Jend Purn Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri Pertama yang Akan Mendapat Gelar Pahlawan Nasional

Soekanto Tjokrodiatmodjo (Foto: Wikipedia)

Bengkulutoday.com - Pemerintah akan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 6 orang Pahlawan dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 2020. Hal ini disampaikan oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara dalam konferensi pers Hari Pahlawan 2020 "Pahlawanku Sepanjang Masa" di Jakarta, Jumat (6/11/2020).

Berikut 6 calon Pahlawan tersebut:

1. Sultan Baabullah dari Provinsi Maluku Utara, 
2. Macmud Singgirei Rumagesan – Raja Sekar dari Provinsi Papua Barat, 
3. Jenderal Polisi (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo dari Provinsi DKI Jakarta, 
4. Arnold Mononutu dari Provinsi Sulawesi Utara, 
5. MR SM Amin Nasution dari Provinsi Sumatera Utara, 
6. Raden Mattaher Bin Pangeran Kusen Bin Adi dari Provinsi Jambi.

"Itu adalah 6 calon penerima gelar pahlawan yang akan disampaikan oleh bapak presiden pada 10 November 2020 setelah upacara ziarah nasional di TMP Kalibata," kata Juliari Batubara.

Dari enam Pahlawan tersebut, salah satunya adalah Jenderal Pol (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Dia adalah Kapolri pertama. 

Jenderal Pol (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo lahir di Bogor, Jawa Barat, 7 Juni 1908 – meninggal di Jakarta 25 Agustus 1993 pada umur 85 tahun. Dia  adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri; dulu bernama Kepala Djawatan Kepolisian Negara) pertama, menjabat dari 29 September 1945 hingga 14 Desember 1959.

Mengutip dari Wikipedia, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo merupakan anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan R. Martomihardjo, seorang pamong praja yang berasal dari Ketangi Daleman, Purworejo, Jawa Tengah dan Kasmirah dari Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Soekanto lahir di rumah uak dari ibunya yang menikah dengan Ermeling, perwira KNIL yang tinggal di Bogor. Pada tahun 1908, Martomihardjo bekerja di Jasinga, Bogor, sebagai asisten wedana bersama keluarga kecilnya. Mereka tinggal di rumah keluarga Ermeling. Belum genap setahun usianya, Soekanto bersama orang tuanya meninggalkan Bogor dan pindah ke Balaraja, Serang, karena Martomihardjo diangkat sebagai wedana di sana. Pada tahun 1910, Wedana Martomihardjo berpindah lagi ke tempat tugasnya yang baru di Tangerang. Tumbuh kembang Soekanto diwarnai oleh kehidupan penuh disiplin yang diterapkan ayahnya. Jabatan ayahnya sebagai pamong praja, terutama wedana, memberikan pengaruh besar bagi kehidupan Soekanto karena ayahnya memiliki kewibawaan tersendiri di mata masyarakat setempat.

Soekanto menikah dengan Bua Hadjijah Lena Mokoginta, teman sekolah adik Soekanto di MULO, yakni Soenarti. Lena Mokoginta gadis Manado dari Bolaang Mongondow, menetap di Jakarta setelah orang tuanya dikucilkan Belanda dari daerahnya. Lena Mokoginta adalah putri mantan Jogugu (pepatih dalam) Kerajaan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara (Korteverklaring), yang dikenal tidak menyukai kebijakan-kebijakan pemerintah kolonialisme Belanda. Mereka menikah pada tanggal 21 April 1932.

Kehidupannya sangat sederhana sehingga menjadi panutan bagi bawahannya.

