Rektor UNIB Jadi Komisaris Utama Bank Bengkulu Langgar Undang-Undang?

Ridwan Nurazi (tengah)
Ridwan Nurazi (tengah)

Rektor UNIB Ridwan Nurazi dilantik sebagai Komisaris Utama Bank Bengkulu. Pelantikan dilangsungkan di Gedung Pusat Bank Bengkulu, Senin 1 April 2019. 

Pelantikan itu dihadiri seluruh direksi dan perwakilan pemegang saham Bank Bengkulu.

Seperti diketahui, Bank Bengkulu adalah BUMD dinaungan PT Bank Pembangunan Daerah Bengkulu yang kepemilikan saham mayoritasnya ada pada Pemprov Bengkulu.  

Pelantikan Ridwan Nurazi sempat mengejutkan publik. Selain Ridwan adalah Rektor UNIB aktif, hal itu dinilai sebagai bentuk krisis figur. Sebab, di Bengkulu masih memiliki sumber daya manusia lain yang tidak kalah kompeten, ketimbang harus terjadi rangkap jabatan.

Pada kasus serupa pernah terjadi di Bank NTT. Dimana Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) Prof Ir Fredrik Benu merangkap jabatan sebagai Komisaris Bank NTT, baca:Pengamat: Rangkap Jabatan, Rektor Undana Langgar UU Pelayanan Publik 

Bank NTT sendiri adalah bank milik pemerintah NTT, artinya masuk dalam kategori BUMD. 

Menurut pengamat hukum administrasi publik dari universitas setempat, yakni Universitas Nusa Cendana (Undana) Dr Johanes Tuba Helan pada Kamis 12 Juli 2018, tindakan rangkap jabatan itu merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 

Dijelaskan Tuba Helan dalam argumentasinya, tindakan rangkap jabatan melanggar pasal 17 huruf a di undang-undang tersebut, pada poin itu mengatur bahwa pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN) serta badan usaha milik daerah (BUMD).

Dia mentafsirkan pelaksana adalah pejabat struktural dan fungsional dan juga pegawai yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara pelayanan publik, termasuk adalah Undana. 

Tuba Helan menafsirkan bahwa rangkap jabatan itu dinilainya tidak sah, dengan demikian konsekuensi dari tindakan dan hak-haknya yang didapat juga dianggap tidak sah dan harus dipertanggung jawabkan. 

Terkait apakah hal itu masuk dalam ranah korupsi atau tidak, hal itu menjadi ranah penegak hukum, demikian jelas Tuba Helan. 

Oleh karena itu belajar dari kasus itu ia mengusulkan agar supaya jangan menjadi masalah lagi maka pegawai Aparat Sipil Negara (ASN) tidak boleh lagi menjadi komisaris bank NTT karena dilarang oleh undang-undang, jika memang mau mentaati UU sebagai konsekuensi dianutnya prinsip negara hukum  (pasal 1 ayat 3 UUD 45). 

Tanggapan Tuba Helan dilakukan berdasarkan laporan dari Prof Ir Yusuf Leonard Henuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI di Jakarta pada Senin (9/7/2018) karena diduga melakukan korupsi di Bank NTT sebesar Rp 6,2 miliar saat masih menjabat sebagai komisaris Bank NTT sekaligus sebagai Rektor Undana pada tahun 2014-2017.

Ombudsman juga nilai rangkap jabatan langgar aturan

Pada tahun 2017, Ketua Ombudsman RI Amzulian juga mengkritik adanya rangkap jabatan. Sebab rangkap jabatan tidak efektif  dan mengganggu pelayanan publik.

Dalam sebuah diskusi bertema "Rangkap Jabatan PNS dan Komisaris BUMN: Menyoal Profesionalisme ASN" yang digelar di Kantor Lembaga Administrasi Negara (LAN), di Jakarta pada Selasa 6 Juni 2017, Amzulian mengatakan tugas pelayanan publik sangat berpotensi terabaikan karena rangkap jabatan. 

Pada berita Kompas.com edisi 6 Juni 2017, baca:Ombudsman Harap Tak Ada Rangkap Jabatan karena Ganggu Pelayanan Publik , Amzulian memberi contoh seorang komisaris perusahaan BUMN yang juga sebagai rektor. Sedikit banyak, pekerjaannya sebagai pengajar akan terabaikan. Persoalan lainnya, jika ASN rangkap jabatan maka akan timbul kecemburuan sosial sesama rekan kerja. Hal ini lantaran seseorang yang rangkap jabatan akan mendapat pemasukan dari dua jabatan yang diembannya. "Kadang lebih dari satu perusahaan, bahkan double income atau mungkin triple income. Ini tidak fair karena tidak mungkin setiap pejabat kebagian," kata Amzulian.

Amzulian berharap, aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik agar dilaksanakan. UU tersebut secara tegas melarang pelaksana pelayanan publik, termasuk pejabat pemerintah atau ASN menjadi komisaris BUMN. Jika melanggar, maka ASN tersebut sedianya diberikan sanksi pemebebasan dari jabatannya. "Solusinya, harus tegas mengikuti peraturan perundang-undangan. Kalau menyatakan tak boleh rangkap jabatan, ya jangan cari alasan lagi," ujarnya. Untuk diketahui Ombudsman RI mengidentifikasi bahwa dari 144 unit BUMN telah ditemukan sebanyak 222 komisaris yang merangkap jabatan sebagai pelaksana publik, atau 41 persen dari total 541 komisaris.

Lantas, apakah rangkap jabatan Rektor UNIB Ridwan Nurazi sebagai Komisaris Utama Bank Bengkulu melanggar undang-undang?. Menjadi ranah publik dan pihak berkompeten untuk menjawabnya. [**]

NID Old
9328