RUU Ketahanan Keluarga Dianggap Banyak Mencampuri Urusan Individu

Qori Dwi Mardahlena

RUU Ketahanan Keluarga masih menjadi perhatian publik karena materi muatannya dianggap bakal mengancam ruang–ruang privat warga neraga.

RUU Ketahanan Keluarga telah masuk proses harmonisasi di badan legislatif sejak tanggal 7 Februari 2020. Dapat kita lihat banyak sekali peraturan yang ada di RUU Ketahanan Keluarga yang menuai kritikan serta masalah karena beberapa pasal–pasal yang mencampuri urusan individu.

Beberapa pasal yang menjadi masalah dan kritikan dari khalayak umum diantaranya:

1. Salah satu contohnya  pemisahan kamar orang tua dan anak yang dijelasi dalam pasal 33  (2) “tempat tinggal yang layak huni sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a memiliki karakteristik antara lain: 

a. memiliki sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang baik.
b.  memiliki ruang tidur
c. ketersediaan kamar mandi”.

Ada beberapa faktor diantaranya bagi keluarga yang tidak mampu dibidang ekonomi, kurangnya lahan yang terdapat  di kota besar tepatnya di ibu kota Negara Indonesia yaitu Jakarta, tentunya sangat sulit untuk memenuhi karakteristik yang diinginkan oleh pemerintah tersebut. Disisi lain, akankah definisi dari karakteristik ini mengeneralisirkan masyarakat dibawah garis kemiskinan berarti tidak memenuhi unsur “keluarga” yang seharusnya ? Demikian menjadi pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak perlu diperjelas di dalam sebuah perundang-undangan.

2. istri wajib urus rumah tangga yang dijelasi dalam pasal 25(3) “kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain:

a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya
b. menjaga keutuhan keluarga serta
c. memenuhi hak suami dan anak sesuai norma agama, etika, sosial dan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pada peraturan ini terlihat sekali menjadi masalah bagi kaum wanita (istri), karena dapat kita lihat dimana istri diharuskan mengurus rumah tangga yang baik. Bagaimana jika istri yang bekerja sebagai TKI dimana ia harus mencari nafkah keluarganya  sehingga diharuskan meningalkan suami dan anaknya,  membuat ia  tidak dapat mengurus rumah tangga dengan baik. 

Seharusnya, sebuah keluarga yang baik adalah yang sama-sama memperjuangkan keluarga tersebut, yang saat ini faktanya malah kebanyakan dari istri menjadi tulang punggung keluarga, ini bahkan terlalu menitik berarkan keluarga kepada istri. 

Aturan tentang suami dan istri dalam keluarga sebaiknya tidak perlu diatur dalam RUU karena dapat berujung mengabaikan HAM(Hak Asasi Manusia). Kalangan wanita (istri) bukan hanya mengurusi urusan rumah tangga saja, sebab perempuan dan laki – laki memiliki kesetaraan di hadapan hukum. Justru aturan ini menjadi masalah bukan memperbaiki masalah. 

Aturan yang memenuhi hak suami dan anak sesuai norma agama, etika, social dan ketentuan peraturan perundang – undangan, tentu aturan ini yang menjadi masalah pula karena agama, etika, social dan hukum tidak dapat disatukan “etika dan moral harus dipertangung jawabkan pada tuhan dan masyarakat , dalam hal ini etika lebih tinggi dari hukum tidak ada ancaman pidananya tetapi ancaman social akan bekerja jauh lebih efektif. Dan etika moral itu dipertangung jawabkan oleh manusia pribadi sebagai orang yang berakhlak mulia” ujar guru besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto.

3. permasalahan RUU selanjutnya yaitu mengatur tentang Perasaan yang dijelaskan dalam pasal 24 (2) “setiap suami istri yang terkait dalam perkawinan yang sah wajib saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin  satu kepada yang lain”.

Tentunya aturan tersebut memang sudah ada sejak lama yang diatur dalam setiap agama seseorang yang diyakini dan dijalani oleh pemeluknya. Sebenarnya aturan tersebut berada di dalam ruang spiritualitas seseorang.

Banyak sekali aturan yang perlu di perbaiki di dalam RUU Ketahanan Keluarga tersebut diantaranya telah dibahas sebelumnya. Sangatlah sempit jika pemerintah mengatur dan mengurus urusan pribadi karena masih sangat banyak sekali persoalan  mendesak di Negara ini yang sangat perlu ditangani pemerintah. RUU ini tidak mampu menguraikan konsep Negara dan warganya dalam pemenuhan hak ekonomi, social, serta budaya.

Memang perlu sebuah aturan untuk mengatur masalah kekeluargaan, yang apabila hal tersebut telah mengandung unsur pidana, namun apabila masalah yang dirasa tidak perlu, dan dirasa cukup untuk diselesaikan dalam keluarga, maka dirasa tidak perlu diatur dalam perundang-undangan 

Qori Dwi Mardhalena, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bengkulu