Sejarah: 17 Kiai Berpangkat Perwira yang Tergabung di PETA

Pejuang PETA

Bengkulutoday.com - Banyak yang belum mengetahui sejarah terbentuknya Tentara Nasional Indonesi (TNI) dikarenakan banyak fakta sejarah yang tidak diungkap kepermukaan atau bahkan memang sengaja ditutupi karena berbagai kepentingan kekuasaan.

Dalam tiap peperangan melawan kolonial Belanda perlawanan indonesia selalu mengalami kekalahan, salah satu faktor utamanya adalah karena hanya dipimpin satu tokoh bersama masyarakat yang belum terlatih dalam strategi peperangan atau kemiliteran.

Melihat situasi tersebut Bung Karno melalui Gatot Mangkoepradja yang dikenal baik oleh Pemerintah Jepang mengusulkan untuk membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang pada tanggal 3 Oktober 1943 yang dibentuklah secara resmi melalui Osamu Seirei No 44 Tahun 1943.

PETA yang dilatih kemiliteran oleh tentra Jepang terdiri dari 65 Batalyon dengan setiap Batalyon beranggotakan 700 orang yang kesemua Batalyon anggotanya bergama Islam, bahkan dari 65 Batalyon, yang 20 Batalyon dipimpin oleh komandan Batalyon berpangkat mayor (Daidancho) yang berstatus Kiai.

Berikut nama-nama perwira PETA yang berstatus Kiai, diantaranya adalah:
1. Kiai Tubagus Achmad Chatib (Komandan Daidan 3 di daerah Labuan Banten)
2. Kiai Sjam'oen (KOmandan Daidan 4 Cilegon Banten), 
3. Kiai R Abdoelah bin Noeh (Komandan Daidan 3 Djampang Kulon Banten), 
4. Kiai Doerjatman (Daidancho Tegal), 
5. Kiai R.M. Moeljadi Djojomartono (Daidancho Manahan, Surakarta), 
6. Kiai Masjkoer (Daidancho Bojonegoro), 
7. Kiai Abd Kholik Hasyim (Daidanco Gersik), 
8. Kiai Iskandar Sulaiman (Komandan Daidan 4 Malang, Ketua Suriah NU Malang)
9. Kiai ldris (Daidancho Wonogiri, Jogja),
10. Kiai R Abdoelah bin Noeh (Oaidancho Djampang Kulon, Bagor),
11. Kiai R Amien Ojakfar (Daidancho Pamekasan, Madura), 
12. Kiai Abdoel Chamid Moedhari Daidancho Daidan III Ambunten, Sumenep),
13. Kiai R Aroedji Kartawinata (Daidancho Cimahi, Priangan),
14. Kiai Soetalaksana (Daidancho Tasikmalaya, Priangan),
15. Kiai Pardjaman (Daidancho Pangandaran, Priangan), 
16. Kiai Hamid (Kastaf Daidan 11 Pangandaran, Priangan)
17. Kiai Doerjatman (Daidancho Tegal), 

Berselang setahun setelah terbentuknya PETA, KH Hasyim Asy'ary mengajukan permohonan kepada Pemerintah Jepang pada bulan Oktober 1944 untuk memberikan kepada santri yang kemudian dibentuklan Barisan Tentara Hisbullah di Cibarusa Bogor.

Setelah Indonesia merdeka, ini menjadi cikal bakal terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI), dengan terbentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI dalam sidangnya pada tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.

BKR terdiri dari 5 elemen militer, yaitu Bekas PETA, Bekas Tentara Hisbullah, Unsur Tentara mantan Keigun Heiho, Unsur Tentara mantan Knil dan Unsur masyarakat yang mempunyai keberanian untuk berjuang bersama yang kemudian menjadi cikal TNI dengan terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (atau biasa disingkat dengan TKR) pada tanggal 5 oktober 1945 berdasarkan maklumat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (atau disingkat dengan TRI) pada tanggal 26 Januari 1946 berdasarkan Penetapan Pemerintah No 4/SD tahun 1946 dan menjadi Tentara Nasional Indonesia hingga saat ini.

Perjuangan Ulama NU dalam mempertahankan Kemerdekaan seharusnya diletakkan dalam catatan sejarah bangsa Indonesia yang dikenalkan untuk diteladani kegigihan dan perjuangannya sehingga anak cucu kita tidak menjadi generasi amnesia sejarah.

Menurut Prof Dr KH Agus Sunyoto sewaktu menjadi wartawan Jawa Pos sempat mewancarai beberapa Kiai NU pada tahun 1988 - 1990 sebagai pelaku sejarah perjuangan dengan pertanyaan 'Mengapa perjuangan Kiai seakan tidak ada yang mencatat, membukukan atapun melakukan klaim perjuangannya?".

Ternyata jawaban yang disampaikan dari beberapa narasumber hampir memiliki pandangan yang sama, bahwa "perjuangan merebut kemerdekaan merupakan jihad yang menjadi urusan kami dengan Allah, jadi kami tidak memerlukan imbal balik duniawi?".

Ditulis oleh : Santri NU Randuagung
Dikutip dari : Ceramah Prof Dr KH Agus Sunyoto