Penghinaan Nabi Berulang kali Terjadi, Sampai Kapan?

ilustrasi kumparan

Oleh: Ratna Sari (Mahasiswi Bengkulu)

 

Bengkulutoday.com - Hina menghina sepetinya tidak asing lagi di telinga manusia. Suatu hal yang seolah melekat di dalam diri manusia. Padahal sejatinya aktivitas seperti menghina akan menimbulkan malapetaka bagi dirinya.  Baru-baru ini penghinaan kepada suritauladan umat Islam yakni Rasulullah SAW dan ibunda Aisyah r.a kembali lagi terjadi seolah tak berkesudahan. Setelah pelarangan hijab menuai kecaman dari umat Islam pada tahun lalu. Kini kembali muncul hal yang baru namun serupa. Hal ini terjadi karena tidak lepas dari adanya Islamophobia yang sudah mendarah daging di negeri India tersebut. Ya,  penghinaan tersebut terjadi di India. Salah seorang Juru Bicara Nasional Partai Baharatiya Janata (BPJ) yakni Nupur Sharma dengan terang-terangan menghina Rasulullah SAW dalam sebuah acara debat di sebuah stasiun televisi. Bersamaan dengan itu Kepala Opeasi Media BPJ, Delhi Naveen Kumar Jindal turut juga memberikan cuitan hal yang serupa melalui akun Twitte-nya. (CNNIndonesia.com, 6/6/2022)

Tentu saja pernyataan yang dilontarkan oleh kedua politisi tersebut mendatangkan protes, kecaman dan juga tuntutan yang dilontakan umat Islam. Akibatnya, arus glombang aksi protes tak dapat dibendung lagi. Kaum muslim di India melakukan pembelaan dengan menggelar aksi sebagai bentuk respon atas penghinaan yang dilakukan kedua politisi tersebut. Bukan hanya di India, kaum muslimin di Indonesia juga turut melakukan protes berupa kecaman dan seruan pemboikotan produk India. Namun apakah benar kecaman berupa seruan pemboikotan dapat menyelesaikan dan menyudahi penghinaan-penghinaan terhadap Islam dan ajarannya?

Jika kita melakukan kilas balik sudah tak terhitung lagi penistaan dan penghinaan kepada Rasulullah SAW terjadi. Namun, belum juga ada titik terang untuk usai. Celakanya, hanya sebatas klarifikasi dan permintaan maaf maka kasus akan usai dan berakhir. Tidak ditangani dengan serius dan diberikan hukuman yang setimpal. Pantas saja kasus yang serupa kembali terjadi, ibarat pribahasa ‘kaset baru lagu lama’. Begitu pula aksi pemboikotan belum juga mampu meredam penistaan dan penghinaan. Ibarat arus gelombang yang tak dapat terbendung. Ketika surut air laut maka arus gelombang mengecil. Namun ketika air laut pasang maka arus gelombang laut semakin besar.

Lalu setelah banyaknya penistaan yang dialami umat Islam selama ini masihkah kita berdiam diri? Bukankah hal tersebut harusnya membuat kita malu? Ya, malu karena negara gagal menjaga kemulian Rasulullah SAW. Bukankah hal tersebut menunjukan begitu lemah dan tak berdayanya kita untuk membela kehormatan manusia yang paling mulia yakni Rasulullah? Bukankah hal tersebut menunjukkan pembelaan kita hanya sebatas keceman semata tanpa adanya aksi nyata yang mempu membuat bungkam mereka para penghina? 

Maka dari itu wahai kaum muslim, umat Islam membutuhkan penguasa dan negara super power yang disegani sehingga mampu membuat bungkam para penista. Mampu melindungi kehormatan dan kemulian Rasulullah SAW, Islam beserta ajarannya. Disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Sejatinya sosok demikian hanya akan kita jumpai di negara yang menerapkan syariat Islam. Menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai tonggak penerapan dan pemersatuan umat Islam. Karena hanya dengan penerapan Islam lah yang mampu menghadirkan sosok pemimpin yang tegas dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah. Tidak akan melakukan tawar-menawar apa lagi dalam perkara Iman dan Islam. Sosok pemimpin yang begitu tunduk terhadap ajaran Islam. Sebagaimana sosok khalifah Abdul Hamid II yang begitu gagah berani menghentikan pementasan drama yang menghina Nabi Muhammad SAW sehingga Prancis dan Inggris dibuat ketar-ketir akibat ancaman yang diberikan Khalifah Abdul Hamid II.

Sosok pemimpin yang menerapkan Islam juga akan memberikan hukuman bagi siapa saja pelaku yang terbukti bersalah telah melakukan penistaan terhadap Rasulullah SAW yakni dengan hukuman dan sanksi yang tegas. Pasalnya, bagi umat Islam menghina Rasul jelas hukumnya haram dan pelakunya dinyatakan kafir. Sanksinya juga berupa hukuman mati. Al’Qodhi ‘Iyadh menuturkan bahwa hal tersebut telah menjadi kesepakatan dikalangan imam dan ahli fatwa. Ketentuan tersebut berlaku apabila pelaku seorang muslim. Jika pelakunya non-muslim maka akan dilihat apakah ia termasuk golongan kafir dzimmi ataukah kafir harbi.

Kafir dzimmi ialah warga non-muslim yang menjadi bagian dari Daulah Islam sehingga bersedia tunduk dan patuh terhadap aturan Islam serta membayar jizyah. Sehingga negara wajib melindungi dan memperlakukannya dengan baik. Maka bagi kafir dzimmi sanksi yang akan didapatkan yakni berupa perjanjian yang dibuat dengan mereka otomatis akan dibatalkan dan bagi pelaku maka akan diberlakukan hukuman mati. Namun kembali lagi keputusan tersebut ada di tangan khalifah.

Sedangkan kafir harbi yakni warga non muslim yang memerangi Islam dan boleh untuk diperangi. Maka dalam hal ini apabila pelaku ternyata warga non-muslim yang berada dalam wilayah yang memerangi Islam hukum asal pelakunya adalah perang. Untuk itu negara boleh memeranginya dengan mengerahkan pasukan. Hal demikian tentu tidak dapat dilakukan oleh individual atau masyarakat semata, namun memerlukan sosok pemimpin yang memiliki ketegasan, keberanian dan ketaatan kepada Allah SWT dengan menjalankan syariat Islam. Sebagaimana sesok khalifah Abdul Hamid II yang mempu membuat gentar musuh sehingga amat ditakuti dan disegani. Semua itu tak lepas dari sistem Islam yang dijalankan, pemimpin yang senatiasa tunduk terhadap syariat Islam, dan juga masyarakat yang bertugas untuk mengontrol penerapan Islam.  

Maka dari itu apabila umat muslim ingin menyudahi agar penghinaan dan penistaan Islam berakhir solusi finalnya adalah dengan mengambil Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Jika tidak maka siap-siap saja ‘lagu lama akan diputar kembali’. Wallahu’alam  Bissawab