Pro Kontra RUU MK Disahkan Jadi Undang-Undang

Ilustrasi

Opini, Bengkulutoday.com - DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi Undang-Undang.

Udang-Undang nomor 24 tahun 2003 “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” .

Sebelumnya, Ketua Panja RUU MK Adies Kadir menyatakan, terdapat lima substansi dalam revisi UU MK. Pertama, terkait kedudukan, susunan, dan kewenangan MK.

Kedua, pengangkatan dan pemberhentian hakim MK serta perubahan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK. 

Ketiga, perubahan usia minimal, syarat, dan tata cara seleksi hakim MK. Keempat, penambahan ketentuan baru mengenai unsur Majelis Kehormatan MK dan kelima tentang pengaturan peraturan peralihan. Pada pembahasan revisi UU MK ini, antara lain dibahas soal syarat minimal usia hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 55 tahun serta memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi selama 15 tahun. Ini berarti masa jabatan hakim konstitusi akan berlaku hingga para hakim konstitusi pensiun dan berlaku retroaktif untuk hakim-hakim yang ada sekarang.

Dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK disebutkan bahwa usia minimal menjadi hakim MK adalah 47 tahun dengan usia maksimal 65 tahun saat diangkat. Namun, dalam pembahasan akhir draf RUU MK, pemerintah dan DPR sepakat bahwa batas usia hakim MK adalah 55 tahun saat diangkat.

Pemerintah dan DPR juga sepakat untuk memperpanjang masa jabatan hakim MK selama 15 tahun atau hingga usia 70 tahun. 
Dari aspek yg sudah di jelaskan di atas DPR menyetujui RUU MK menjadi undang undang. Di dalam permasalah pasti terdapat pihak yg setuju maupun tidak setuju atas keputusan yg di berikan.

Yang mana bisa saja revisi UU MK tak perkuat kekuasaan kehakiman, Lembaga riset Konstitusi dan demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) menilai, revisi Undang-undang Mahkamah Konstitusi sama sekali tak bertujuan untuk memperkuat MK.

Sebaliknya, revisi UU justru menghilangkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena muatan pasal-pasal yang diubah. "Selain perubahan-perubahan yang tidak substantif dan relevan dengan penguatan MK, sejumlah ketentuan di dalamnya sarat akan konflik kepentingan,"
"RUU ini jelas mencoreng turunan dari prinsip negara hukum, yaitu kemerdekaan kekuasaan kehakiman,"

Secara substansi, ada tiga hal yang diubah di UU MK hasil revisi, yakni syarat usia Hakim Konstitusi, masa jabatan hakim, dan kode etik hakim. Terkait masa jabatan hakim yang diperpanjang hingga 15 tahun dengan usia maksimal hakim 70 tahun, seharusnya dibarengi dengan penguatan pengawasan hakim, penegakan kode etik, dan standar rekrutmen yang baik. Masa jabatan MK memang idealnya diperpanjang demi menghindari lobi-lobi politik dari lembaga pengusul.
Namun demikian, perpanjangan masa jabatan tanpa pengawasan, penegakkan kode etik, dan rekrutmen yang baik sama saja membarter marwah dan keluhuran MK. Hal inilah yang nampak dari RUU MK yang kini telah disahkan sebagai undang-undang.

"Di RUU ini tidak demikian, bagi RUU ini yang penting masa jabatan saja yang panjang, tapi pengawasan melalui dewan etik eksternal dan penegakan kode etik tidak dipikirkan,"

Tak hanya itu, RUU MK dinilai setengah hati dalam hal penyelenggaraan rekrutmen hakim yang baik. Perpanjangan masa jabatan seharusnya diatur bersama dengan pengetatan dan standardisasi rekrutmen hakim konstitusi di setiap lembaga pengusul. Rekrutmen harus bersifat transparan, akuntabel, partisipatif, dan objektif. Mekanismenya pun harus diatur secara rinci dalam RUU dan seragam untuk semua lembaga pengusul.

Namun pengaturan dalam RUU ini setengah hati, perubahan hanya menambahkan asas-asas pelaksanaan rekrutmen saja, mekanisme masih dikembalikan ke masing-masing lembaga pengusul. Aturan ini tidak jauh berbeda dengan aturan lama,".

Dari sisi penegakkan kode etik, kata Violla, RUU MK tak substantif. Sebab, RUU hanya menambahkan personel Majelis Kehormatan dari kalangan akademisi saja. "Ada perubahan tentang etik, dia hanya menambahkan personil Majelis Kehormatan MK saja dari kalangan akademisi hukum. Sama sekali tidak substantif,"

Seharusnya perubahan aturan masa jabatan ini tak diberlakukan bagi hakim konstitusi yang masih menjabat. Aturan itu semestinya diterapkan bagi hakim konstitusi periode berikutnya, agar tak dijadikan barter dengan putusan hakim dalam penanganan perkara pengujian undang-undang. "Jika ditujukan untuk hakim yang sekarang, aturan ini bisa jadi komoditas untuk dibarter dengan amar putusan dan sikap hakim konstitusi,"
RUU ini tetap disahkan, meski menjadi polemik di tengah masyarakat.

Panja, timus, dan timsin melakukan penyempurnaan substansi terhadap RUU MK seperti mengenai kedudukan, susunan, dan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Kemudian, mengenai usia minimal,syarat dan tata cara seleksi hakim konstitusi, penambahan ketentuan baru mengenai unsur majelis kehormatan di Mahkamah Konstitusi. "Dan pengaturan mengenai ketentuan peralihan agar jaminan kepastian hukum yang adil bagi hakim konstitusi yang sedang mengemban amanah sebagai negarawan, penjaga konstitusi tetap terjamin secara konstitusional,".

Pendapat saya sebagai penulis sya menyetuji hasil keputusan yg sudah di pilih karena dalam setiap pengambilan keputusan tidak mungkin tidak di piker dengan matang terlebih dahulu. Pastinya sudah di pikirkan dengan sangat matang dan mereka pasti sudah tau resiko atas keputusan yg mereka ambil.

***

Joufrensu Dewomoro, Fakultas Hukum Universitas Bengkulu