Undang Ahli Pers, Diskominfotik Cerdaskan Wartawan Soal Berita Ramah Anak

Ahli pers dari PWI pusat menyampaikan materi di Bengkulu

Bengkulutoday.com - Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi Bengkulu menggelar seminar bertema "penerapan hukum, etika dan pedoman pemberitaan di Indonesia" yang diikuti oleh wartawan dari berbagai media di Bengkulu. Kegiatan itu diselenggarakan di Hotel Xtra, Jalan Mayjen Sutoyo Tanah Patah Kota Bengkulu, Kamis (18/7/2019). 

Kadiskominfotik Provinsi Bengkulu Jaduliwan saat dikonfirmasi terkait kegiatan itu mengatakan, di Bengkulu perkembangan media online sangat pesat. Untuk itu, dengan kegiatan itu diharapkan dapat menjadi penambah wawasan untuk mencerdaskan wartawan dalam menulis berita ramah anak dan korban kesusilaan. "Semoga kegiatan seminar bermanfaat menambah wawasan para wartawan di Bengkulu, kedepan kegiatan semacam ini akan terus kita lakukan demi kemajuan informasi yang sehat di Bengkulu," kata Jaduliwan.

Hadir menjadi narasumber utama adalah ahli pers dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pusat, Kamsul Hasan. Dalam paparannya, Kamsul Hasan mengupas soal pemberitaan dengan subjek dan objek anak, juga korban kasus kesusilaan. Salah satu materi yang disampaikan adalah tentang pedoman pemberitaan ramah anak yang telah diterbitkan oleh Dewan Pers.

Selain membahas soal pemberitaan ramah anak dan kesusilaan, Kamsul juga membahas soal berbagai problem pers di Indonesia.

Dalam sebuah diskusi malam harinya sebelum acara bersama Pengurus PWI Bengkulu dan pengurus SMSI, Kamsul menjelaskan berbagai kasus pers yang saat ini terjadi diberbagai daerah.

"Masih banyak daerah yang belum memahami UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak atau PPRA. Saat ini, yang mulai membangun kesadaran kolektif antara stake holder baru Jawa Tengah.

"Di Jawa Tengah, semua elemen yang terkait dengan kesadarannya melakukan sosialisasi tentang PPRA, tidak hanya media, namun pemerintah daerah juga mendukung, selain itu pihak Kepolisian juga mengirimkan utusannya untuk mengikuti sosialisasi PPRA. Sebab, pihak terkait UU SPPA dan PPRA tidak hanya media, juga pemerintah dan Kepolisian, bahkan Kejaksaan dan banyak pihak, misalnya penggiat media sosial juga pengguna media sosial. Untuk itu, UU SPPA dan PPRA ini wajib dijadikan rujukan berbagai pihak," kata Kamsul.

"Intinya bagaimana sama sama menjaga hak anak. Dengan UU SPPA dan PPRA, penyidik kita meminta polisi tidak memberikan kronologis rinci terkait peristiwa hukum yang melibatkan anak agar semuanya aman dan nyaman. Namun apabila polisi terlanjur memberikan keterangan rinci yang seharusnya untuk konsumsi dakwaan, wartawan dan pegiat media sosial harus menyaringnya dengan berbagai rambu. Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang merupakan rambu untuk melindungi wartawan dari jerat pidana UU Sistem Peradilan Pidana Anak harus menjadi prioritas utama dalam penyebaran kasus anak berhadapan dengan hukum.

Kamsul juga menyampaikan hubungan kemerdekaan pers dan pembatasannya. Pembatasan terhadap kemerdekaan pers antara lain salah satu faktornya setelah Pasal 28 UUD diamandemen pada amandemen kedua tahun 2000.

Pasal 28 B melahirkan sejumlah UU untuk melindungi anak. Mulai dari UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berikut perubahannya sampai UU SPPA yang melahirkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.

UU SPPA bukan hanya mengancam wartawan tetapi setiap orang yang membuka identitas anak berhadapan dengan hukum gunakan media cetak maupun elektronik. Ini artinya juga mengancam pegiat media sosial maupun portal yang dikelola Humas Polri.

"Dalam sebuah kesempatan, usai memberikan materi, saya pernah dicegat dua orang anak muda. Dia memperkenalkan diri sebagai pengelola Berita Purworejo Terbaru (BPT) yang menggunakan media sosial Facebook. BPT ini ternyata memiliki anggota lebih dari 250 ribu orang. Mereka semua dapat mengirim berita dari berbagai penjuru Purworejo dan dikelola oleh lima orang admin. Pertanyaannya bagaimana agar admin bisa aman dan tidak terseret kasus hukum ? Selama ini admin bekerja gantian untuk menseleksi kiriman yang masuk. Akhirnya saya sarankan selain harus mengikuti rambu hukum, meski media sosial sampai hari ini belum memiliki kode etik, sebaiknya gunakan standar berbagai peraturan yang dikeluarkan Dewan Pers. Potensi anggota 250 ribu orang merupakan hal luar biasa. Saya sarankan mereka membuat badan hukum pers saja dan menjadi media pers.

(WS)