Soekanto termasuk sebagian kecil dari kaum pribumi yang memperoleh pendidikan Barat yang hanya terbuka bagi kalangan priyayi. Kondisi sosial tersebut memudahkannya dapat mengenyam pendidikan, seperti di Frobel School (Taman Kanak-kanak), ELS, HBS, dan RHS. Pendidikan Belanda yang dialaminya telah memberikan pengaruh penting terhadap proses kultural dalam peningkatan intelektualitas dan disiplin dalam dirinya, yang telah ditanamkan keluarga. Walaupun demikian, pendidikan Barat tersebut tidak menjadikan Soekanto terpengaruh oleh budaya Belanda. Pertahanannya dalam memegang teguh jati dirinya terlihat sejak sekolah di ELS Bogor. Ketika itu Soekanto menolak diberi nama Belanda sebagai kebanggaan kalangan kaum pribumi yang mendapat pendidikan dan pengasuhan orang-orang Belanda. Penolakan ini atas nasihat yang diberikan ayahnya untuk tidak mengganti nama Soekanto dengan panggilan nama Belanda. Penolakan Soekanto terhadap pemberian nama Belanda terulang kembali ketika tinggal di asrama HBS, Bandung.

Waktu kuliah di RHS tahun 1928, Soekanto berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan, seperti Mr. Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Mereka saling berdiskusi tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Soekanto juga meminta pendapat mereka ketika harus meninggalkan kuliah di RHS dan berencana masuk Comissarisen Cursus, lembaga pendidikan tinggi kepolisian yang memberi kesempatan kepada anak-anak pejabat pribumi yang terpilih. Dia terpaksa meninggalkan RHS karena kondisi perekonomian ayahnya yang telah pensiun dari jabatan wedana Tangerang.

Pada 1930, Soekanto diterima sebagai siswa Aspirant Commisaris van Politie dengan lama pendidikan tiga tahun. Soekanto lulus pada tahun 1933 dan mendapat pangkat Komisaris Polisi kelas III. Sejak itu dimulailah karier Soekanto di kepolisian.

Menjadi Kepala Kepolisian Negara RI Pertama

Tanggal 29 September 1945, R.S. Soekanto ditetapkan oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Soekarno berpesan agar R.S. Soekanto membangun Kepolisian Nasional. Kepolisian Nasional berarti mengubah mental kepolisian kolonial, yang juga berarti "sistem kepolisian nasional", yaitu yang bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengemban seluruh fungsi kepolisian yang terpecah-pecah pada masa Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Soekanto memulai kariernya sebagai Kepala Kepolisian Negara RI yang baru saja diproklamasikan dengan "modal nol", tidak punya kantor, tidak punya staf, dan formal tidak punya wewenang karena melanjutkan Hoofd van de Dienst der Algemene Politie. Segala perundang-undangan Hindia Belanda dengan tugas dan wewenang kepolisian yang terpecah-pecah dianggap berlaku, bahkan sampai era Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, dan sampai era Orde Baru.

Dalam sistem parlementer yang diberlakukan sejak November 1945 sampai 5 Juli 1959, dengan pemerintahan perdana menteri yang silih berganti, Soekanto tetap dipercaya menjabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sejak dilantik, Soekanto mengonsolidasi aparat kepolisian dengan mengemban pesan Presiden Soekarno membentuk Kepolisian Nasional.

Soekanto menjabat sebagai Kapolri sampai tanggal 15 Desember 1959. Keesokan harinya, tugas beliau dijabat oleh Soekarno Djojonagoro sebagai Pejabat Kapolri.

Pada masa Orde Baru, Soekanto sebagai tokoh nasional ditunjuk dan kemudian dilantik oleh Presiden Soeharto untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung bersama 11 anggota lainnya dengan ketuanya Mr. Wilopo dan wakilnya Alamsyah Ratu Perwiranegara pada 8 Agustus 1973. Sebagai anggota DPA, Soekanto menduduki jabatan sebagai Ketua Seksi Kesejahteraan Rakyat. Tugas tersebut dia tekuni dengan segala kemampuan. Namun, dunia Orhiba yang ia besarkan hingga mancanegara tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Selama menjadi anggota DPA, Soekanto sering melatih Orhiba sesama rekan anggota DPA, dan mereka pun merasakan manfaatnya. Salah satu contohnya, mereka selalu menolak pemeriksaan kesehatan bila hendak dinas ke luar negeri, tapi setelah mengikuti program latihan Orhiba, hasilnya menunjukkan tes kesehatan mereka pun baik. Setelah lima tahun menjadi anggota DPA, pada 23 Maret 1978, Soekanto diberhentikan dengan hormat, dan ia meninggalkan tugas tersebut dengan penuh kepuasan, bahwa pemerintah masih mempercayai dirinya untuk mengabdikan diri guna kepentingan rakyat dan negara lewat jalur formal.

