WTP, Bengkulu Juara 4 Terkorup?

Suhanderi

Bangga dan prihatin. Provinsi Bengkulu dan beberapa Kabupaten/Kota kembali menoreh prestasi. Mendapat penghargaan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. Namun waktu bersamaan, Bengkulu juga mencatatkan diri dan dinobatkan sebagai daerah terkorup nomor 4 di Pulau Sumatera atau masuk 10 besar secara Nasional.

Bengkulu menyumbang 22 kasus di KPK selama periode 2014-2019. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan. Predikat WTP, namun dilabeli sebagai daerah korup, kok bisa?

Sebetulnya ada pandangan atau anggapan yang harus diluruskan. Mendapat WTP berarti bebas dari korupsi. Ini keliru. WTP bukanlah garansi suatu daerah bisa bebas dari jerat korupsi. Mirisnya, hululisasi pandangan ini justru datang dari pemegang kendali kebijakan. Banyak Gubernur/Bupati/Walikota mengartikan opini WTP sebagai satu-satunya tolak ukur menyatakan daerahnya bebas dari korupsi. Sehingga tidak jarang dalam debat Pilkada, opini WTP menjadi dagangan yang cukup laris manis, diobral ke konstituen.

Benar bahwa  opini WTP adalah pemberian penghargaan tertinggi atas penyajian atau kesesuaian Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) terhadap Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).  Namun mengklaim opini WTP sebagai jaminan tidak ada korupsi atau bebas dari korupsi adalah pandangan yang keliru. Karena pemberian opini yang diberikan BPK dasar pertimbangannya adalah "kewajaran" penyajian Laporan Keuangan (LKPP/LKPD) sesuai Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Kewajaran yang dimaksud adalah kebenaran atas suatu transaksi, bukan mendasar kepada apakah pada entitas tertentu terindikasi/terdapat korupsi atau tidak.

Regulasi menggariskan,  yang mempunyai kewenangan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara adalah BPK. Ada tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yakni pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, Pasal 6 ayat (1) dan (3).

Pemeriksaan Keuangan merupakan pemeriksaan untuk memberikan opini apakah laporan keuangan wajar sesuai Standar Akuntansi Pemerintah atau tidak. Dalam pemeriksaan keuangan inilah BPK dapat memberikan opini berupa Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Memberikan Pendapat (TMP) dan Tidak Wajar (TW) terhadap Kementerian/Lembaga Negara/ Pemda. Sementara Pemeriksaan Kinerja merupakan pemeriksaan untuk menilai apakah pelaksanaan suatu program sudah berjalan secara efeketif, efesien dan ekonomis. 

Sedangkan, Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu merupakan pemeriksaan selain dua jenis tersebut, termasuk disini adalah pemeriksaan investigatif untuk mengungkap adanya korupsi atau kecurangan (fraud), pemeriksaan lingkungan, pemeriksaan atas pengendalian intern, dan lain-lain. 

Jadi jelas, dari ketiga jenis dan tingkat  pemeriksaan ini, Pemeriksaan Keuangan yang memberikan opini atas laporan keuangan (WTP, WDP, TMP, TW),  tidaklah sampai menyasar pada tindakan korupsi atau tidak. Melainkan hanya sebatas kewajaran laporan keuangan dengan Standar Akuntansi Pemerintah. 

Sementara penobatan Bengkulu sebagai daerah nomor 4 terkorup di Sumatera oleh KPK adalah data by case dilapangan. Kejadian tindakan korupsi atau kecurangan (fraud), benar-benar terjadi dalam aksi nyata. Sedangkan penilaian kewajaran opini laporan oleh BPK memang tidak sampai menyentuh ranah tersebut. Ini artinya predikat WTP dan label daerah terkorup nomor 4, masing-masing berdiri sendiri, berbeda konteks. Karena itu, tidak jarang kita temui suatu daerah mendapat opini WTP, tapi Gubernur, Bupati/Walikotanya harus meringkuk di sel penjara karena korupsi. Bengkulu pernah merasakan getir ini. 

Efek Melangitnya Mahar Politik

Tingginya angka korupsi terutama menjerat para Kepala Daerah disinyalir berhubungan erat  dengan mata rantai mahar atau biaya politik yang harus dikeluarkan Kepala Daerah dalam merebut maupun mempertahankan kursi tahtanya. "Harus balik modal" adalah satire keras atas apa yang bakal dilakukan ketika calon Kepala Daerah terpilih. Inilah juntrung masalahnya. 

Jika merujuk data Kementerian Dalam Negeri. Ada  343 Kepala Daerah yang berperkara hukum baik di Kejaksaan, Kepolisian maupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Rinciannya, 206 Kepala Daerah tersangkut kasus hukum hingga tahun  2010, 40 kasus tahun 2011, 41 kasus tahun 2012, 23 kasus tahun  2013 dan 56 kasus  tahun 2014. Sementara itu, berdasarkan data yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi tercatat 64 kasus korupsi yang menyangkut Kepala Daerah  selama 11 tahun terakhir. Dari 64 kasus tersebut, sebanyak 51 kasus sudah diputus Pengadilan. 

Data yang dirilis KPK tanggal 24 Juni 2020 juga memperlihatkan jika perbuatan korupsi didominasi dari  pengadaan fee proyek atau pengadaan barang dan jasa. Ada 21 Gubernur yang terlibat fee pengadaan barang dan jasa. Kuat dugaan fee ini sebagai bentuk akrobatik Kepala Daerah untuk mengisi kembali pundi-pundinya yang tergerus akibat mahalnya mahar atau biaya politik yang dikeluarkan selama merebut kursi panas Gubernur, Bupati dan Walikota. 

