Soal 'Cabul' dan 'Birahi' dalam Kode Etik Jurnalistik, Perlu Direvisi

Kamsul Hasan dalam sebuah diskusi

Bengkulutoday.com - Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

  1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
  2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
  3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
  4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
  5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
  6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
  7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
  8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
  9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
  10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
  11. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

 

Catatan ahli pers Kamsul Hasan

Ada dua pertanyaan pada diskusi di Jakarta dan Semarang terkait penerapan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) karena sudah jadul.

Diskusi di Jakarta berangkat dari penerapan Pasal 4 KEJ, khususnya terkait produk jurnalistik yang dapat dikategorikan CABUL, berikut materinya ;

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan CABUL.

Penafsiran: "CABUL" berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

Tentang siapa yang menentukan bahwa sebuah karya jurnalistik itu cabul atau tidak, pada catatan akhir KEJ jelas dikatakan Dewan Pers.

"Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers,"

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dan apa yang digunakan Dewan Pers untuk menganalisis karya jurnalistik itu cabul ?

Pada tafsir Pasal 4 huruf d seperti di atas ada frasa sebagai kata kunci "Yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi'.

Diskusi menjadi menarik dan fokus pada "Yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi". Pertanyaan, nafsu birahi siapa ?

Anggota Dewan Pers ada sembilan orang, apakah birahi kesembilannya sama dan bisa dijadikan standar umum ? Selain itu periodesasi mereka hanya tiga tahun.

Bila yang dijadikan alat ukur birahi anggota Dewan Pers, maka setiap periode bisa berbeda-beda penilaian terhadap kecabulan itu, tergantung birahinya.

Kenapa Tidak Direvisi

Pertanyaannya dalam diskusi di Semarang, "Jika KEJ dinilai sudah banyak melalui koreksi kenapa tidak di shut down dan diganti yang baru?"

Wajar pertanyaan yang diungkap aktivitas Jurnalis Perempuan Indonesia (Jupe) Jawa Tengah karena sejumlah pasal KEJ jadul.

Mereka menunjuk Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) sebagai bukti.

Lahirnya PPMS pada tahun 2011 atau lima tahun setelah berlakunya KEJ memang menginterupsi Pasal 1 dan Pasal 3 KEJ.

PPRA yang dilahirkan Dewan Pers pada HPN 2019 malah mengoreksi sebagian Pasal 5 KEJ. Ini semua bukti bahwa KEJ perlu revisi !