Wartawan dan Aku...

Ilustrasi

Sudah lama aku tidak menuliskan keluh kesah hatiku. Selama ini, beberapa bulan terakhir terhitung sejak aku masuk ke dalam perusahaan pers, semua jadi realita. Setiap hari aku menuliskan keluh kesah orang lain yang tergambar dalam realita kehidupan. 

Bung, mungkin sudah tahu jika syarat utama seorang jurnalis atau wartawan adalah idealis.

Wartawan jika ia benar idealis, maka tidak lagi perlu makan enak saat perutnya kelaparan. Idealis adalah mendahulukan yang hak dan menunda yang "tidak penting" dalam kehidupan. Bahkan yang penting dalam hidup sorang wartawan pun sudah semestinya harus ditunda demi informasi yang bakal jadi keluh kesah orang lain. Kebutuhannya adalah kebutuhan orang yang haus akan informasi data dan fakta. Nyatanya, meski kebutuhannya tidak tercukupi, kebutuhan oranglah yang bisa menutup daftar keluh kesahnya.

Sekecil apapun informasi yang layak jadi keluh kesah orang lain adalah benar-benar menu makanan yang enak. Terlebih data ekslusif, yang mengumpulkan informasinya butuh teknis investigasi gaya lama sehingga mengungkap apa yang tak kasat akal jadi terang benderang di kemaslahatan umat. Itulah makanan terlezat seorang wartawan yang sesungguhnya. 

Wartawan dalam status sosial lebih tinggi dari jabatan presiden pun. Namun dari segi profesi, bisa jadi lebih rendah dari "karyawan" yang memiliki perputaran uang konsisten. Kesejahteraannya masih sekedar bayang-bayang dan ini adalah vitamin yang wajib dicari tercakup dalam tiga hal yaitu, rendahnya kesejahteraan hidup, hambatan berserikat, serta minimnya jaminan keselamatan saat menjalankan tugas. 

Ya, selain idealis tentunya wartawan harus menemui hal kolot yaitu kesejahteraan. Jika kesejahteraan hidup seorang pegawai negeri sipil jatuh pada gaji dan tunjangan sebagainya, kesejahteraan abadi seorang wartawan hanya bisa diukur dengan namanya. Seberapa lama ia mengabdi, menahan diri idealis dan bersemayam dalam hati pembaca. Tulisan-tulisan itulah yang kemudian menempatkan wartawan sebagai hal abadi. 

Teknis kritis menjadi aspek kedua setelah idealis. Dan ini bisa jadi minumannya. Wartawan adalah seorang yang harus pintar dan kritis dalam segala hal. Namun ia kritis bukan untuk disebut pintar, tapi untuk menyuarakan kebenaran. Wartawan menyuarakan kebenaran melalui tulisan, reportase, analisis yang disertai fakta, sesuai dengan kode etiknya sebagai pewarta informasi untuk publik. Meski sebagai seorang pewarta informasi, wartawan tidak menjalankan peran sebagai penegak hukum/pengambil kebijakan. Tapi perannya untuk mendorong penegak hukum/pengambil kebijakan agar semua terkontrol dan menjalankan tugasnya bekerja maksimal. Juga sebagai pengontrol agar mereka tidak melenceng dalam bekerja.

Mungkin banyak pihak yang risih dengan wartawan yang kritis. Tapi harus dimengerti, kadang wartawan mempertaruhkan keselamatan-nya demi sebuah kebenaran. Wartawan kritis bukan untuk mencari penghargaan dan penghormatan karena pada kenyataan-nya seorang wartawan yang kritis malah sering dicemooh.

Hal ini menjadi sebuah pilihan, apakah kita ingin menjadi wartawan "kritis" atau wartawan "diam" asal dapat berita. Sikap kritis inilah yang harus disertai kelahiran rupa independen. Bahkan dilarang menerima “materi” dari siapa pun, untuk lantas menjadi tidak kritis.

Akhir kata, wartawan hidup dengan kata-katanya yang miskin namun sebagai kekayaan intelektual dan analisis data faktual, sebagai kontrol bahwa keluh kesah orang lain tercakup pada masalah hidupnya sendiri. 

Lalu aku, lupa akan apa itu keluh kesah. 

*Bisri Mustofa, Redaksi