Urgensi Pengetahuan Fintech di Bengkulu

Ilustrasi

Saat ini, yang sedang populer dengan sebutan Fintech atau singkatan dari financial technology. Fintech sangat populer di kalangan media atau mereka yang aktif di bidang teknologi. Perusahaan start up juga menggunakan fintech ketika berurusan dengan keuangan baik transfer atau yang lainnya. Jadi, bisa dibilang fintech sendiri merupakan penggabungan antara teknologi dan sistem keuangan.

National Digital Research Centre atau NDRC mendefinisikan Fintech sebagai istilah yang dapat digunakan untuk menyebut inovasi dalam bidang jasa keuangan atau finansial. Bisa juga dengan inovasi finansial yang diberi sentuhan teknologi modern. Jadi, dari mulai metode pembayaran hingga transfer dana, pengumpulan dana, pinjaman bahkan sampai pada pengelolaan aset bisa kemudian dipercepat dan dipersingkat dengan menggunakan teknologi. Berdasarkan hal ini, maka wajar jika fintech kemudian secara cepat menjadi kebutuhan yang akhirnya mengubah gaya hidup orang banyak khususnya mereka yang bergelut di bidang teknologi dan keuangan. Ada beberapa alasan yang menyebabkan fintech ini kemudian mempengaruhi gaya hidup masyarakat, sebagai berikut: Pembayaran yang lebih praktis, investasi menjadi lebih mudah, donasi menjadi lebih terbuka, dan membantu mengelola keuangan.

Namun, setiap sistem teknologi modern yang disediakan pasti ada kekurangan yang dimiliki. Terkhusus pada fintech, ada beberapa kelemahan yaitu Wajib Terkoneksi Internet, hanya menjangkau pebisnis yang melek internet, rawan penipuan, dan biaya tinggi. Solusi yang dapat kami berikan pada masalah seperti ini adalah masyarakat harus mengecek fintech tersebut di website OJK (Otoritas Jasa Keuangan) atau AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia), dilihat juga apakah fintech itu sudah teregistrasi apa belum dan pada saat menginstal aplikasi fintech, lihat apa saja yang diakses. Contoh FINTECH di Indonesia, yaitu: GO-PAY, OVO, Amartha, CekAja, Bareksa, Doku, Midtrans, Uang Teman, Modalku atau Sakuku BCA dan banyak lagi.

Dari berbagai kasus yang terjadi pada fintech di Indonesia, maka kami akan lebih spesifik membahas kasus fintech yang terjadi di kota Bengkulu, yaitu tentang OJK mencabut izin usaha PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Safir Bengkulu pada Rabu, 30 Januari 2019 yang dilansir dari REPUBLIKA.co.id. dari kasus tersebut kami menganalisis dampak terhadap manajemen resiko yang terjadi, jika dilihat dari sudut pandang risiko strategis yang muncul karena merugi akibat rencana bisnis yang tidak berjalan dengan baik, atau karena ketidakmampuan memanfaatkan peluang bisnis. Penyebabnya adalah produk keuangan yang tidak efektif, alokasi sumber daya yang tidak memadai,  serta kegagalan dalam merespons terhadap perubahan lingkungan bisnis. 

Begitupun ketika kita melihat dari sudut pandang risiko regulasi yang ada. Dikatakan  bahwa risiko ini terjadi karena pada saat ini kebijakan terkait fintech diatur oleh OJK untuk memastikan bahwa produk yang ditawarkan transparan dan memiliki kejelasan dalam penyediaan platform teknologi. Saat ini OJK telah mengeluarkan kebijakan mengenai peer to peer lending. Risiko regulasi umumnya mencakup risiko kepatuhan (compliance) terhadap aturan dan kebijakan seperti anti money laundering, pendanaan terorisme, kerahasiaan data dan Know Your Customer (KYC). Ketika berbicara apa penyebab kasus ini jika menelaah dari sisi risiko operasional, risiko ini umumnya menjadi sumber utama kegagalan di industri  fintech. Salah satu unsur pendukung untuk memitigasi terjadinya risiko ini adalah dengan menyiapkan manual operasional yang secara detail menggambarkan pelaksanaan proses bisnis secara berkala, dilakukan peninjauan, proses audit internal dan eksternal periodik. Selain itu, harus ada struktur organisasi dan pembagian kerja yang tepat untuk memastikan bahwa setiap detail pelaksanaan proses bisnis dilakukan oleh sumber daya yang tepat dan otoritas yang jelas, serta terlaksananya proses rekonsiliasi keuangan secara berkala untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan operasional maupun penipuan.

Era revolusi 4.0 tidak terlepas dari kata teknologi. Jika kita kaitkan dengan kasus ini, maka akan sangat terlihat jelas bahwa risiko teknologi ini pada dasarnya berhubungan dengan risiko operasional, secara spesifik risiko ini berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kegagalan sistem, seperti hacking atau pun kegagalan hardware dan software. Risiko teknologi dimitigasi dengan mengukur dengan mengukur bentuk kerja sama yang dilakukan oleh perusahaan dengan penyedia sistem terkait dengan up-date perangkat lunak, penyediaan mekanisme untuk mencegah kebocoran data yang bersifat rahasia dan sensitif, bentuk kerjasama dengan partner platform penyedia teknologi dalam mendeteksi kegagalan sistem serta mekanisme perbaikannya, pemilihan partner penyedia platform teknologi yang tepat (memiliki protokol sistem operasional yang memadai dan kerangka serta penerapan manajemen risiko yang efektif). (*)

Ranti Ersa Mayori, Elmores Athareq, Rio Thareq Sahaq, S1 Akuntansi Universitas Bengkulu.