Rebutan Kursi di Tengah Pandemi, Legalkan Sistem Kriminal

Mesi Tri Jayanti

Kurva jumlah kasus corona sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda melandai, bahkan beberapa daerah masih dinyatakan sebagai zona merah.

Tidak lepas dari keputusan New Normal, DPR dan pemerintah bersepakat untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember 2020 di 270 daerah dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota se-Indonesia. Hal ini dianggap sebagai mekanisme sistem untuk melangsungkan kepemimpinan yang ideal. 

Indonesia sebagai satu di antara negara yang terdampak virus Corona sebelumnya sempat menunda pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah, nomenklatur Perppu tersebut adalah Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, pada 4 Mei 2020.

Perppu tersebut mengubah waktu pelaksaan pemungutan suara yang semula dijadwalkan pada 23 September 2020 sebagaimana yang tercantum dalam UU No 10 Tahun 2016, kini sebagai upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 ditunda hingga 9 Desember 2020 mendatang. Meski begitu, tahapan dalam kontestasi politik tingkat kepala daerah tersebut sudah dimulai sejak Rabu (24/6/2020). 

Pelaksanaan seluruh tahapan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 pun membutuhkan anggaran yang tidak sedikit dari biasanya. Sebab pelaksanaan pilkada 2020 harus sesuai dengan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Antara lain pengadaan alat perlindungan diri (APD) seperti masker, sarung tangan, hand sanitizer, sarana cuci tangan, cairan disinfekttermometer, dan lain-lain. Dilansir dari KOMPAS.com (Sabtu, 01/07/2020) Kemenkeu menyetujui pengajuan penambahan anggaran pilkada 2020 dari KPU sebesar Rp 4,7 triliun, DKPP sebesar Rp 39 miliar, dan Bawaslu sebesar Rp 478 miliar.

Melihat situasi saat ini yang masih unpredicteble, tidak ada jaminan bahwa pandemi Covid-19 gelombang kedua seperti yang dialami oleh Tiongkok dan Korea Selatan, tidak akan terjadi di Indonesia. Apalagi mengingat kembali pengalaman pahit dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 lalu yang menelan korban, berdasarkan data KPU RI jumlah petugas yang meninggal saat itu mencapai 894 petugas dan sebanyak 5.175 petugas mengalami sakit. Tentu kita tidak ingin hal itu terulang kembali.

Semestinya pemerintah menyadari bahwa Pilkada bukanlah isu utama yang menjadi perhatian publik saat ini. Kualitas dan integritas calon pemimpin yang luput dari penilaian dan evaluasi publik tentu akan berpengaruh terhadap legitimasi pemimpin yang dilahirkan nanti.

Seperti yang disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Raja Muda Batanoa, bahwa pelaksanaan pilkada 2020 yang berlangsung di tengah pandemi Covid-19 akan menguntungkan oligarki politik. Termasuk juga petahana dan calon-calon baru yang punya kekuatan uang dan logistik.

Hal senada juga disampaikan oleh pengamat politik Universitas Sebelas Maret (UNS) sekaligus mantan Ketua KPU Sragen Agus Riewanto, ia menilai bahwa dari peserta pilkada jelas petahana paling diuntungkan. Akhirnya pilkada tidak berjalan dengan adil. Sebanyak 90 persen incumbent yang menang disebabkan kebijakan realokasi anggaran APBD bantuan Covid-19, pemegang anggaran ialah kepala daerah. Sementara kepala daerah bisa memanfaatkan kebijakan dengan kampanye. 

Tidak sedikit yang mengkritik penyelenggaraan pilkada 2020 ini. Bahwa mekanisme demokrasi (pilpres dan pilkada) justru mengekalkan sistem kriminal yang menghasilkan legitimasi perampokan kekayaan negara dan penyengsaraan nasib rakyat.
Demokrasi yang digadang-gadang oleh  penguasa negeri justru dianggap oleh Rizal Ramli (Mantan Menteri ekonomi) sebagai demokrasi kriminal. Demokrasi Indonesia merupakan demokrasi kriminal karena mengikuti sistem politik di Amerika Serikat. Akibatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin banyak, bukan justru berkurang. 

Bahkan Rizal Ramli mengaku pernah ditawari untuk menjadi presiden, namun ia tidak sanggup karena harus mengeluarkan biaya hingga Rp 1,5 triliun. Dana triliunan rupiah itu harus dikeluarkannya untuk membayar 3 partai pendukung. Masing-masing partai Rp 500 miliar.

Menanggapi pengakuan Rizal Ramli tersebut, Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara) berkata bahwa berbahaya bila Presidential Threshold terus dipertahankan di Indonesia. Karena mudah bagi siapa pun yang ingin menguasai politik Indonesia, selama mereka memiliki modal. Cukup mengeluarkan Rp 9 triliun. Bahkan dengan biaya Rp 6 triliun pun negeri ini bisa dikuasai. Amat murah nominal tersebut jika merujuk dana kartu prakerja yang hanya berkisar Rp 5,8 triliun. 

Fakta buruknya perjalanan demokrasi melahirkan pemimpin di negeri ini telah diketahui publik. Lalu, memaksakan pilkada tetap terselenggara dengan biaya mahal, ancaman penularan pandemi covid-19 juga tak mungkin dapat dihindari. Pilkada tak lain merupakan jurus sistematis melanggengkan sistem kriminal. Sebab problematika sesungguhnya adalah kepemimpinan ideal dalam sistem demokrasi dengan jargon 'dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat' tak nyata adanya alias ilusi belaka. Suara rakyat hanya sayup-sayup didengar bahkan malah tak terdengar.

Kepemimpinan yang ada saat ini seolah terpisah dengan rakyat dan hidup di ruang kedap suara, berteriak sampai kehabisan suara pun tak akan mereka dengar. Mereka hanya sibuk mengurusi kepentingannya, tak lebih dari itu. Itulah kepemimpinan yang lahir dalam sistem kapitalisme sekuler. Asas manfaatnya menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan di tengah umat.
Sungguh, kepemimpinan ideal hanya terlahir dari sistem yang ideal pula. Yakni sistem yang diturunkan Allah subhanahu wa ta'ala kepada Rasulullah ﷺ berabad-abad lalu dan berhasil melahirkan peradaban yang tinggi, mengalahkan peradaban buatan manusia. Sistem Islam dalam naungan khilafah lah yang melahirkan kepemimpinan ideal sepanjang masa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” (HR Ar-Rawiyani, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi). 

Wallahu a'lam[]

*Mesi Tri Jayanti,  Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu