Sektor Pariwisata di Ibu Kota Baru

Dyah Tari Nur’aini, SST

Oleh Dyah Tari Nur’aini, SST

Pemindahan Ibu Kota ke Provinsi Kalimantan Timur akan menjadi suatu keuntungan bagi beberapa hal, salah satunya bagi kemajuan perekonomian di wilayah tujuan Ibu Kota Baru tersebut. Beragam potensi sumber daya yang ada bisa jadi menjadi potensi daya tarik yang besar untuk meningkatkan nilai tambah daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya beragam sumber daya perlu dipersiapkan dengan baik, agar nantinya dapat menarik minat para penduduk pendatang maupun wisatawan lokal dan mancanegara. 

Kalimantan Timur (Kaltim) sendiri memiliki daya tarik wisata alam yang cukup banyak, yakni sebesar 30,61 persen dari keseluruhan jenis daya tarik wisata. Daya tarik wisata alam diantaranya dapat berupa pemandian alam, wisata gua, taman konservasi alam, suaka margasatwa dan cagar alam, juga taman laut. Persentase lain yang tidak kalah besar adalah keberadaan wisata tirta yang mencapai 28,57 persen, dan daya tarik wisata buatan sebesar 20,41 persen. Tentunya hal ini akan menjadi pilihan destinasi wisata yang merupakan modal bagi peningkatan perekonomian daerah.

Dari keseluruhan pengunjung yang datang, hampir seluruhnya didominasi oleh warga negara Indonesia (WNI) yakni sebesar 99,84 persen. Hal ini menunjukan belum banyaknya wisata-wisata di Kaltim yang dikenal oleh masyarakat luas terutama wisatawan mancanegara. Harga tiket masuk yang ditawarkan rata-rata relatif murah, lebih dari setengah total pariwisata (57,14) memiliki tarif sebesar 5.000-20.000 ribu rupiah. Harga yang cukup murah ini tentunya menjadi salah satu faktor penarik bagi pengunjung untuk datang. 

Dengan adanya kemungkinan datangnya banyak pendatang ke Ibu Kota baru, tentunya akan menjadi peluang emas bagi sektor pariwisata untuk mengembangkan usahanya. Bukan hanya bertambahnya pemasukan terhadap sektor pariwisata saja, kesempatan lapangan kerja di sektor pariwisata bisa jadi akan bertambah. Dimana penerimaan pekerja di sektor ini didominasi oleh lulusan SMA dan diploma, yakni sebesar 61,27 persen.

Berbagai jenis jasa di sekitar area pariwisata juga bisa dipastikan akan ikut mendulang keuntungan. Mulai dari layanan makan dan minum hingga toko cinderamata menjadi tempat yang biasanya tidak lupa untuk dikunjungi sembari berwisata. Pengenalan kerajinan tangan dan camilan khas daerah setempat seharusnya mulai bisa merencanakan kenaikan produksinya juga, baik dengan menambah modal maupun tenaga kerja. Oleh karenanya, industri-industri rumahan dan padat karya termasuk menjadi yang berpotensi berkembang seiring dengan meningkatnya sektor pariwisata. 

Namun dengan semakin majunya sektor pariwisata, tentunya tata kelola terhadap lingkungan harus diperhatikan juga. Mengingat sebagian besar wisata di Kaltim berupa wisata alam. Sayangnya sebesar 81.63 persen usaha wisata di Kaltim masih memiliki pengolahan limbah yang dibuang langsung ke alam. Bahkan angka tersebut paling tinggi dibandingkan provinsi lain di Kalimantan. Dilihat secara nasional, Kaltim berada di peringkat ke 7 dengan persentase pembuangan limbah ke alam terbanyak. Hal ini tentunya menjadi catatan penting bagi pemerintah setempat untuk memberi aturan guna menjaga kelestarian alam disamping berkembangnya sektor pariwisata.

Terkait penerapan konsep 3R (Reuse, Reduce, Recycle) dan sistem ramah lingkungan, Kaltim baru mencapai angka masing-masing 26,53 persen dan 53,06 persen.  Angka tersebut berada dibawah rata-rata nasional yang sebesar 37,51 persen untuk penerapan 3R dan 66,07 persen untuk sistem ramah lingkungan. Lagi-lagi Kaltim menjadi provinsi dengan persentase terendah dibandingkan provinsi lain di Kalimantan. Hal ini menunjukan tingginya tingkat perusakan lingkungan di Kaltim akibat sektor pariwisata.

Kenaikan jumlah wisatawan ke Kaltim sudah seharusnya dapat dipersiapkan, baik dalam hal peningkatan pesona daya tarik wisata maupun kualitas pelayanan objek wisata. Karena objek wisata yang ada tidak hanya dapat menjadi tambahan pemasukan daerah, namun juga sekaligus dapat berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar jika pengelolaan tidak baik. 

Penulis adalah Statistisi Ahli Pertama BPS Kab Kolaka