Waspada Radikalisme di Tengah Serangan Corona

ilustrasi

Oleh : Alfisyah Kumalasari )*

Pandemi covid-19 dimanfaatkan oleh kaum radikal dalam menyebar berita hoax. Mereka memakai momen ini untuk mencapai tujuan, demi mewujudkan negara yang tidak berazas pancasila. Masyarakat diharap tidak terpengaruh dan menjauhi kaum radikal yang ekstrimis.

Pandemi corona masih kita lewati dengan prihatin. Virus covid-19 masih merajalela dan orang-orang suka membaca berita perkembangannya. Mereka berharap bahwa jumlah pasien makin menurun dan virus ini segera pergi. Masyarakat juga mencari informasi, negara mana saja yang sudah benar-benar bebas dari corona.

Namun harap hati-hati dalam membaca berita tentang corona. Tidak semuanya baik, apalagi jika berita itu ada di internet. Mengapa harus waspada? Karena semua orang bisa membuatnya dan tidak melalui proses editing serta sensor yang tepat. Bisa saja berita itu adalah hoax yang sengaja oleh dibuat oleh kaum radikal.

Ya, di tengah kondisi pandemi ini, sangat rawan akan serangan dari kaum radikal. Bedanya, jika dulu mereka menebar ketakutan dengan cara mengebom atau melempar granat di tempat umum, tapi sekarang dengan cara yang lebih halus. Mereka memproduksi berita hoax yang intinya menjelek-jelekkan pemerintah. Hoax ini akhirnya tersebar mulai dari portal berita hingga grup WA keluarga.

Ada beberapa hoax yang dibuat oleh kaum radikal. Pertama, ketika muncul peraturan tentang larangan untuk salat berjamaah di masjid dan tidak boleh menyelenggarakan salat tarawih di musala dan masjid. Sontak pemerintah dituduh tidak mendukung kegiatan rakyatnya dalam beribadah. Padahal peraturan ini sudah didukung oleh fatwa MUI yang tentu berisi oleh para kiai yang ahli agama. Pelarangan salat jamaah ini karena mencegah penyebaran corona, bukannya menodai hak rakyat untuk mendapat pahala.

Kaum radikal juga sengaja menebar isu ketika masjid ditutup sedangkan mall tidak ditutup. Seolah-olah pemerintah tidak mendukung ibadah tapi memperbolehkan rakyatnya untuk belanja. Jangan bingung dulu. Ketika masjid ditutup untuk mencegah penyebaran corona, pusat perbelanjaan tidak bisa ditutup karena merupakan penggerak perekonomian. Apalagi jika toko itu menjual sembako yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

PSBB memang diadakan, tapi pusat perbelanjaan masih boleh beroperasi. Namun dengan aturan yang ketat, misalnya ada jumlah maksimal orang yang belanja, tetap jaga jarak ketika antri, dan kalau mau masuk harus cuci tangan dulu. Jadi pembukaan mall ini jangan dibandingkan dengan penutupan masjid, karena tidak apple to apple alias tidak sebanding. Lagipula, jika masjid ditutup, Anda masih bisa salat jamaah di rumah dan tetap mendapat pahala.

Kaum radikal juga memanaskan isu tentang pelarangan diadakannya salat idul fitri di masjid maupun di lapangan. Mereka lalu menghasut masyarakat agar terus membenci pemerintah. Memang larangan ini membuat uamt muslim merasa janggal, karena bulan syawal selalu diawali dengan salat ied. Namun ingatlah bahwa ibadah ini hukumnya hanya sunnah dan tidak wajib. Kalaupun Anda melakukannya di rumah, masih berpahala dan boleh-boleh saja.

Pemerintah membuat aturan pelarangan salat ied tentu dengan banyak pertimbangan. Daripada semua jamaah kena corona dan berpotensi menularkan visur covid-19 ke keluarganya, maka lebih baik dilarang saja. Aturan ini hanya dilakukan di daerah yang termasuk zona merah. Sedangkan di daerah yang masih termasuk zona hijau, masih boleh menyelenggarakan salat ied dengan protokol yang ketat, misalnya bawa sajadah sendiri dan wajib pakai masker. Jadi jangan termakan hoax yang sengaja dibuat dan disebarkan oleh kaum radikal.

Kaum radikal tak henti-hentinya membuat isu dan hoax agar masyarakat merasa panas dn tidak setuju dengan aturan dari pemerintah. Padahal aturan ini dibuat untuk keamanan kita sendiri, agar tidak terkena corona yang sangat berbahaya. Jika Anda membaca berita, konfirmasi dulu dan jangan sampai termakan hoax yang dibuat oleh kaum radikal. Waspadalah pada radikalisme.

)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dana Mahasiswa Cikin