Penghargaan

Pada tahun 1961, Soekanto mendapat penghargaan berupa Satya Lencana berdasarkan Keputusan Presiden RI tertanggal 18 Mei 1961, yakni Satya Lencana Peringatan Perjuangan, Satya Lencana Karya Bhakti, Satya Lencana Jana Utama dan Satya Lencana Karya Setia Kelas I. Menjelang peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli 1968, Sekretaris Presiden menemui Soekanto di kediamannya untuk menyampaikan Keputusan Presiden No.168/ABRI/1968 tanggal 28 Juni 1968 tentang Kenaikan Pangkat Kehormatan bagi Soekanto menjadi Jenderal Polisi. Juga Keputusan Presiden No.025/TK/1968 tanggal 1 Juni 1968 tentang penganugerahan Bintang Mahaputra Adipradana bagi jasa-jasa Soekanto selama ini. Sekretaris Presiden, Moehono, menyampaikan berita bahwa penyematan bintang tersebut akan dilaksanakan bertepatan dengan Hari Bhayangkara 1 Juli 1968. Namun, Soekanto menyatakan bahwa dirinya sudah tidak memiliki baju dinas dan sipil yang baru, yang layak untuk dikenakan dalam upacara besar. Dan ketika hal itu disampaikan kepada Presiden Soeharto, beliau juga menyatakan bahwa akan menggunakan baju dinas lama dalam upacara tersebut.

Bertepatan dengan Peringatan Hari Bhayangkara XXII pada 1 Juli 1968 di Lapangan MABAK, Presiden Soeharto menyematkan Bintang Mahaputra Adipradana kepada Jenderal Polisi Kehormatan R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo. Sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, Soekanto menundukkan kepala dan mengucap syukur pada-Nya. Ironisnya, orang pertama setelah upacara tersebut yang memberikan selamat adalah Jend. Mohammad, mantan Kepala Komisariat Polisi Jakarta yang saat menjelang pemberhentian Soekanto adalah pejabat yang berapi-api mengadakan perubahan pimpinan Kepolisian Negara RI.

Pengakuan pemerintah pada jasa-jasa Soekanto selanjutnya diberikan dalam Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep/B/367.1968 tanggal 17 September 1968 tentang Penganugerahan Satya Lencana PK I dan Satya Lencana PK II, Satya Lencana GOM I sampai VII dan Satya Lencana Sapta Marga. Pada tanggal 5 Oktober 1968, bertepatan dengan Hari ABRI, melalui Keputusan Presiden No.94/43/1968 tanggal 4 Oktober 1968, Soekanto dianugerahi Bintang Dharma sebagai penghormatan atas darma baktinya terhadap bangsa dan negara. Pada tanggal 1 Juli 1969, berdasarkan Keputusan Presiden RI No.020/TK/69 dan 022/TK/69 tanggal 1 Juli 1969, Soekanto dianugerahi Bintang Bhayangkara Utama Kelas I dan Satya Lencana Dasa Warsa yang disematkan oleh Hoegeng Imam Santoso selaku Kapolri waktu itu. Demikianlah pengembalian nama baik Soekanto yang akhirnya diperoleh setelah menerima perlakuan kurang wajar selaku Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia pertama.

Wafat
Soekanto wafat pada tanggal 25 Agustus 1993. Beliau dimakamkan satu liang lahat dengan istrinya di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Untuk menghormati jasa-jasanya, namanya diabadikan dalam nama sebuah rumah sakit di Jakarta, Rumah Sakit Polri Soekanto di Kramat Jati, Jakarta Timur.