membenahi kualitas manusia Indonesia. Tak kecuali Presiden juga bermaksud mendorong maju perihal keberadaan talenta Indonesia.

“Mengundang talenta global bekerja sama dengan kita,” kata Jokowi di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Jakarta, Minggu (20/10/2019).

Sepanjang periode 2014 – 2019, Presiden Jokowi telah menempatkan pendidikan vokasi sebagai prioritas utama pembangunan pendidikan. Dalam kerangka peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia, Presiden Jokowi juga telah mengeluarkan Inpres No 9 tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK (Sekolah Menengah Kejuruan).

Dalam Inpres itu setidaknya ada empat visi utama. Kemendikbud pertama-tama mendapat tugas membuat peta jalan pengembangan SMK. Kedua, berpijak konsepsi link and match, Kemendikbud bertugas menyelaraskan dan menyempurnakan kurikulum SMK supaya memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Ketiga, Kemendikbud bertugas meningkatkan kerja sama antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan dunia usaha/industri. Dan keempat, Kemendikbud juga harus meningkatkan akses, sertifikasi lulusan SMK dan akreditasi SMK.

Sejauh ini, proses revitalisasi SMK telah berada di jalur yang tepat. Merujuk rilis KSP (Kantor Staf Presiden), Lima Tahun Maju Bersama—Capaian Pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla (2019) disebutkan keberadaan SMK dan industri yang telah berkolaborasi untuk memajukan pendidikan vokasi jumlahnya kini semakin meningkat. Hingga tahun 2019 setidaknya tercatat 2.612 SMK dan 1.032 industri telah menjalin kerja sama melalui konsep pemagangan bagi peserta didik.

Benar, bahwa angka ini masih jauh dari dua pertiga jumlah keseluruhan SMK di Indonesia. Jumlah SMK di Indonesia mencapai kurang-lebih 14.000-an. Namun bengkaknya jumlah SMK sendiri ialah potret capaian dan bukti keseriusan pemerintah mendorong pendidikan vokasi, mengingat target pemerintah sebenarnya hanya menambah SMK hingga 7.500 unit pada tahun 2020.

Keseriusan pemerintah lainnya juga terlihat dari didorongnya kebijakan fiskal super deductible tax bagi industri. Kebijakan fiskal ini memberikan insentif berupa pemotongan pajak bagi industri yang terlibat dalam program pendidikan vokasi.

Selain itu, merujuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 – 2024 yang disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas, saat ini tinggal tersisa 17 persen SMA dan 13 persen SMK yang masih belum terfasilitasi akses internet.

Namun tugas membenahi pendidikan vokasi naga-naganya masih jauh dari berhasil. Ini harus diakui. Sekalipun pada 2018 lapangan kerja meningkat 2,98 juta sehingga tingkat pengangguran terbuka (TTP) berhasil diturunkan menjadi 5,34 persen, lulusan SMK sendiri masih tercatat mengambil proporsi sebesar 11,24 persen. Besarnya TPT tersebut disusul oleh lulusan SMA sebanyak 7,95 persen.

Presiden Jokowi mengatakan, penunjukan Nadiem Makarim menjadi Mendikbud dilakukan supaya ia “…membuat terobosan-terobosan yang signifikan dalam pengembangan SDM, yang siap kerja, siap berusaha, yang me-link and match antara pendidikan dan industri.”

Setidaknya spesifik pada kebutuhan kualitas SMK, merujuk Revitalisasi Pendidikan Vokasi yang diterbitkan oleh Kemendibud, jelas ada beban berat di pundak Mendikbud. Merujuk konsepsi Trilling and Fadel (2010), buku itu menyebutkan bahwa pembelajaran di SMK harus sanggup mengembangkan keterampilan abad ke-21. Lulusan SMK diharapkan memiliki kualitas “innovative, inventive, self-motivated and self-directed, creative problem solvers to confront increasingly complex global problem”.

Sejauh mana kebijakan terobosan Mendikbud Nadim Makarim sanggup membawa SDM Indonesia berlari kencang dan sekaligus melompat jauh untuk mengejar seluruh ketertinggalan? Mari ditunggu gebrakan Pak Menteri termuda dalam Kabinet Indonesia Maju ini.