Pencemaran Udara di Kota-Kota Besar Dampak Polusi dari Transportasi dan PLTU

Polusi udara di Kota Jakarta/dokumentasi (Istimewa)

Bengkulutoday.com - Pencemaran udara telah menjadi tantangan serius bagi Jakarta maupun kota-kota besar di Indonesia tak Bengkulu, dengan masalah utama berasal dari sektor transportasi dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Fenomena ini terutama terjadi di kota-kota besar, di mana tingginya mobilitas penduduk dan kebutuhan energi listrik memunculkan dampak yang signifikan terhadap kualitas udara.

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam diskusi Publik dengan tema “Sinergitas Sektor Transportasi dan Sektor Energi untuk Mewujudkan Kualitas Udara Bersih di Kota Jakarta, dan Kota Kota Besar di Indonesia”, Kamis (16/11/23) menyebut sektor transportasi, terutama kendaraan bermotor, telah menyumbang 45% pencemaran udara di kota-kota besar. 

Dihadiri Dirjen Pengendalian Pencemaran Udara KLHK, Sigit Reliantoro, Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Ahmad Sarudin, dan unsur Pentahelix, YLKI menyoroti gas buang kendaraan mengandung berbagai zat berbahaya seperti karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), dan partikulat udara (PM). Penumpukan emisi dari kendaraan bermotor ini menyebabkan konsentrasi polutan udara melebihi batas aman, merugikan kesehatan manusia dan lingkungan.

Dalam diskusi tersebut forum melihat pencemaran udara di Kota Jakarta menjadi perhatian serius karena mengancam kesehatan dan memiliki dampak ekonomi yang signifikan, terutama pada penyakit tidak menular seperti jantung koroner, hipertensi, dan diabetes, menurut Dinkes DKI Jakarta.

Upaya pemerintah untuk mencapai kebijakan nett zero emission hingga 2060 harus sejalan dengan pengendalian pencemaran udara. Produksi emisi gas buang dari energi fosil, terutama dalam sektor hilir seperti transportasi, bisnis, dan industri, harus diatasi melalui kebijakan yang gradual dan sistematis.

"Penting untuk diingat bahwa masalah polusi udara bukanlah hal yang sepele. Studi menunjukkan bahwa kerugian sosial ekonomi akibat pencemaran udara mencapai minimal Rp 28,5 triliun per tahunnya," ujar Tulus

Tulus menyinggung bahwa pertumbuhan populasi dan urbanisasi memicu peningkatan jumlah kendaraan di jalan, yang secara langsung berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca dan pencemaran udara. Langkah-langkah konkret, seperti penggunaan transportasi umum, promosi transportasi berkelanjutan, dan penerapan teknologi ramah lingkungan di kendaraan, menjadi krusial dalam menangani masalah ini.

Demikian halnya sektor energi, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) turut sumber penting energi listrik di banyak kota besar, namun, penggunaan bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi seringkali menimbulkan emisi yang merugikan. PLTU mengeluarkan karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen dioksida (NO2), yang semuanya berkontribusi pada perubahan iklim dan pencemaran udara.

Sertifikasi proper (ramah lingkungan) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi langkah penting untuk mengatasi masalah ini. PLTU harus mematuhi standar emisi yang ketat dan menerapkan teknologi bersih untuk mengurangi dampak pencemaran udara. Selain itu, diversifikasi sumber energi, seperti penggunaan energi terbarukan, menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Untuk mengatasi pencemaran udara di kota-kota besar, YLKI memandang perlu adanya kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat. Penyediaan transportasi umum yang efisien, kampanye kesadaran lingkungan, dan investasi dalam energi bersih menjadi kunci untuk menciptakan udara bersih di lingkungan perkotaan.

Penerapan kebijakan yang mendukung transportasi ramah lingkungan, restrukturisasi PLTU menuju energi terbarukan, dan edukasi publik tentang pentingnya menjaga kualitas udara adalah langkah-langkah krusial dalam memastikan kota-kota besar memiliki udara yang sehat dan bersih untuk generasi mendatang. (Bisri)