Seluma, Bengkulutoday.com - Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Serawai di Kabupaten Seluma akan menggelar Musyawarah Daerah untuk memilih calon ketua baru pada Minggu, 23 Juni 2024.
"Ini proses regenerasi rutin di tubuh AMAN. Sekaligus sebagai konsolidasi kembali untuk penguatan organisasi," kata Ketua Pengurus Harian AMAN Wilayah Bengkulu Fahmi Arisandi, Sabtu, 22 Juni 2024.
Menurut Fahmi, penyiapan kader pemimpin baru di beberapa pengurus daerah AMAN akan menjadi langkah strategis untuk perjuangan dan pergerakan AMAN di daerah. Karena itu, ia berharap akan ada utusan dari komunitas adat yang mumpuni dan bisa menjadi motor untuk eksistensi organisasi. "Pengurus Daerah adalah ujung tombak pergerakan," katanya.
Eskalasi Konflik
Di bagian lain, saat ini di beberapa wilayah Tana Serawai mulai mengalami eskalasi konflik yang ditengarai oleh kasus lama yang sudah berpuluh tahun tak mendapatkan penyelesaian oleh negara.
Salah satunya adalah di wilayah adat Serawai Semidang Sakti yang berada di Desa Pring Baru, Kecamatan Talo Kecil. "Kami terima laporan warga di komunitas adat, PT Perkebunan Nusantara VII kembali klaim lahan milik mereka di tanah warga, yang jeleknya lagi mereka memanen paksa hasil kebun milik komunitas adat," kata Ketua Pengurus Daerah AMAN Tana Serawai Hertoni Zakaria, Jumat, 21 Juni 2024.
Pia, salah seorang tokoh perempuan masyarakat adat Serawai Semidang Sakti mengaku kejadian itu bermula pada 11 Juni 2024, ketika perusahaan mengumumkan akan mengambil alih seluruh lahan yang masuk ke dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN VII.
Sejak itu, terhitung pada 13 Juni 2024, perusahaan mulai memanen paksa seluruh tanaman sawit milik warga yang disebut mereka berdiri di atas HGU PTPN VII. "Dan kemarin, pada 21 Juni (Jumat) perusahaan mulai memasang patok di lahan warga, salah satunya milik saya," kata Pia yang juga menjabat sebagai Dewan AMAN Daerah.
Hormati Wilayah Adat
Dikatakan Fahmi, konflik lahan di wilayah adat Serawai Semidang Sakti telah mencuat sejak 2010, ketika warga komunitas adat mengambil kembali lahan milik mereka yang telah diambil paksa oleh PT PN VII pada tahun 1985 dengan dalih pinjam pakai untuk kebun plasma.
Waktu itu, sempat terjadi kesepakatan antara perusahaan dengan warga secara tertulis usai konflik mencuat. Dengan keputusan perusahaan akhirnya bersedia mengembalikan tanah milik warga yang telah mereka pinjam pakai.
Namun, sebulan setelah kesepakatan. PT PN VII mengingkari keputusan mereka dengan cara mengusir dan merusak seluruh tanaman milik warga. Sejumlah warga bahkan sempat diamankan kepolisian karena mempertahankan tanahnya.
Pada tahun 2012, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Seluma mengakui memang telah terjadi tumpang tindih antara lahan milik warga dengan HGU PT PN VII. Hanya saja, sampai kini tidak ada solusi jelas dan tegas terkait konflik ini.
"Dari itu kami minta perusahaan hormati wilayah masyarakat adat. Apa yang menjadi hak mereka sudah pasti akan dipertahankan oleh warga," kata Fahmi.