Pembubaran Deklarasi KAMI di Surabaya Sudah Tepat

ilustrasi

Oleh : Afriyanti )*

KAMI jadi bahan pembicaraan karena nekat mengadakan deklarasi di Surabaya dan ada banyak orang yang menolaknya. Mereka menolak organisasi ini karena mengadakan acara politis dan tak sesuai dengan namanya ‘menyelamatkan Indonesia’. Acara ini melanggar protokol kesehatan karena mengundang banyak orang di ruang sempit.

Di masa pandemi ini seharusnya banyak orang prihatin dan berempati untuk menghormatinya. Namun sayang KAMI malah seenaknya sendiri mengadakan deklarasi tambahan di berbagai kota, tak peduli masih masa pandemi. Tanggal 28 september, deklarasi KAMI di Surabaya ricuh karena ada 2 unjuk rasa untuk menolak acara tersebut.

Gatot Nurmantyo sebagai anggota KAMI marah besar dan menganggap penolakan ini berasal dari para pendemo bayaran. Padahal tuduhan ini salah besar. Massa yang berunjuk rasa di Graha Jabalnur dan Gedung Juang 45 menganggap KAMI adalah organisasi bertujuan politis. Jadi mereka ditolak mentah-mentah dan dilarang menodai kedamaian di Surabaya.

Deklarasi KAMI juga sangat rawan menimbulkan klaster corona baru. Apalagi Surabaya termasuk daerah zona hitam, saking banyaknya pasien covid di sana. Seharusnya KAMI paham dan menghindari daerah rawan corona. Jika mereka memakai akal sehat, tentu akan memilih kota lain yang berzona hijau atau berdeklarasi di dunia maya.

Realitanya, mereka  datang dan mengundang banyak orang, serta mengadakan acara di dalam ruangan. Padahal dalam ruangan ber-AC berbahaya, karena virus covid-19 bisa  menyebar lewat udara yang pengap. Seharusnya sebagai tokoh yang bijak, para anggota KAMI memahaminya dan tidak memaksa mengadakan deklarasi yang beresiko tinggi bagi kesehatan peserta.

Dalam acara deklarasi, KAMI beralasan untuk silaturahmi dengan pendukungnya di Surabaya dan mengantisipasi bangkitnya neo komunisme. Tuduhan tentang PKI gaya baru di Indonesia, membuat massa menganggap mereka merusak perdamaian. Karena neo komunisme itu tidak ada dan PKI sudah bubar sejak puluhan tahun lalu.

Kepala Bidang Humas Polda Jatim Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko menyatakan, deklarasi KAMI di kota pahlawan dilakukan karena tidak mendapat izin dari pengelola gedung Juang 45. Mereka akhirnya pindah ke gedung Astranawa tapi juga tidak memperoleh izin. Sehingga acara yang dihadiri oleh 150 orang dibubarkan.

KAMI diharap evaluasi dan tidak menyalahkan Polda Jatim karena mereka hanya melakukan tugasnya. Massa yang berunjuk rasa untuk menolak deklarasi juga melakukannya dari hati. Mereka bukanlah pendemo bayaran yang diarahkan oleh kelompok lain, seperti yang dituduhkan oleh Gatot Nurmantyo.

Imam Busro, Ketua Jaringan Masyarakat Melek Politik Surabaya menyatakan bahwa Polda Jatim sangat tepat ketika membubarkan deklarasi KAMI di kota pahlawan. Selain dikhawatirkan menyebarkan corona dan menyababkan klaster baru, organsasi tersebut punya misi politis. Mereka memanfaatkan kondisi pandemi demi menarik simpati massa.

Busro melanjutkan, saat ini lebih baik KAMI bersatu dengan tim satgas melawan efek corona. Untuk misi politis dan mencalonkan diri jadi presiden, lebih baik menunggu dengan sabar hingga tahun 2024. Daerah jawa timur dan Surabaya tidak mudah diprovokasi oleh isu politik. Dalam artian, sangat wajar jika rakyat di Jatim menolak masuknya KAMI.

Waspada dengan KAMI yang selalu playing victim dan menganggap niatnya untuk berdeklarasi dibubarkan. Karena mereka hanya menyalahkan aparat dan pihak lain, padahal jelas-jelas salah karena mengadakan acara di tengah pandemi covid-19. Selain deklarasinya beraroma politis, juga dikhawatirkan jadi klaster corona baru.

Pembubaran deklarasi KAMI di Surabaya menjadi bukti bahwa organisasi ini ditolak mentah-mentah oleh masyarakat. Mereka menganggap KAMI hanya menjual isu yang sudah basi untuk menyudutkan pemerintah dan merusak perdamaian di Indonesia. Jangan mau terprovokasi oleh ocehan KAMI.

)* Penulis aktif dalam Gerakan Mahasiswa (Gema) Surabaya