UU Cipta Kerja Suburkan Konflik Agraria

Ilustrasi

Oleh : Mesi Tri Jayanti (Mahasiswa FH UNIB)

Bengkulutoday.com - Jumlah konflik agraria di Indonesia sulit diredam dari tahun ke tahun. Sebelum disahkannya UU Cipta Kerja saja, konflik agraria selalu menelan korban. Akibatnya kritik dan penolakan terhadap omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja terus bergulir di masyarakat. Salah satu poin krusial yang mengundang kontroversi di omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja adalah masalah pengaturan pertanahan. 

Pengaturan pertanahan berdasarkan draf omnibus law UU Cipta Kerja versi 905 halaman, ada di Bagian Keempat omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Pada bagian keempat ini terdiri dari paraghraf pertama soal Bank Tanah, mulai pasal 125 sampai dengan pasal 135.

Sebelumnya Pasal 121 RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 8 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal ini menambah empat poin kategori pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.

Keempat kategori baru itu adalah kawasan industri minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan lain yang diprakarsai atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD. Kawasan lain yang belum diatur RUU Cipta Kerja akan ditetapkan dengan peraturan presiden (PP).

Presiden Indonesia Joko Widodo menanggapi masalah pengaturan tanah di omnibus law UU Cipta Kerja yang menjadi kontroversi ini khususnya mengenai keberadaan bank tanah. Jokowi menegasakan bank tanah diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan konsolidasi lahan, serta reforma agraria. 

Kritik pedas terhadap omnibus law UU Cipta Kerja pun datang dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Maria SW Sumardjono pada saat menjadi pembicara di diskusi virtual yang digelar Pusat Studi Lingkungan Hudup (PLSH) UGM bertema UU Cipta Kerja dan Masa Depan Lingkungan Indonesia, Sabtu 9 Oktober 2020.

Maria melihat ternyata substansi bidang pertanahan yang dimasukkan di omnibus law UU Cipta Kerja adalah copy paste dari Rancangan RUU Pertanahan yang ditunda pembahasannya karena isu-isu krusial. Karena itu tujuan omnibus law UU Cipta Kerja di bidang Pertanahan ini tidak menyederhanakan tapi mengambil substansi RUU yang bermasalah. 

Maria mengomentari poin pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang ditambah di omnibus law UU Cipta Kerja. Pada umumnya di UU Cipta Kerja kepentingan umumnya adalah untuk kegiatan bisnis seperti kawasan ekonomi khusus, kawasan pariwisata, dan proyek prioritas yang ditetapkan oleh Presiden. 

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga menyoroti tambahan kategori kepentingan umum untuk pengadaan tanah dalam draf omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Tambahan ini dikhawatirkan akan memperparah konflik agraria. (Kompas.com, 12/08/20)

Dewi menilai, ketentuan tersebut dapat mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian dan berpotensi merugikan kelompok petani. Proses alih fungsi lahan yang dipermudah, menurut Dewi, akan memperparah konflik agraria, ketimpangan kepemilikan lahan, praktik perampasan dan penggusuran tanah.

Argumentasi penambahan kategori kepentingan umum ini merupakan hambatan dan keluhan para investor terkait pengadaan dan pembebasan lahan bagi proyek pembangunan infrastruktur serta kegiatan bisnis. Bahkan tidak sedikit terjadi unsur pemaksaan dan intimidasi terhadap masyarakat yang tanahnya menjadi target pembebasan. Selain itu, peran dan kewenangan swasta semakin menempatkan posisi masyarakat dalam situasi rentan.

Bukannya memperbaiki keadaan, UU ini justru semakin memperparah kerusakan lingkungan dan konflik lahan. Hal ini memperjelas bahwa rezim dalam sistem demokrasi pasti berpihak pada kaum kapitalis atau kalangan investor.

Pengesahan UU ini justru akan semakin memuluskan para investor untuk merampok kekayaan sumber daya alamalam negeri ini. Sebaliknya, dalam sistem Islam (Khilafah) penguasa atau Khalifah akan menjadi raa'in yakni sebagai pengurus urusan masyarakat sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa:

Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyatnya) maka ia bertanggung jawab atas apa yang diurusnya. (HR.Bukhari)

Maka khalifah tidak akan mengambil hak rakyatnya termasuk hak atas tanah. Khilafah juga tidak akan memproduksi UU yang berpotensi merusak lingkungan dan menambah konflik agraria. Syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan 2 (dua) aspek yang terkait dengan tanah, yaitu : (1) zat tanah (raqabah al-ardh), dan (2) manfaat tanah (manfaah al-ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.

