Terdamparnya Manusia Perahu Rohingya, Pemerintah Aceh Harus Belajar dari Kasus 2015

Masyarakat Rohingnya

Bengkulutoday.com, Jakarta - Sebanyak 94 pengungsi etnis Rohingya yang terdampar di perairan Aceh Utara telah dibawa ke bekas kantor imigrasi di Punteut, Kota Lhokseumawe, pada Kamis (25/06) sore. Bekas kantor imigrasi itu pernah dipakai pada 2015 lalu untuk penampungan sementara pengungsi Rohingya.

Pegiat Asean Studies Universitas Indonesia Muhammad Ichsan  meminta pemerintah Aceh untuk memperhatikan saudara kita Rohingya sewajarnya saja mengikut arahan Pemerintah Pusat. Pemerintah Aceh harus belajar dari kasus pengungsi rohingya di tahun 2015. 

 "Etnis Rohingya sebenarnya sudah tidak asing bagi masyarakat nelayan Aceh khususnya di seputaran pantai Seunedon, Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara. Artinya semua kita pasti iba dengan kondisi manusia perahu  etnis  rohingya tersebut " jelasnya. 

"Tahun 2015 orang Aceh sudah pernah menerima serta menampung saudara seiman ini dari negara Myanmar namun berakhir dengan kaburnya para pengungsi rohingya satu persatu hingga meninggalkan barak2 yang kosong " ujar Ichsan. 

Mahasiswa Magister Asia Tenggara yang sedang belajar di Universitas Indonesia tersebut  turut mengingatkan pemerintah Aceh seharusnya belajar dari tahun 2015 " pahami isu resolusi konflik regional asean ", " rohingya bagaimana kita memberlakukan mereka dan bagaimana mereka membalas kita". jelasnya 

"Etnis rohingya tidak lagi se-istimewa saat awal pecah konflik dengan junta militer myanmar tahun 2015 silam. rasa kemanusiaan saat inj hanya karena  kesamaan identitas, solidaritas,  agama dan kondisi mereka yang berada di laut lepas terombang ambing tidak jelas, " artinya disini rasa kemanusiaan" . 

Ichsan menambahkan, bahwa Intinya tujuan mereka bukan Indonesia serta mayoritas negara di Asia Tenggara.

"Malaysia salah satu negara mayoritas Islam telah memahami apa tujuan utama mereka berlayar dengan perahu " jelas Ichsan kepada media, Kamis (26/6). 

Rohingya merupakan sebutan yang diberikan Myanmar sebagai identitas kepada golongan minoritas tersebut, yang merupakan pendatang muslim dari Bangladesh, Dikutip dari CNNIndonesia.com, Suu Kyi kembali membantah tudingan tersebut. Ia mengatakan pengadilan tertinggi PBB seharusnya tidak memiliki yurisdiksi.

Peraih hadiah Nobel Perdamaian ini menjawab tuduhan mengenai "kekejaman yang dilakukan oleh Myanmar" terhadap minoritas Muslim Rohingya.

Dalam pidato pembukaan sidang, ia mengatakan bahwa kasus terhadap Myanmar ini "tidak lengkap dan keliru".

lain walau kekerasan belakangan ini telah mendorong solidaritas dan protes dari beberapa negara Asia yang berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia.

Seringkali konflik semacam ini dianggap lumrah terjadi di negara yang tengah beranjak keluar dari kekuasaan otoriter. Gesekan sosial sering muncul seiring dengan kebebasan yang membuka ruang untuk terkuaknya masalah-masalah yang tadinya terpendam. 

Sebelumnya, para pengungsi Rohingya itu dibawa seusai magrib dari Desa Lancok, sekitar 15 kilometer dari Kota Lhokseumawe.

Mereka dibawa ke daratan oleh para nelayan setelah mendapat desakan dari para penduduk sekitar.(***)

*Muhammad Ichsan, mahasiswa Pascasarjana Kajian Asia Tenggara FIB Universitas Indonesia