Yuk, Pahami Fidusia dan Perlindungan Hukumnya

Ilustrasi

Oleh: Arta Alfansyah (S1 Akuntansi, Universitas Bengkulu)

Istilah Fidusia sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia, terutama dalam konteks hukum yang mengatur tentang hutang-piutang dan transaksi keuangan. Kata Fidusia sendiri diambil dari Bahasa Romawi “fides” yang berarti kepercayaan. Dalam Hukum Indonesia yang masih banyak mengacu pada kitab hukum Belanda, istilah ini secara lengkap disebut dengan Fiduciarie Eigendom Overdracht (F.E.O) yang mengacu pada pegalihan suatu hak kepemilikan atas barang bergerak maupun tidak bergerak secara kepercayaan. 

Contoh kasus yang paling sederhana dari Fidusia adalah pembelian mobil atau motor secara kredit dengan menggunakan perusahaan pembiayaan atau leasing. Pihak leasing memberikan hak kepemilikan tersebut kepada debitur dengan kepercayaan bahwa yang bersangkutan akan membayar kembali dana yang dikeluarkan untuk membeli kendaraan tersebut hingga lunas beserta bunganya sesuai ketentuan yang disepakati. Setelah semua pinjaman lunas, barulah hak kepemilikan akan berpindah tangan ke debitur secara tuntas.

Namun sayangnya, tidak sedikit kasus jika si debitur menunggak kredit beberapa bulan maka perusahaan pembiayaan atau leasing selaku kreditur langsung mengambil paksa barang atau kendaraan debitur lewat debt collector. Padahal jika kita pahami Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, kreditur tidak bisa mengambil barang milik debitur secara paksa lho!.

Penjaminan Fidusia diatur oleh UU No. 42 Thn 1999 yang mengatur tentang hak dan kewajiban debitur maupun kreditur. Mengenai jaminan Fidusia itu sendiri sebenarnya bersifat accessoir karena dapat berubah sesuai dengan kondisi perjanjian utamanya, yaitu perjanjian hutang piutang. Oleh karena itu, jika hutang yang diberikan telah dilunasi susuai dengan ketentuan yang telah disepakati kedua belah pihak, maka perjanjian mengenai jaminan Fidusia juga akan terhapuskan.

Lembaga jaminan fidusia juga memberikan perlindungan terhadap benda bergerak atau kendaraan yang sedang di kredit oleh debitur. Perlindungan tersebut berupa kreditur tidak bisa mengeksekusi barang tersebut kecuali dalam hal debitur wanprestasi. Kewenangan melakukan eksekusi baru bisa dilakukan oleh kreditur apabila debitur melakukan wanprestasi dengan memperhatikan Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata.
Karena memiliki dasar hukum yang mengaturnya, maka pelanggaran akan perjanjian Fidusia dan jaminan Fidusia dapat mengakibatkan sanksi hukum baik pidana maupun perdata. Hal ini diberlakukan untuk menghindari kecurangan-kecurangan yang dapat dilakukan salah satu pihak sehingga merugikan pihak lainnya. Pasalnya, tidak sedikit ditemukan kecurangan-kecurangan atau kasus pelanggaran terhadap perjanjian Fudisia ini. Akibat dari kasus pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak tersebut, tentu dapat merugikan pihak lainnya.

Untuk lebih jelasnya, berikut contoh-contoh kasus pelanggaran terhadap jaminan Fidusia.

1.    Pengambilan secara paksa oleh pihak kreditor
Pihak kreditor tidak berhak mengambil barang yang telah dialihkan kepemilikannya baik secara sebagian maupun keseluruhan kepada debitur selama debitur masih memenuhi tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jadi, walaupun hutang belum lunas, maka pihak kreditor atau pemberi dana tidak bisa mencabut begitu saja hak kepemilikan debitor, selama debitor misalnya masih mencicil dengan teratur beserta bunga dan dendanya. Melakukan tindakan ini dapat mengakibatkan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan UU No. 42 Tahun 1999.

2.    Perjanjian hutang piutang mengatasnamakan pihak lain
Peminjaman yang dilakukan atas nama orang lain sebagai debitur dengan cara memalsukan identitas tanpa sepengetahuan pihak kreditor. Ini adalah kasus yang paling sering terjadi di masyarakat luas yang juga termasuk tindak penipuan sehingga akan terkena tindak pelanggaran pidana juga. Jadi pihak debitur mengajukan permohonan pembiayaan kepada perusahaan leasing dan dengan menggunakan nama orang lain.
Jika terjadi kemacetan saat pembayaran, maka pihak kreditur berhak mengajukan gugatan pidana maupun perdata kepada pihak debitur dan juga pihak yang meminjamkan namanya. Kasus ini diatur dalam pasal 35 UU nomer 42 tahun 1999 dan juga Pasal 378 KUHP.

3.    Menggunakan barang yang bukan menjadi milik sah sebagai jaminan Fidusia
Dalam hal ini misalnya, ada kasus mengenai penipuan dengan menggunakan mobil yang dipinjam pada perusahaan rental mobil sebagai jaminan gadai. Dalam kasus ini, mobil rental adalah jaminan Fidusia yang tidak dapat digunakan sebagai jaminan perjanjian hutang piutang lainnya. Baik pihak kreditor maupun pemilik rental berhak menutut debitur secara hukum atas kasus penipuan dan juga pelanggaran UU Fidusia.
Untuk menjamin keabsahan hukum atas jaminan Fidusia, barang tersebut harus terlebih dahulu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia seperti yang diatur pada pasal 11 UU Fidusia. Pihak penerima jaminan Fidusia akan mendaftarkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang berkekuatan hukum karena sudah disahkan oleh badan hukum yang berwenang dalam hal ini Notaris, PPAT, dll.

Dengan adanya sertifikat ini sebagai bukti sah, pengurusan Fidusia akan jauh lebih mudah dan legal. Tanpa adanya perjanjian yang sah, bisa jadi pihak debitur maupun kreditor menyangkal perjanjian hutang piutang sebelumnya pernah terjadi yang berakibat dengan batalnya perjanjian Fidusia. Dalam kasus ini, maka status kepemilikan barang bisa diakui oleh pihak yang membeli dan melunasi barang tersebut.

Nah, itu tadi pembahasan mengenai … semoga bermanfaat. Sampai jumpa di lain kesempatan.