Diversifikasi Makanan Pokok Melalui Sagu

Zulfikar Halim Lumintang

Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST.

Sebagian orang, mungkin masih ragu ketika ditawari untuk makan sagu. Ya, hal itu sangat wajar terjadi, karena memang kita belum terbiasa memakannya. Sagu merupakan tepung atau olahan yang diperoleh dari pemrosesan teras batang rumbia atau "pohon sagu" (Metroxylon sagu Rottb.). Tepung sagu memiliki karakteristik fisik yang mirip dengan tepung tapioka. Dalam resep masakan, tepung sagu yang relatif sulit diperoleh sering diganti dengan tepung tapioka sehingga namanya sering kali dipertukarkan, meskipun kedua tepung ini berbeda.

Sagu merupakan makanan pokok bagi masyarakat di Maluku dan Papua yang tinggal di pesisir. Sagu dimakan dalam bentuk papeda, semacam bubur, atau dalam olahan lain. Sagu sendiri dijual sebagai tepung curah maupun yang dipadatkan dan dikemas dengan daun pisang. Selain itu, saat ini sagu juga diolah menjadi mie.

Sebagai sumber karbohidrat, sagu memiliki keunikan karena diproduksi di daerah rawa-rawa (habitat alami rumbia). Kondisi ini memiliki keuntungan ekologis tersendiri, walaupun secara ekonomis kurang menguntungkan (menyulitkan distribusi). Habitat sagu yang masih di rawa-rawa menjadikan suatu permasalahan sendiri yang perlu mendapatkan solusi.

Sagu di Indonesia

Di Indonesia, Sagu sangat familiar di wilayah Indonesia Timur. Tak heran jika provinsi Maluku dan Papua menjadikan komoditas ini sebagai makanan pokok pengganti beras. Tren produksi sagu di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2004 hingga tahun 2017. Dimana pada tahun 2004 produksi sagu mencapai 14.544 ton, dan semua hasil produksi tersebut dihasilkan oleh Perkebunan Rakyat (PR). 

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, produksi sagu tidak hanya bersumber dari Perkebunan Rakyat (PR) saja. Pada tahun 2012, mulai bermunculan Perkebunan Besar Swasta (PBS) dengan luas areal 20.200 Ha berhasil menghasilkan sagu sebanyak 39.044 ton. Hal ini menunjukkan perhatian dari perusahaan  swasta terhadap komoditas sagu mulai meningkat. Walaupun jumlah produksinya belum sebanding dengan produksi sagu Perkebunan Rakyat (PR) yang mencapai 93.265 ton dari luas areal 106.957 Ha pada tahun 2012. Pada tahun berikutnya, hingga tahun 2015, baik PR maupun PBS selalu mengalami peningkatan produksi sagu. Namun, pada tahun 2016, produksi sagu dari PBS mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Dimana pada tahun 2015 PBS berhasil memproduksi sagu sebanyak 146.817 ton. Pada tahun 2015 hanya berhasil memproduksi sagu sebanyak 108.234 ton saja.

Berbeda dengan komoditas perkebunan yang lain. Nampaknya komoditas sagu masih belum mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah. Hal itu bisa dibuktikan dengan tidak adanya lahan perkebunan sagu yang berstatus Perkebunan Besar Negara (PBN). Fakta yang menarik berikutnya adalah produktivitas Perkebunan Besar Swasta (PBS) lebih tinggi jika dibandingkan dengan produktivitas Perkebunan Rakyat (PR). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada tahun 2017, dengan luas areal 12.588 Ha perkebunan sagu, PBS berhasil memproduksi sagu sebanyak 108.234 ton, sehingga produktivitasnya mencapai 8,59 ton/Ha. Sedangkan PR menghasilkan 324.679 ton sagu dari luas areal yang mencapai 294.217 Ha. Atau setara dengan produktivitas 1,10 ton/Ha sagu saja.

Apabila dilihat neraca perdagangan komoditas sagu di Indonesia. Maka tren positif hampir selalu terjadi pada setiap tahun dari periode tahun 2010 hingga tahun 2017. BPS mencatat, hanya pada tahun 2011 saja volume impor sagu lebih besar dibandingkan volume ekspor sagu. Dimana impor sagu mencapai 6.648 ton dan ekspor sagu hanya mencapai 2.168 ton saja. Namun nilai dari ekspor sagu tetap masih lebih besar jika dibandingkan nilai impor sagu pada tahun 2012. Tercatat ekspor sagu berhasil mencatatkan 4.182 ribu US$, sedangkan impor sagu hanya mencatatkan 3.986 ribu US$ saja. Dengan bermodalkan neraca perdagangan yang selalu positif, Indonesia rasanya cukup percaya diri untuk terus bisa mengembangkan produk olahan sagu. Agar nantinya bisa memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.