Dalam Syariah Islam ada 2 (dua) macam tanah yaitu : (1) tanah usyriah (al-ardhu al-‘usyriyah), dan (2) tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).

Tanah Usyriah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, contohnya Madinah Munawwarah dan Indonesia. Termasuk tanah usyriah adalah seluruh Jazirah Arab yang ditaklukkan dengan peperangan, misalnya Makkah, juga tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang (ihya`ul mawat). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II hal. 237).

Tanah usyriah ini adalah tanah milik individu, baik zatnya (raqabah), maupun pemanfaatannya (manfaah). Maka individu boleh memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya.

Tanah usyriyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan dikenai kewajiban usyr (yaitu zakat pertanian) sebesar sepersepuluh (10 %) jika diairi dengan air hujan (tadah hujan). Jika diairi dengan irigasi buatan zakatnya 5 %. Jika tanah pertanian ini tidak ditanami, tak terkena kewajiban zakatnya. Sabda Nabi SAW,”Pada tanah yang diairi sungai dan hujan zakatnya sepersepuluh, pada tanah yang diairi dengan unta zakatnya setengah dari sepersepuluh.” (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)

Jika tanah usyriah ini tidak berbentuk tanah pertanian, misalnya berbentuk tanah pemukiman penduduk, tidak ada zakatnya. Kecuali jika tanah itu diperdagangkan, maka terkena zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 240).

Jika tanah usyriah ini dibeli oleh seorang non Muslim (kafir), tanah ini tidak terkena kewajiban usyr (zakat), sebab non Muslim tidak dibebani kewajiban zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal, hal. 48).

Tanah Kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum Muslimin melalui peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 248).

Tanah kharajiyah ini zatnya (raqabah) adalah milik seluruh kaum Muslimin, di mana negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum Muslimin. Ringkasnya, tanah kharajiyah ini zatnya adalah milik negara. Jadi tanah kharajiyah zatnya bukan milik individu seperti tanah kharajiyah.

Namun manfaatnya adalah milik individu. Meski tanah tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan, namun berbeda dengan tanah usyriyah, tanah kharajiyah tidak boleh diwakafkan, sebab zatnya milik negara. Sedang tanah usyriyah boleh diwakafkan sebab zatnya milik individu. (Al-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 303).

Tanah kharajiyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan terkena kewajiban kharaj (pajak tanah, land tax), yaitu pungutan yang diambil negara setahun sekali dari tanah pertanian yang besarnya diperkirakan sesuai dengan kondisi tanahnya. Baik ditanami atau tidak, kharaj tetap dipungut.

Tanah kharajiyah yang dikuasai dengan perang (al-harb), kharajnya bersifat abadi. Artinya kharaj tetap wajib dibayar dan tidak gugur, meskipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual oleh non Muslim kepada Muslim. Sebagaimana Umar bin Khaththab tetap memungut kharaj dari tanah kharajiyah yang dikuasai karena perang meski pemiliknya sudah masuk Islam. (Zallum, ibid., hal. 47; Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 245).

Tapi jika tanah kharajiyah itu dikuasai dengan perdamaian (al-shulhu), maka ada dua kemungkinan : (1) jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik kaum Muslimin, kharajnya bersifat tetap (abadi) meski pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada Muslim. (2) jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik mereka (non Muslim), kedudukan kharaj sama dengan jizyah, yang akan gugur jika pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim. (Zallum, ibid., hal. 47).

Jika tanah kharajiyah yang ada bukan berbentuk tanah pertanian, misal berupa tanah yang dijadikan pemukiman penduduk, maka ia tak terkena kewajiban kharaj. Demikian pula tidak terkena kewajiban zakat (usyr). Kecuali jika tanah itu diperjualbelikan, akan terkena kewajiban zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 247).

Adapun terkait hutan, Islam telah menetapkan sebagai milik ummat. Negara tidak diperkenankan menguasainya pada individu ataupun korporasi dengan cara apapun. Sebab itu adalah kepemilikan umat. Negara hanya berhak mengelola dan hasilnya dikembalikan pada umat dalam bentuk pemenuhan fasilitas yang dibutuhkan oleh rakyat. Sehingga rakyat dapat menikmatinya secara cuma-cuma. 


Demikian lah hukum pertanahan yang rinci diterapkan dalam kepemimpinan khilafah. Tanah dan sumber daya alam akan dijaga dan dikelola dengan pengelolaan yang membawa kebaikan bagi bumi dan manusia. Wallahua'lam bish-shawwab []