Pembangunan Zona Integritas Desa, Akankah Penyalahgunaan Dana Desa Menjadi Sirna ?

Kepala Seksi Manajemen Satker dan Kepatuhan Internal KPPN Bengkulu Hasan Lutfi

BENGKULU - Beberapa waktu terakhir ini, berita terkait penyalahgunaan dana desa yang dilakukan oleh kepala desa dan aparat  desa di Provinsi Bengkulu selalu menghiasi pemberitaan di berbagai media. Pengelolaan dana desa yang sejatinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan warga desa digunakan tidak pada tempatnya sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian negara yang cukup besar.

Sebagai contoh, penyalahgunaan dana desa tahun 2021 di salah satu desa di Kabupaten Mukomuko menyebabkan kerugian negara sebesar Rp327 juta yang berasal dari pekerjaan fiktif dan gaji perangkat desa yang tidak dibayar. Sementara penyalahgunaan dana desa yang terjadi di satu desa di Kabupaten Bengkulu Utara menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 413 juta dimana uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi. 

Kedua peristiwa tersebut seolah menyiratkan bahwa pengelolaan dana desa dapat menjadi sumber korupsi bagi aparat pemerintahan desa. Boleh jadi hal yang sama juga terjadi di daerah lain atau di Provinsi lain di Indonesia. Dan ternyata berdasarkan pemetaan Kasus Korupsi pada Lembaga yang dilansir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Buku Panduan Desa Anti Korupsi, pada Semester I Tahun 2021, Korupsi yang tertinggi banyak terjadi di Pemerintahan Desa.

Peneliti dari Divisi Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha dalam diskusi media Outlook Dana Desa 2018 pada Februari 2018  mensinyalir beberapa penyebab maraknya korupsi Dana Desa tersebut diantaranya karena minimnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan anggaran desa, tidak optimalnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD), terbatasnya kompetensi kepala desa dan perangkat desa, serta tingginya biaya politik pemilihan kepala desa. Sedangkan modus yang digunakan menurut Egi bervariasi mulai dari praktik penyalahgunaan anggaran, penggelapan, laporan fiktif, proyek fiktif dan penggelembungan anggaran.

Untuk itu diperlukan upaya yang bersifat preventif untuk mengatasi timbulnya permasalahan seperti itu di masa depan. Tulisan ini menguraikan inisiasi Pembangunan Zona Integritas Desa (ZiDes) yang digagas oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Bengkulu beserta tantangan yang dihadapinya.  Semoga gagasan tersebut dapat  memberikan alternatif solusi terhadap permasalahan penyalahgunaan dana desa selama ini.

Pengelolaan Dana Desa

Dalam pengelolaan dana desa sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 190/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Desa, Kantor Pelayanan Perbedaharaan Negara (KPPN) Bengkulu sebagai salah satu unit vertikal yang berada di bawah Kanwil DJPb Provinsi Bengkulu secara ex officio ditetapkan sebaga Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa. 

Sebagai KPA Penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa, KPPN mempunyai peran strategis dalam mendorong terealisasinya DAK Fisik dan Dana Desa yaitu antara lain dengan memastikan akuntabilitas penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa, melaksanakan penyaluran DAK Fisik dan Dana Desa tepat waktu, menyusun analisa realisasi penyaluran, penyerapan dana dan capaian output, menyusun proyeksi dan kinerja penyaluran dan membuat laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran DAK Fisik dan Dana Desa.

Apabila terjadi permasalahan desa berupa kepala desa dan atau perangkat desa melakukan penyalahgunaan Dana Desa dan ditetapkan sebagai tersangka, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran Dana Desa nonBLT Desa tahun anggaran berjalan dan/ atau tahun anggaran berikutnya.

Bupati/wali kota melakukan pemantauan atas proses perkara hukum penyalahgunaan Dana Desa yang melibatkan kepala desa dan/ atau perangkat desa, apabila kepala desa dan/atau perangkat desa telah ditetapkan sebagai tersangka, bupati/wali kota menyampaikan surat permohonan penghentian penyaluran Dana Desa kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 

Penghentian penyaluran Dana nonBLT Desa berdasarkan surat permohonan dari bupati/wali kota itu dilakukan mulai penyaluran Dana Desa nonBLT Desa tahap berikutnya setelah surat dimaksud diterima. Dalam hal surat permohonan dari bupati/wali kota tersebut diterima setelah Dana Desa tahap III atau Dana Desa tahap II untuk Desa berstatus Desa mandiri tahun anggaran berjalan disalurkan, penyaluran Dana Desa nonBLT Desa untuk tahun anggaran 2023 dihentikan. Dana Desa nonBLT Desa yang dihentikan penyalurannya tersebut tidak dapat disalurkan kembali ke RKD. 

