Penggunaan Istilah Manipulator Agama Untuk Radikalisme

ilustrasi.net

Oleh : Andhika Lazuardi )*

Pemerintah mengusulkan istilah radikalisme diganti menjadi manipulator agama. Upaya itu diharapkan mampu mempersempit ruang gerak radikalisme dan menjaga stabilitas politik dalam negeri.

Penyebaran paham radikalisme yang meresahkan kian meluas. Bukan hanya berimbas pada masyarakat saja, bahkan berita terbaru menyebutkan paham ini telah menjangkiti sejumlah PNS, pegawai BUMN, aparat kepolisian dan juga militer. Serta yang lebih mencengangkan ialah persentase paparan paham menyimpang ini paling besar dialami para pelajar. Miris memang, generasi penerus yang seharusnya menjadi pilar bangsa malah menyatakan diri sebagai anti Pancasila. Meski demikian, beragama upaya pendekatan guna menyembuhkan "penyakit" radikalisme ini. 

Pemerintah tak tinggal diam melihat warganya terjangkiti paham yang mengancam diri. Termasuk membuat pembaharuan MoU berkenaan dengan terorisme serta paham radikal. Sehingga tindakan akan mampu diselaraskan dan dilaksanakan dengan baik. Terkait istilah paham menyimpang ini, terdengar usulan bahwa Presiden Jokowi akan mengganti istilah yang terkesan "keras" ini dengan manipulator agama. Hal ini bertujuan guna mencegah ekspansi paham radikalisme ini semakin meluas.

Boni Hargens, selaku Direktur lembaga Pemilih Indonesia (LPI) menyambut positif usulan Presiden Jokowi tersebut. Menurutnya, pernyataan itu dapat digunakan sebagai upaya untuk menjaga stabilitas politik pasca Pilpres tahun 2019. Melalui istilah baru ini, Boni menilai kegelisahan politik akan menurun. Namun, dirinya tak menampik jika istilah baru tersebut tidak mampu menyederhanakan radikalisme. Pihaknya menyatakan bahwa "manipulasi agama” merupakan bagian dari modus operandi kinerja dari kelompok radikalisme terhadap agama.

Jika berbicara mengenai radikalisme agama, memang tidak terdapat doktrin maupun ideologi, melainkan sebuah gerakan politik. Dalam memperjuangkan cita-cita ini harus bertentangan dengan Pancasila beserta haluan kebangsaan Indonesia. Sebelumnya, Presiden Jokowi meminta jajarannya untuk bertindak tegas dalam upaya mencegah meluasnya gerakan radikalisme. Menurutnya, diperlukan istilah baru guna menghentikan penyebarannya. Presiden Jokowi juga menjelaskan harus ada usaha yang serius dan konsisten untuk menekan pergerakkannya. Dari situlah Orang RI nomor 1 tersebut memberikan usulan "manipulator agama" sebagai ganti sebutan radikalisme. 

Dilain pihak, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid tak mempersoalkan sebutan ini. Dirinya mendukung segala  langkah Presiden dalam menghilangkan segala kemungkinan pemecah belah bangsa. Pihaknya menilai semangat Presiden untuk memahami agama sudah dalam konteks yang betul. Sebab, agama itu memang memberikan kedamaian dan ketenangan.

Zainut menyatakan, bahwasanya radikalisme tidak ada korelasinya sama sekali dengan ajaran agama. Justru, agamalah yang sebetulnya memandu manusia untuk hidup dalam ketentraman, kedamaian, serta menyatukan seluruh manusia. Agama hadir guna memberikan kasih sayang, agama juga hadir guna mempersatukan kita dalam perbedaan, dan bukan malah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Mantan walikota Solo itu kemudian melempar wacana untuk mengubah istilah radikalisme dengan manipulator agama. Jokowi menyerahkannya kepada Mahfud MD selaku Menko Polhukam guna mengkoordinasikan hal ini.

Kegentingan yang dirasakan pemerintah akibat pergerakkan paham menyimpang ini memang wajar. Terlebih, akan banyaknya laporan terkait paparan paham menyimpang yang kian meluas, menjangkiti siapapapun tanpa pandang bulu. Seperti biasa usulan semacam ini menuai pro kontra, namun segala keputusan memang harus dimusyawarahkan secara baik. Apalagi Presiden Jokowi juga baru tahap mengusulkan, bukan? 
Kekaguman kepada Presiden satu ini kian bertambah, gerak cepat akan penanganan suatu masalah tak ada duanya. Bukan hanya satu dua polemik yang mampu dirampungkannya, melainkan banyak. Hanya saja tak terekspos di depan publik. Akan tetapi jejak-jejak realisasi janji memajukan bangsa Indonesia sedikit demi sedikit telah terbukti. Berkenaan dengan beragam permasalahan tindakan maupun paham radikalisme ini juga tak luput dari perhatian beliau.

Pelbagai upaya dilakukan, termasuk mengerahkan aparat gabungan TNI dan Polri guna menjaga stabilitas keamanan negara di wilayah-wilayah rawan penyebaran paham menyimpang. Presiden juga mengimbau kepada seluruh rakyat Indonesia bersatu padu guna memerangi paham radikalisme ini. Menumbuhkan sikap toleransi serta menegakkan Nusantara berdasarkan atas prinsip 4 pilar bangsa. Yaitu, Pancasila, UUD 1945, prinsip Bhineka tunggal ika serta NKRI. Pemahaman akan dasar paling fundamental ini diharapkan mampu membentengi setiap warga sehingga terhindar dari segala kemungkinan yang terjadi. Apalagi, ajaran-ajaran yang menyimpang semacam ini dinilai tak bersesuaian dengan nilai-nilai kemanusiaan.

)* Penulis adalah pengamat sosial politik