Seruan Hidup Damai dengan Corona

Nisa Andini Putri

Oleh : Nisa Andini Putri (Mahasiswa Bengkulu)

Kepala Negara kembali melontarkan diksi yang membingungkan dan menegaskan inkonsistensi kebijakannya. Melalui akun resmi media sosialnya pada Kamis (7/5/2020), Jokowi meminta agar masyarakat bisa berdamai dengan Covid-19 hingga vaksin virus tersebut ditemukan. 

Meskipun akhirnya, pernyataan Jokowi diluruskan oleh Deputi Bidang Protokol. Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin. Bey mengatakan “Maksud berdamai dengan Corona sebagaimana dikatakan Jokowi itu adalah menyesuaikan dengan kehidupan, yang artinya masyarakat harus tetap bisa produktif ditengah pandemi COVID-19” (CNNIndonesia.com).

Walaupun maksud dan tujuan apapun yang sebenarnya dilontarkan oleh seorang kepala negara, tetap saja tidak tepat diserukan ditengan situasi wabah saat ini. Melontarkan diksi yang tidak hanya membingungkan masyarakat, tapi juga menegaskan inkonsistensi kebijakannya. Seolah rakyat disuruh pasrah dengan keadaan yang ada, menjalani hidup seperti biasanya walaupun berdampingan dengan makhluk kecil yang mematikan tersebut. 
Seruan agar ‘hidup damai’ dengan corona, sesungguh nya kata-kata yang membingungkan dan sungguh menganehkan. Dengan ini berarti menegaskan bahwa lepas tangan nya pemerintah dalam penanganan wabah ini. Tenaga medis dibiarkan maju kemedan perang, dan rakyat dilepaskan kerimba belantara tanpa perlindungan. Tenaga medis berguguran, begitu pula dengan masyarakat di berbagai wilayah. Tentu saja hal ini berawal dari lambannya penanganan, serta didukung dengan abainya pemerintah dalam menjamin keselamatan para pejuang garda terdepan serta masyarakat.

Begitulah edukasi serta perlindungan Negara kepada rakyatnya yang nampak pada pemerintahan demokrasi kapitalisme pada saat ini. Pemerintah menyadari perang melawan  virus yang telah menjadi pandemi dunia  harus diikuti dengan roda perekonomian yang berjalan, sehingga berakibat pada berkurang nya pemasukan Negara, serta keluar nya dana untuk menangai wabah ini. sehingga tentu saja pemerintah menghitung untung-rugi dalam penanganan ini. Serta yang selalu menjadi asas kebijakan pemerintah dalam penanganan wabah disistem kapitalis sekuler ini, padahal seharusnya seorang pemimpin harus mengupayakan segala cara agar tidak bertambah lagi korban jiwa.

Bukan membiarkan para pejuang yakni tenaga medis, tanpa bekal keselamatan. Di ibaratkan berperang namun dengan tangan kosong, memang inilah cerminan pemimpin asli kapitalisme sekular. Pemimipin dalam sistem ini tidak pernah serius mengurus urusan rakyatnya. Namun akan sangat serius dalam menangani kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Padahal dalam pandangan Islam berbeda dalam penanganannya. “Seorang pemimpin adalah laksana pengembala yang akan diminta pertanggung jawaban atas gembalaannya ( rakyatnya)”. (HR. Bukhari dan Muslim). Mainset inilah yang menjadikan khalifah dalam sistem Islam (khilafah) sangat serius mengurus urusan rakayatnya. Terutama menjaga keselamatan mereka jika ada wabah yang melanda, Islam pun menjadikan rakyat sabagai acuan utama.
Untuk menjaga keselamatan rakyat akibat wabah khalifah tidak akan ragu mengambil langkah Lockdown sebagai solusi sebagimana perintah Syariat Islam. Keputusan inipun dibarengi dengan upaya menjamin kebutuhan masyarakat yang terdampak, selain itu khalifah akan mengupayakan memninimalisasi jumlah korban dan populasi yang terkena wabah. Tidak hanya itu, khalifah akan mengupayakan mencari solusi untuk antisipasi pencegahan wabah yang berbasis bukti. Seorang pemimpin yang bervisi Islamlah yang  akan menjadikan keimanannya sebagai landasan dalam  memutuskan suatu kebijakan.

Dalam keadaan apa pun keselamatan rakyat senantiasa akan menjadi acuan utama Negara. Sebagai mana dalam sebuah hadist di sebutkan bahwa “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan disahihkan al-Albani).

Begitulah Islam memandang nyawa manusia. Terjadinya wabah mematikan tentu tidak hanya mengancam nyawa satu orang, namun seluruh orang yang ada di dalam wilayah tersebut, sehingga berbagai tindakan dan upayakan dilakukan agar terhindar, dan tentu saja itu semua  harus di lakukan oleh seorang pemimpin dan pemerintah untuk menjaga rakyatnya.

Bahkan pada masa Khalifah Umar Bin Khattab, beliau rela membatalkan kunjungan resminya ke-Syam dan memutuskan kembali ke-Madinah guna menghindarkan paparan wabah yang sedang merajalela di Negeri tersebut guna tidak itu menyebar kepada penduduk di tempat lain. Pilihan tersebut tentu saja akan memilki risiko.

Namun beliau tetap yakin dengan langkah yang telah ditetapkannya. Nyawa dan keselamatan rakyat menjadi prioritas  utama dibandingkan dengan urusan lainnya. Di bawah ri’ayah pemerintahan seperti inilah kesejahteraan, dan masa depan rakyat akan terselamatkan sekalipun didera berbagai musibah, dan ujian. Mereka percaya bahwa pemimpinnya tidak akan abai dan berlepas tangan. Inilah salah satu bentuk kebijakan seorang khalifah dibawah sistem Islam dalam menjaga keselamatan rakyatnya. Pemerintahnya tidak mungkin mengorbankan nasib mereka atas dasar pertimbangan ekonomi, apalagi menukarnya demi kepentingan segelintir pemimpin dan pengusaha, jelas ketegasan seorang pemimpin dalam mengambil kebijakan dan langkah-langkah dalam menghadapi wabah adalah hal yang harus diperhatikan oleh seorang pemimpin (kepala negara), bukan pernyataan-pernyataan nyeleneh yang membingungkan. Wallahu A’lam.