Rejang Lebong, Bengkulutoday.com - Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Rejang Lebong, Noprianto, menjelaskan bahwa fenomena kekurangan murid di beberapa sekolah di wilayahnya dipengaruhi oleh dinamika demografi dan pola hunian masyarakat.
"Kondisi daya tampung di setiap sekolah ini selalu dinamis. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pola demografi masyarakat daerah," jelas Noprianto, Jumat (19/07/2024).
Noprianto menuturkan bahwa pada tahun 1980-an, banyak keluarga baru dengan anak usia prasekolah dan sekolah yang bermukim di beberapa daerah di Rejang Lebong. Hal ini mendorong didirikannya sekolah-sekolah dasar di daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan pendidikan.
"Pada tahun 80-an, di beberapa daerah memang berdomisili keluarga-keluarga baru yang masih mempunyai anak usia pra-sekolah dan sekolah ya. Sehingga memang pada waktu itu dibutuhkan layanan pendidikan berupa sekolah dasar," terangnya.
Namun, seiring waktu, banyak keluarga tersebut memilih untuk pindah ke daerah lain setelah anak-anak mereka dewasa dan berkeluarga. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah anak usia sekolah di beberapa daerah.
"Tetapi dalam perkembangannya, pola demografi berubah. Ketika mereka sudah dewasa dan berkeluarga, mereka tidak kembali ke daerah tersebut, melainkan pindah ke daerah lain," kata Noprianto.
Beberapa daerah yang mengalami penurunan jumlah anak usia sekolah antara lain Dusun Curup, Kesambe Baru, Perumnas, Sukaraja, Dwi Tunggal Ujung, dan Talang Benih Ujung. Di Talang Benih Ujung, meskipun masih banyak hunian baru, jumlah anak usia sekolah tetap mencukupi.
"Talang Benih Ujung masih banyak rumah hunian baru dengan keluarga baru yang anaknya usia sekolah," jelas Noprianto.
Sebaliknya, di Dwi Tunggal Ujung, hampir tidak ada rumah baru atau penghuni baru dengan anak usia sekolah dasar. Hal ini membuat anak-anak dari daerah lain seperti Air Putih atau Sukowati sulit bersekolah di sana karena harus melewati beberapa sekolah yang lebih dekat.
"Di Dwi Tunggal Ujung hampir tidak ada rumah baru atau penghuni baru dengan anak usia sekolah dasar. Anak-anak usia sekolahnya hampir tidak ada lagi," ungkap Noprianto.
Noprianto menjelaskan bahwa faktor utama dari fenomena ini adalah pola demografi dan pola hunian di mana rata-rata anak-anak di daerah tersebut sudah SMA atau kuliah. Selain itu, anak-anak yang dulunya tinggal di daerah tersebut ketika sudah berkeluarga cenderung tidak kembali ke daerah asal mereka.
"Rata-rata di setiap rumah tangga di daerah tersebut anaknya sudah SMA atau kuliah, sehingga tidak ada keluarga baru," jelasnya.
Noprianto juga menyoroti kecenderungan masyarakat yang lebih memilih tinggal di perkotaan dibandingkan di daerah asal mereka. Hal ini membuat sulit bagi sekolah-sekolah di daerah yang lebih sepi untuk menarik siswa.
"Kita juga tidak bisa memaksa masyarakat bersekolah di sana ketika tempat tinggalnya tidak dekat. Itu juga menjadi masalah," kata Noprianto.
Sebagai upaya mengatasi masalah ini, dua tahun lalu beberapa sekolah di Kabupaten Rejang Lebong di-regrouping karena pola demografi tempat tinggal masyarakat tidak memungkinkan lagi untuk mendapatkan siswa.
"Kebijakan secara holistik dilakukan dengan regrouping beberapa sekolah karena pola demografi tempat tinggal masyarakat tidak memungkinkan lagi mendapatkan siswa di sana," pungkas Noprianto. (hendra)