Solo "Zona Hitam" Jokowi Gibran, Politik Dinasti?

Presiden Jokowi Widodo dan Sang Putra Gibran Rakabuming Raka

Bengkulutoday.com - Belakangan ini ramai sekali dibicarakan perihal keberadaan dinasti politik di Indonesia. Hal ini dipicu oleh sosok Gibran Rakabuming Raka yang tidak lain merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) Wali Kota Solo. 

Kontroversi terjadi bukan semata karena Gibran adalah anak dari orang nomor satu di Republik ini, akan tetapi perjalanan Gibran untuk menjadi calon yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam pilkada Wali Kota Solo juga tak luput dari perhatian. 

Gibran yang masih "Bau Kencur" itu tiba-tiba berhasil menyisihkan kandidat kuat sebelumnya, Achmad Purnomo, yang tidak lain juga sesama kader PDIP untuk mundur secara teratur dari persaingan. 

PDIP pusat memutuskan untuk lebih mengedepankan sosok Gibran dibanding yang lain. Terkait dengan hal ini sampai-sampai Jokowi sendiri harus turun tangan sendiri, memanggil Achmad Purnomo ke istana guna menginformasikan bahwa Gibran-lah yang terpilih serta mendapatkan rekomendasi DPP untuk maju dalam pilkada Solo mendatang.

Berbagai kritikan pun dilontarkan kepada Presiden Jokowi terkait hal ini. Meski disatu sisi juga cukup banyak yang memaklumi. 

Pada dasarnya majunya Gibran dalam kontestasi pilkada merupakan sesuatu yang lumrah untuk dilakukan. Hanya saja ada "hukum" tak tertulis di Indonesia yang menyatakan bahwa tidak etis apabila orang-orang dari satu keluarga yang sama turut terjun dalam aktivitas politik. 

Dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan atau hal-hal lain yang menjurus pada penyalahgunaan kewenangan. Risiko korupsi lebih mungkin terjadi oleh keberadaan politik dinasti didalam suatu roda pemerintahan.

Kekhawatiran serupa, patut disematkan terhadap majunya Gibran untuk menjadi kepala daerah. Apalagi sikap Gibran ini terkesan "menelan ludah sendiri" seiring pernyataannya pada tahun 2018 lalu kalau dirinya enggan untuk berpolitik. 

Jokowi sendiri pernah mengomentari putranya tersebut terkait belum adanya feeling politik pada diri anak-anaknya. Akan tetapi setelah beberapa waktu berselang kini Gibran sepertinya "mengingkari" pernyataannya tersebut. Isi hati seseorang memang siapa yang tahu. Isuk dele sore tempe. Lain dulu lain sekarang. Mirip dengan sikap ayahandanya?

Sebenarnya tidak ada larangan secara tegas terkait dinasti politik ini. Karena bagaimanapun juga merupakan hak setiap warga negara untuk turut terjun dalam politik. Apapun latar belakangnya, dan dari mana saja ia berasal. Seperti kata  PDIP, Gibran tidak memilih lahir darimana. 

Menarik untuk ditanyakan, jikalau Gibran bukan putra dari Presiden Jokowi apakah ia akan melakukan hal serupa? Apakah hasrat Gibran untuk maju dalam pilkada Solo nanti dilandasi oleh keinginan yang tulus untuk mengabdi kepada rakyat, memberikan dedikasi untuk tanah kelahirannya, atau hal itu justru menjadi aji mumpung untuk "memanen" kekuasaan. 

Pertanyaan serupa juga perlu diajukan kepada PDIP, andai kata Gibran bukan putra dari Jokowi, akankah mereka tetap memilihnya dibandingkan Achmad Purnomo?

PDIP sepertinya bersikap secara rasional terkait pemilihan Gibran dibandingkan Purnomo. Elektabilitas Gibran yang berhasil melampaui kompatriotnya itu jelas menjadi salah satu pertimbangan penting selain keberadaan Jokowi. 

Bagaimanapun juga dalam dunia politik masa kini elektabilitas serta popularitas masih menjadi dasar pengambilan keputusan yang cukup strategis dalam politik. Ini bukan sesuatu yang aneh. 

PDIP sudah menerapkan cara serupa beberapa tahun lalu kala "mengingkari" janji dengan Prabowo yang sayogyanya pada pemilihan umum presiden (Pilpres) 2014, mengirimkan kader sebagai pendamping Prabowo malah justru menjadi rival. Hal itu terjadi salah satunya juga karena elektabilitas Jokowi yang lebih unggul dibandingkan Prabowo.

Politik akan selalu mengedepankan aspek kepentingan. Mana yang lebih menguntungkan dan memiliki nilai "ekonomis" lebih baik pasti akan lebih diutamakan. Begitupun dengan politik dinasti, hal itu tidak selalu menjadi harga mati apabila tidak dibarengi dengan daya jual tinggi yang dimiliki kandidat. 

Gibran boleh menjadi putra dari Jokowi, tapi memang dia juga memiliki pesona tersendiri di mata warga Solo, yang tercermin melalui elektabilitas miliknya. Tentu ada alasan tersendiri yang dimiliki oleh warga Solo terkait persepsi mereka terhadap sosok Gibran. Entah karena dia adalah putra Jokowi, entah karena dia memiliki rekam jejak politik yang masih "murni", atau karena hal lainnya. 

Wong Solo pasti tahu apa yang terbaik untuk kepentingan diri mereka dan siapa pemimpin terbaik yang layak untuk mereka percaya. Kita yang bukan warga Solo mungkin hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi mereka. 

Jika pada akhirnya Gibran memang berhasil mendapatkan mandat untuk menjadi Wali Kota Solo sebagaimana ayahnya dulu, maka ia harus menunjukkan bahwa dirinya layak untuk itu. Sekaligus membuktikan seberapa baik kapasitasnya sebagai seorang pemimpin.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam pandemi Covid-19 ini. Solo disebut menjadi salah satu wilayah "Zona Hitam" persebaran virus corona Covid-19 di Indonesia. Apabila Gibran terpilih kelak maka ia harus membuktikan bahwa bisa memimpin Solo jauh lebih baik dari sekarang. 

Narasi tentang kotak kosong versus otak kosong yang digaungkan beberapa kalangan semestinya menjadi pelecut semangat Gibran untuk membuktikan siapa dirinya. Bermodal elektabilitas saja dan apalagi popularitas sang ayah jelas tidak akan membantunya untuk mendapatkan pengakuan dari berbagai pihak yang menaruh keraguan atas dirinya. 

Salah-salah hal itu justru akan menciptakan kesan "Zona Hitam" dinasti politik yang mana sebuah daerah dipimpin oleh pemimpin tidak berkompeten, tapi sebatas memiliki kaitan kekerabatan dengan seorang figur lain yang memegang jabatan strategis. 

Sepak terjang Gibran akan menjadi tolok ukur sejauh mana dinasti politik berimbas pada kualitas kepemimpinan seseorang. Apakah Gibran akan terus bersinar atau justru meredup? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.