Redupnya Angkutan Udara Indonesia 

Dyah Tari Nur’aini, SST 

Oleh : Dyah Tari Nur’aini, SST 

Tak bisa dipungkiri, kebutuhan akan keberadaan transportasi udara semakin bertambah penting di zaman dengan tingkat mobilitas tinggi seperti sekarang. Tak hanya perjalanan lintas negara atau internasional, dalam ruang lingkup domestik pun angkutan udara menjadi pilihan yang tak kalah diminati dibanding moda transportasi lainnya. Dengan beragam kelebihan dan fasilitas yang disuguhkan, para pengguna dapat merasakan kepuasan berupa waktu tempuh yang lebih singkat, kenyamanan sepanjang perjalanan, belum lagi pengalaman tersendiri ketika melintasi wilayah di udara. Hal ini yang membuat angkutan udara tetap diminati meski para penumpang harus merogoh kocek lebih dalam untuk bisa menikmati jasa ini. 

Namun, sepanjang tahun 2019 agaknya berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan harga cukup signifikan yang terjadi di hampir seluruh maskapai penerbangan membuat minat pengguna jasa ini berkurang. Tidak tanggung-tanggung, kenaikan tarif pesawat mencapai hingga 120 persen dibandingkan harga sebelumnya berdasarkan data Indonesia National Air Carrier Association (INACA). Kenaikan tersebut diakibatkan oleh harga avtur dan kurs rupiah yang bergerak tinggi. 

Belum lagi peraturan bagasi berbayar di beberapa maskapai menambah berat biaya yang harus dikeluarkan penumpang. Tentunya kebijakan ini cukup memberatkan. Jika sebelumnya penumpang hanya harus mengontrol berat barangnya agar tidak melebihi berat barang bawaan maksimal, namun sekarang bahkan harus berfikir ulang untuk membawa barang bawaan atau tidak, mengingat biaya yang dikenakan. Tarif yang dipatok perkilogram bagasi cukup beragam tergantung maskapai, rute perjalanan, dan jam penerbangan. Misalnya saja untuk maskapai lion dengan rute Jakarta - Bali dikenakan biaya bagasi sebesar Rp.155.000 per 5 kilogram. 

Tidak aneh jika banyak dari masyarakat yang harus menggugurkan niatnya dalam melakukan perjalanan, namun tidak sedikit juga yang memilih alternatif akomodasi lain. Alternatif transportasi baik darat maupun laut mengalami peningkatan dikarenakan adanya switch pilihan akomodasi. Hal tersebut terjadi meskipun banyak yang menganggap akomodasi selain angkutan udara tidak semenarik yang ditawarkan di angkutan pesawat, terutama untuk perjalanan jarak jauh lintas pulau. Misalnya jika dengan pesawat jarak tersebut bisa ditempuh dengan beberapa jam saja, namun jika menggunakan transportasi laut bisa memakan waktu berhari-hari. 

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan adanya peralihan penumpang ke moda transportasi lain seperti kereta, bus, kapal laut, serta jalur darat via jalan tol terutama pada saat musim lebaran. Belum lagi pemerintah telah membangun dan megoperasikan jalan tol Jakarta-Surabaya. Hal ini ditegaskan oleh Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Yunita Rusanti. Tidak hanya jumlah penumpang yang mengalami peralihan, volume kargo domestik yang dikirim via laut hingga Mei 2019 juga mengalami kenaikan 3,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Kenaikan biaya bagasi pesawat membuat pemilik barang beralih menggunakan jasa angkut transportasi laut. 

BPS mencatat jumlah penumpang yang bepergian menggunakan angkutan udara dalam penerbangan domestik di penghujung tahun 2019 rupanya mengalami peningkatan sebesar 5,26 persen dari bulan November 2019. Namun, meskipun begitu jumlah tersebut mengalami penurunan yang drastis sebesar 12 persen dibandingkan December 2018. Jika dilihat sepanjang tahun 2019, jumlah penurunan penumpang angkutan pesawat udara yakni sebesar 19,14 persen dibandingkan tahun 2018. Kepala BPS, Suharianto, menyatakan bahwa penurunan ini dikarenakan adanya kenaikan harga tiket pesawat dibandingkan harga di tahun 2018, meskipun sempat terjadi penurunan harga. Penurunan harga tiket pesawat memang terjadi pada bulan Mei 2019, yakni dengan cara menurunkan Tarif Batas Bawah (TBA). Namun ternyata hal ini tidak menjadi penarik para pengguna untuk memilih transportasi ini. 
Penurunan jumlah penumpang pesawat domestik tentunya perlu menjadi perhatian, terutama bagi Pemerintah. Jika hal ini terus berlanjut di tahun 2020 ini, penurunan tersebut dapat berpengaruh pada sektor transportasi dan pariwisata. Dengan berkurangnya pengguna angkutan udara, indikator sektor pariwisata seperti tingkat penghunian kamar (TPK) Hotel tentunya akan berkurang karena penumpang akan membatasi kegiatan bepergian keluar daerah dan menginap. Penunjang pariwisata lain seperti tempat wisata, jasa kuliner/restoran, pusat oleh-oleh, jasa travel juga tentunya akan terkena dampaknya. Belum lagi jika dilihat secara lebih luas, peningkatan harga pesawat yang tinggi bisa berdampak pada inflasi dan penurunan pertumbuhan ekonomi. 

Oleh karena itu perlu adanya kebijakan yang baik untuk menstabilkan penggunaan transportasi. Solusi-solusi yang efektif dalam mengatasi kenaikan harga seperti mempermudah biaya pajak dan bahan bakar pesawat juga perlu segera dilakukan untuk menekan harga tiket pesawat. Selain itu, langkah sinergis antara sektor transportasi dan pariwisata juga perlu dilakukan untuk mencari langkah tepat dalam menghidupkan kembali pergerakan keduanya. 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama, BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.