Kondisional ini berlaku juga untuk Bengkulu. Sebagai daerah dengan mahar politik yang melangit. Menjadi sebuah keniscayaan untuk melenggang ketampuk kursi Gubernur jika tidak merogoh kocek ratusan miliar bahkan lebih atau puluhan bahkan ratusan miliar untuk kursi panas Bupati/Walikota. Biaya mahar ini biasanya untuk  "membeli perahu" maupun untuk sesajen money politic. Jangan coba-coba mengadu peruntungan untuk ikut pencalonan Gubernur, Bupati dan Walikota, jika tidak mempunyai dompet finansial tebal. Track record dan Leadership tak laku. 

Selama desain ini tetap berjalan. Selama tidak ada proses perbaikan maupun pendidikan pemilih bagi masyarakat sebagai konstituen, maka jangan harap label daerah korup tadi bisa dilepaskan.
Selain melangitnya mahar dalam  kontestasi pemilihan kepala daerah. Gunung es yang wajib diwaspadai adalah biaya politik dan lonjakan kasus korupsi ditempat kita anggap paling aman selama ini, yakni desa. 

Berpola sama dengan pemilihan Kepala Daerah yang dipilih langsung. Ternyata proses pemilihan Kepala Desa juga penuh intrik money politic. Tak heran, untuk menjadi  Kepala Desa, kocek yang dirogoh cukup tebal. "Amplop" putih berisi lembaran rupiah, minimal 100 ribu bahkan sampai 300 ribu atau lebih menjadi penentu pilihan pemimpin di desa (meskipun harus diakui, masih ada juga Kepala Desa yang dipilih karena track recordnya, tidak semata karena amplop).

Besarnya biaya politik pemilihan Kepala Desa, diduga menjadi salah satu motif Kepala Desa untuk menutupi  informasi menyangkut transparansi pengelolaan dana desa. Sehingga perilaku koruptif di desa makin subur. Menyisakan berbagai persoalan dan tentu menambah deretan angka kasus korupsi.

Trend korupsi atau penyelewengan dana desa mengalami kenaikan cukup signifikan setiap tahun. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sejak tahun 2015 hingga semester I tahun 2018 setidaknya ada 181 kasus korupsi dana desa dengan melibatkan 184 Kepala Desa/Perangkat Desa(bahkan istri Kepala Desa) sebagai tersangka. Rinciannya, tahun 2015 sebanyak 17 kasus, 2016 sebanyak 41 kasus dan melonjak tajam ditahun 2017 sebanyak 96 kasus. Terakhir 27 kasus disemester I tahun 2018. Dari 181 kasus ini, Bengkulu memberikan kontribusi sebanyak 17 kasus.

Keluarga Berperan Memutus Mata Rantai

Dilabelinya Bengkulu menjadi daerah terkorup nomor 4 di Sumatera, harus dijadikan cambuk bersama. Semua pihak, baik  pemerintah maupun masyarakat bahkan sampai keluarga, harus berperan untuk melepaskan label tersebut. Tanpa terkecuali. 

Terkait peran keluarga. Ada adagium cukup menarik. Korupsi berawal dari meja makan. Kalimat ini menggambarkan bagaimana korupsi yang  merupakan kejahatan luar biasa sebenarnya berawal dari hal paling sederhana yakni keluarga.
Seorang pejabat (Gubernur, Walikota, Bupati, Kepala Dinas, bahkan Kepala Desa) yang berintegritas sekalipun bisa goyah jika keluarga (istri/suami dan anak) terus menerus merongrong, menuntut berbagai kecukupan diluar batas gaji atau kemampuan suami. Kalau sudah begini, Pejabat yang dirongrong tersebut akan ambil jalan pintas.

Momentum saat dimeja makan biasanya paling sering dijadikan tempat berkeluh kesah dan uneg-uneg, menyampaikan keinginan untuk memiliki kebutuhan dan kekayaan yang lebih. Belum lagi persoalan status sosial. Seseorang yang sudah terlanjur dikenal masyarakat sebagai pejabat bisa kehilangan wibawa atau status sosialnya turun jika tidak didukung kepemilikan material memadai. Dorongan inilah yang membuat seorang pejabat bisa kehilangan kontrol dan dengan mudah melakukan korupsi sebagai cara untuk menjaga status sosial dan juga memenuhi keinginan atau  tekanan dari keluarga. 

Tentu kita berharap,dukungan dan pendidikan dalam keluarga menjadi perisai pertama untuk menangkal perilaku korupsi. Integritas keluarga harus selalu dipupuk. Menanamkan rasa syukur dan merasa cukup. Merupakan hal sederhana yang berdampak luar biasa. Diluar itu, tentu perbaikan desain pendidikan pemilih dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan kepala desa, juga menjadi point penting dalam memutus mata rantai korupsi.

Menjadi harapan bersama, perilaku korupsi di Bumi Rafflesia bisa ditekan  bahkan lenyap. Sehingga bisa mengikuti hentakan harmoni irama kesesuaian kewajaran laporan keuangan yang ditorehkan. Dengan demikian, prestise opini WTP yang diraih bisa jadi kebanggan tanpa harus ada embel sebagai daerah korup. Semoga!

*Suhanderi, Penulis adalah ASN BPS Provinsi Bengkulu, Direktur Eksekutif Rumah Literasi Rafflesia