Perketat Keamanan Pulau Natuna Terhadap Nelayan China, Demi Menjaga Kedaulatan Indonesia

Ilustrasi pulau Natuna

Oleh: Tri Novita Sari Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Bengkulutoday.com - Hubungan antara China dan Indonesia belum lama ini sedang berada dalam keadaan yang tidak baik lantaran nelayan China menangkap ikan di dekat laut perairan  Natuna dan telah melewati batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Melansir Kompas TV, Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman menyebutkan, Bakamla mengetahui hal ini dari kerja sama regional yang dilakukan pada 10 Desember 2019.


"Di dunia ini akan ada pergerakan memang, kapal-kapal fishing fleet-nya dari utara ke selatan yang kemungkinan masuk ke kita,. Maka, kami kerahkan kapal-kapal kita ke sana," kata Taufiq. Diperkirakan, kapal-kapal tersebut akan masuk ke perairan Indonesia pada 17 Desmber 2019.


Ternyata, kapal-kapal asing masuk dua hari setelah perkiraan, yaitu 19 Desember 2019. Kemudian, Bakamla melakukan upaya pengusiran.  "Kami temukan, kami usir. Jadi kami sampaikan, ini peraturan kita dan sebagainya. Mereka keluar. Tapi tanggal 24 (Desember) dia kembali lagi dengan perbuatan, kami tetap hadir di sana," ujar dia.
"Ini sudah kami koordinasikan ke Kemenko Polhukam, Kementerian Luar Negeri, karena walaupun bagaimana tentunya kita harus melakukan suatu kegiatan yang ada orkestrastif, dari segi diplomasi ada di Kementerian Luar Negari, kami laporkan, sudah sampai ke Presiden," lanjut dia.


Para nelayan China telah jelas melanggar batas ZEE Indonesia yang telah ditentukan didalam Undang-undang.
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) itu sendiri telah mengatur batas-batas mengenai kelautan  dan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Pasal 2 itu sendiri berbunyi “Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia”.


Namun di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia juga mengatur mengenai Negara-negara yang mempunyai pantai yang saling berhadapan atau berdampingan, Pasal 3 tersebut berbunyi Pasal 3 angka (1) “Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan”.

Dan pasal 3 angka (2) juga berbunyi “Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia termaksud”.


Dengan adanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia yang telah jelas mengatur mengenai batas laut Zona Ekonomi Ekslusif dimana batas laut Indonesia meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia, dengan adanya aturan tersebut maka Negara-negara tidak mudah untuk mendekati batas ZEE Indonesia dan kita juga dapat mengatur atau mengawasi nelayan atau kapal-kapal yang mendekati batas yang telah ditentukan. 


Melansir BBC News Indonesia 28 Januari 2020, Kasus pencurian ikan ilegal oleh kapal asing mencuat ke publik saat Dedek Ardiansyah, nelayan dari Pulau Tiga Barat mengunggah video kapal-kapal asing ke sosial media pada Desember tahun lalu.


Kasus pencurian ikan menjadi viral ketika kapal-kapal ikan China yang dikawal kapal penjaga pantai China terdeteksi melakukan penangkapan ikan dalam jarak 130 mil laut dari Ranai.
Bahkan, mereka menolak untuk diusir dari wilayah ZEE Indonesia.


Presiden Joko Widodo pun turun tangan dengan melakukan kunjungan ke Natuna. Ia menegaskan tidak ada tawar-menawar dalam kedaulatan Indonesia. Jokowi kemudian memerintahkan peningkatan patroli di wilayah Natuna. Dampaknya, terjadi peningkatan kekuatan militer di Natuna. Soal Natuna, pemerintah RI didesak tarik dubes dari Beijing dan tinjau ulang proyek dengan China Kapal perang TNI AL usir kapal Penjaga Pantai China di perairan Natuna Kapal ikan asing masuk Natuna: Indonesia protes keras ke Beijing dan kapal Vietnam baru saja ditangkap
TNI AU mengerahkan empat jet F-16 untuk patroli di Natuna.


Kemudian, TNI AL mengerahkan beberapa kapal perang, diantaranya yaitu KRI Karel Satsuit Tubun, KRI Usman Harun, KRI Jhon Lie, KRI Semarang, KRI Tjiptadi, KRI Teuku Umar, KRI Sutendi Senoputra, dan KRI Ahmad Yani.
Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Pangkogabwilhan I), Laksamana Madya TNI Yudo Margono, menegaskan patroli di Laut Natuna Utara akan tetap dilakukan sepanjang tahun, walaupun kapal nelayan dan kapal penjaga pantai China sudah tidak ada lagi di wilayah ZEE Indonesia.


"Patroli tetap. Tidak terbatas. Operasi sepanjang tahun. Sudah (tidak ada kapal China). Sudah 400 mil di luar garis batas ZEE. Sudah sampai di sana. Sudah tak terpantau lagi di AIS," kata Yudo kepada wartawan di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Selat Lampa, Kamis (16/01).


Menurut hemat saya, kejadian seperti ini selayaknya memang tidak bisa di toleransi karena menyangkut kedaulatan Negara kita, Indonesia yang kita cintai ini. Apalagi sudah jelas tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang  Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia  Pasal 13 “Dalam rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), aparatur penegak hukum Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dengan pengecualian sebagai berikut:


a)    Penangkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di Zona Ekonomi              Eksklusif Indonesia meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-          orang tersebut dipelabuhan di mana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut;
b)    Penyerahan kapal dan/atau orang-orang tersebut harus dilakukan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi             jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali apabila terdapat keadaan force majeure;
c)    Untuk kepentingan penahanan, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17 termasuk dalam  golongan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.


Seharusnya kapal nelayan China yang dikawal oleh kapal penjaga pantai China bukan hanya diusir melainkan ditangkap dan diproses secara hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Hal ini penting karena untuk menegakkan kedaulatan Negara indoneisa terutama yang berkaitan dengan wilayah perairan dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mengingat sebelumnya sudah pernah terjadi kasus yang serupa misalnya saja Berdasarkan data dari BBC News 1 mei 2019 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kementerian itu telah menangkap 15 kapal Vietnam dan 14 kapal Malaysia di perairan Indonesia sejak awal tahun 2019. 


Bisa jadi pelanggaran kedaulatan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang selalu terulang dan jika dibiarkan akan merugikan Indonesia kedepannya. Dampak yang mungkin dapat terjadi adalah : 1. Berkurangnya wilayah Negara Republik Indonesia terutama wilayah perairan pada Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). 2. Indonesia akan dianggap tidak serius dalam menegakkan kedaulatan negara.