Ketimpangan Kesejahteraan di Indonesia

Febrianto Nainggolan

Kemiskinan selalu menjadi masalah utama dalam pemerintahan di Indonesia. Hal ini dipertegas dengan masih tingginya persentase penduduk miskin pada tahun 2021 yakni sebesar 10,14 persen. Selain tingginya persentase penduduk miskin, persoalan ketimpangan juga menjadi beban pemerintah dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di negara ini.

Angka kemiskinan di Indonesia yang kembali meningkat sejak berlangsungnya pandemi menjadi sorotan dalam pemberitaan media. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia yang selalu menunjukkan tren menurun sejak tahun 2010 akhirnya selesai pada tahun 2019. Persentase penduduk miskin kembali meningkat pada tahun 2020 akibat munculnya pandemi Covid-19. Kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat yang dikeluarkan oleh pemerintah sangat berdampak dalam perekonomian, terkhusus  bagi penduduk miskin. Kondisi ini memengaruhi peningkatan persentase penduduk miskin di Indonesia selama pandemi.
Selain persentase penduduk miskin, terdapat indikator Gini Ratio yang juga tidak kalah penting dalam membahas kemiskinan. Gini ratio atau koefisien Gini merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur ketimpangan/kesenjangan pengeluaran penduduk. Dalam kata lain, gini ratio menunjukkan seberapa besar ketimpangan kesejahteraan seluruh penduduk. 

Dibandingkan dengan persentase penduduk miskin, perkembangan angka Gini Ratio di Indonesia menunjukkan tren yang berbeda. Sejak tahun 2010 hingga saat ini, Gini Ratio Indonesia cenderung stagnan berada di sekitar angka 0,38 (BPS). Hal ini menunjukkan ketimpangan kesejahteraan penduduk di Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun. 

Jika dibandingkan dengan negara lain, berdasarkan data World Population Review, dengan rentang nilai dari 0 hingga 100, pada tahun 2021, gini ratio Indonesia berada pada angka 37,8. Jika dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki pendapatan per kapita yang hampir sama dan jauh lebih kecil,  koefisien gini Indonesia dengan pendapatan per kapita $4.374, tidak lebih baik. Aljazair ($4.327) dan Afganistan ($519) menunjukkan koefisien gini yang lebih kecil dengan masing-masing sebesar 27,4 dan 29,4. Bahkan, negara yang masih satu kawasan, Vietnam ($2.876) memiliki koefisien gini sebesar 35,7. Kondisi tersebut menepis anggapan bahwa kesenjangan kesejahteraan disebabkan akibat rendahnya pendapatan penduduk.

Kondisi ketimpangan kesejahteraan berkaitan erat dengan pemerataan akses. Akses tersebut dapat berupa akses kesehatan, akses pendidikan, akses hiburan, dan juga akses informasi. Keterbatasan akses penduduk di suatu wilayah terhadap berbagai hal dapat mengakibatkan melambatnya perkembangan tingkat kesejahteraan di wilayah tersebut. Sementara, penduduk di wilayah yang memiliki banyak pilihan untuk mengakses berbagai hal akan memperoleh manfaat dalam perekonomian baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Misalkan pada akses kesehatan, kelompok penduduk yang memiliki akses lebih mudah terhadap berbagai fasilitas kesehatan akan berpeluang besar untuk tetap sehat dan terlindungi dari berbagai masalah kesehatan yang beresiko tinggi. Dengan kondisi tersebut, kelompok penduduk tersebut akan memiliki tingkat kesehatan yang baik sehingga dapat menjalankan aktivitas perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan. Sedangkan, pada kelompok penduduk dengan akses kesehatan terbatas, minimnya fasilitas kesehatan yang berkualitas menjadikan masyarakat untuk terpapar berbagai penyakit dengan resiko tinggi seperti kematian. Bahkan, meskipun tidak sampai meninggal, tingkat kesehatan yang rendah akan menghambat aktivitas perekonomian penduduk, misalnya bekerja.

Selain itu, menurut Bank Dunia, ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh empat faktor utama. Pertama, ketimpangan peluang. Seorang anak yang lahir di keluarga miskin akan lebih berpeluang untuk tetap miskin dibandingkan yang lahir di keluarga kaya. Faktor ini merupakan faktor yang berada di luar kendali individu. Kedua, ketimpangan pasar kerja. Pasar tenaga kerja di Indonesia terlalu banyak erupa pekerjaan informal dengan produktivitas rendah dan pemasukan yang kecil. Ketiga, konsentrasi kekayaan. Proporsi kepemilikan aset keuangan yang sangat besar oleh kaum elit mendorong ketimpangan yang tengah berlangsung akan sulit diperbaiki. Terakhir, ketimpangan dalam menghadapi goncangan. Saat terjadi goncangan ekonomi, seperti yang dirasakan selama pandemi saat ini, masyarakat miskin akan lebih terkena dampak dan mengalami penurunan kemampuan untuk memperoleh pemasukan. Hal ini tidak berlaku untuk masyarakat kaya yang memiliki kestabilan ekonomi yang lebih baik.

Kondisi ketidakmerataan akses ini mengakibatkan semakin tingginya ketimpangan kesejahteraan antara penduduk yang tinggal di wilayah dengan akses terbatas dengan penduduk yang memiliiki akses tidak memiliki batasan akses. Oleh karena itu, dibutuhkan peran pemerintah dalam pemerataan akses di berbagai wilayah untuk mengurangi ketimpangan kesejahteraan.

Peran pemerintah dalam penanganan masalah ketimpangan dapat dianalogikan seperti playmaker dalam sebuah tim sepakbola. Playmaker merupakan peran penting yang dimiliki pemain dalam tim sepakbola yang diperlukan untuk mengatur aliran bola serta menentukan orang yang tepat untuk dioper dalam proses untuk mencetak gol. Pemerintah harus mengatur kebijakan serta menentukan sasaran penduduk yang tepat untuk diberikan kebijakan tersebut demi mencapai tujuan akhir yaitu menyelesaikan masalah ketimpangan.

Bank Dunia (2015) memberikan beberapa rekomendasi terkait penanganan ketimpangan di Indonesia, diantaranya memperbaiki pelayanan umum, memperkuat perlindungan sosial, melakukan pelatihan keterampilan tenaga kerja, menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih baik, dan meningkatkan pengumpulan pajak. 

Sementara, upaya yang sudah dilakukan pemerintah untuk mengurangi ketimpangan diantaranya memberikan subsidi, bantuan sembako dan beras miskin, bantuan langsung tunai (BLT) untuk penduduk miskin, bantuan modal usaha untuk UMKM, hingga bantuan pelatihan keterampilan prakerja. Sayangnya, tidak semua pelaksanaan upaya-upaya tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga memberikan hasil yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebagai contoh, program  bantuan langsung tunai (BLT) kepada penduduk miskin. Bantuan langsung tunai yang seharusnya diterima keluarga miskin yang sudah ditargetkan ternyata diterima oleh keluarga lain yang lebih mampu. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan yang lebh ketat dalam pelaksanaan program-program tersebut.

Akhirnya, selain membuat kebijakan, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pengawasan untuk memastikan kebijakan tersebut dilaksanakan tepat sasaran demi mengurangi ketimpangan. Pengawasan kebijakan tersebut juga dapat melibatkan elemen masyarakat sehingga mempercepat pemerataan kesejahteraan di Indonesia.

Penulis: Febrianto Nainggolan, S.Tr.Stat, ASN di BPS Kabupaten Kepahiang