Fakta menarik berikutnya adalah sagu yang dikenal sebagai makanan pokok masyarakat di Indonesia Timur, ternyata lebih banyak diproduksi di Pulau Sumatera. BPS mencatat bahwa, pada tahun 2017, produksi sagu di Pulau Sumatera mencapai 344.008 ton atau setara dengan 79,46% produksi sagu nasional dari luas areal perkebunan sagu mencapai 86.464 Ha. Di Pulau Sumatera sendiri, produsen sagu utama adalah PR yakni mencapai 235.774 ton, sedangkan PBS di Pulau Sumatera berhasil mencapai menyumbang produksi sagu sebanyak 108.234 ton. Pusat budidaya sagu terbesar di Pulau Sumatera, sekaligus terbesar di Indonesia adalah di Provinsi Riau. Tercatat pada tahun 2017, Provinsi Riau berhasil memproduksi sagu sebanyak 338.726 ton.

Lalu, bagaimana posisi Maluku dan Papua? Posisi Maluku dan Papua berada di bawah Sumatera. BPS mencatat, pada tahun 2017 Pulau Maluku dan Pulau Papua memproduksi sagu sebanyak 77.421 ton dengan luas areal perkebunan sagu mencapai 197.303 Ha. Salah satu faktor yang menyebabkan Pulau Maluku dan Pulau Papua masih kalah dengan Pulau Sumatera dalam hal produksi sagu adalah masih banyaknya Tanaman Belum Menghasilkan atau biasa disebut TBM. Tercatat 136.486 Ha masuk ke dalam area TBM di Pulau Maluku dan Pulau Papua. Sedangkan Pulau Sumatera hanya sejumlah 28.584 Ha sagu saja yang masuk ke dalam kawasan TBM. 

Solusi Diversifikasi

Perkebunan sagu di Indonesia masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Dibuktikan dengan data bahwa, hingga tahun 2017, masih belum ada perkebunan sagu yang dimiliki oleh negara atau Perkebunan Besar Negara (PBN) di Indonesia. Untuk kedepannya, pemerintah seharusnya memiliki upaya yang lebih dalam pembudidayaan sagu di Indonesia. Hal yang pertama dilakukan, tentu dengan memiliki lahan percontohan budidaya milik negara. Sagu yang sampai saat ini, sebagian besar masih dibudidayakan di wilayah rawa, perlu mendapat pembelajaran lebih lanjut supaya bisa dibudidayakan di luar wilayah rawa. Sehingga produksi sagu di Indonesia bisa semakin maju.

Kedua, pemerintah seharusnya mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh swasta. Mereka mau dan mampu berkecimpung di komoditas sagu yang masih belum terlalu populer di dunia. Perusahaan perkebunan sagu swasta di Indonesia sampai dengan tahun 2017 hanya terdapat di Provinsi Riau. Tercatat mereka mampu memproduksi sagu sebanyak 108.257 ton dari luas areal 11.900 Ha. Artinya memiliki produktivitas sebesar 9,09 ton/Ha. Dengan angka tersebut, perusahaan swasta mampu melebihi produktivitas perkebunan rakyat di Riau pada tahun yang sama yang mencapai 6,98 ton/Ha.

Kemudian yang terakhir adalah menjadikan sagu makanan pokok di Indonesia secara perlahan, sebagai pengganti beras. Kita tentu saja sudah sangat lelah dengan kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah untuk menutupi kekurangan stok dalam negeri. Dengan neraca perdagangan yang selalu positif, sagu bisa dijadikan opsi untuk penganekaragaman pangan di Indonesia. Mungkin hal pertama yang dilakukan adalah membentuk pusat perkebunan sagu di luar Pulau Sumatera, Pulau Maluku, dan Pulau Papua. Hal ini berguna untuk memangkas biaya distribusi sagu menuju wilayah tersebut. Kemudian mensosialisasikan kegiatan dalam satu minggu, ada satu hari yang diwajibkan untuk mengkonsumsi sagu. Hal ini berguna untuk merangsang masyarakat, khususnya masyarakat Pulau Jawa yang masih belum terbiasa mengkonsumsi sagu.

Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.