Desa yang dihentikan penyaluran Dana Desa itu, berhak mendapatkan penyaluran Dana Desa pada tahun anggaran berikutnya setelah periode penghentian penyaluran Dana Desa tahun berjalan. Kecuali bila Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima surat permohonan pencabutan penghentian penyaluran Dana Desa dari bupati/wali kota paling lambat tanggal 15 Juni tahun anggaran berjalan.

Surat permohonan pencabutan penghentian penyaluran Dana Desa tersebut diterbitkan setelah terdapat pencabutan status hukum tersangka, pemulihan status hukum tersangka, dan/ atau putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun apabila surat permohonan itu diterima setelah tanggal 15 Juni tahun anggaran berjalan, Dana Desa disalurkan untuk tahun anggaran berikutnya sepanjang Dana Desa untuk desa tersebut telah dialokasikan. 

Dengan demikian, terjadinya penyalahgunaan dana desa yang dilakukan oleh kepala desa dan atau aparat desa menimbulkan potensi dana desa tersebut tidak dapat disalurkan, dan tentu saja hal tersebut berdampak pada terhambatnya pembangunan desa tersebut.

Penerapan Zona Integritas Desa (ZIDes)

Berangkat dari kekhawatiran tidak tersalurkannya dana desa akibat kasus hukum penyalahgunaan dana desa yang melibatkan kepala desa dan atau aparat desa tersebut, dan sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah desa untuk menyempurnakan tata kelola keuangan desa melalui pembangunan Zona Integritas (ZI), serta untuk memupuk kesadaran anti korupsi dan anti gratifikasi bagi pemerintah dan masyarakat desa atas pengelolaan keuangan dan pelayanan desa, maka Kanwil DJPb Provinsi Bengkulu menginisiasi pembangunan ZIDes pada beberapa desa terpilih (piloting) di Provinsi Bengkulu.

Sampai dengan akhir Agustus 2022, terdapat 12 desa piloting yang telah melaksakan Pencanangan Pembangunan ZIDes yaitu Desa Lubuk Sanai dan Desa Ujung Pandang (Kabupaten Mukomuko), Desa Marga Sakti, Desa Air Semanak (Kabupaten Bengkulu Utara), Desa Margo Mulyo, Desa Srikaton (Kabupaten Bengkulu Tengah), Desa Suban Ayam (Kabupaten Rejang Lebong), Desa Air Kopras (Kabupaten Lebong), Desa Muara Tetap (Kabupaten Kaur), Desa Nanti Agung (Kabupaten Bengkulu Selatan), Desa Meranti Jaya (Kabupaten Kepahiang) dan Desa Tangga Batu (Kabupaten Seluma). 

Dengan memodifikasi Peraturan Menpan RB Nomor 90 Tahun 2021 tentang Pembangunan dan Evaluasi Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Dan Melayani Di Instansi Pemerintah dan merujuk kepada Buku Panduan Desa Anti Korupsi yang dikeluarkan oleh KPK, maka metode yang digunakan untuk mengukur penerapan ZIDes tersebut dengan menggunakan 4 Komponen Pengungkit dengan 11 Kegiatan. 

Ke-empat komponen tersebut adalah: (1) manajemen perubahan dimana kegiatan berfokus pada adanya pembentukan tim kerja pembangunan ZIDes, penyusunan rencana kerja pembangunan ZIDes, penandatangan pakta integritas desa dan pencanangan ZIDes. (2) manajemen tata laksana dengan tiga kegiatan yakni penyusunan SOP/alur layanan yang jelas dan transparan, transparansi biaya layanan dan keterbukaan informasi publik. (3) penguatan pengawasan berupa pembentukan sarana pengaduan desa dan kampanye anti korupsi dan anti gratifikasi. Dan komponen keempat adalah peningkatan layanan kualitas publik berupa pelaksanaan survey kepuasan pengguna layanan desa dan inovasi desa.

Bagaimana pun bentuk metode pengukuran yang digunakan, kehadiran pembangunan ZIDes tersebut diharapkan berdampak dalam meningkatkan kualitas integritas aparatur desa dalam meningkatkan pemberian layanan kepada warga masyarakatnya.

Tantangan dan Peluang

Pembangunan ZIDes sebagai sebuah gagasan, inisiatif atau kebijakan jelas menghadapi berbagai tantangan dan peluang dalam implementasinya.  Menurut George C. Edward III , ada empat variabel yang mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan, yakni: (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi dan (4) birokrasi. 

Faktor komunikasi berpengaruh dalam menciptakan pengertian dan pemahaman yang sama bagi pelaku kebijakan, yang kemudian berpengaruh pada sikap, tindakan ataupun perilaku. Faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran, sehingga dengan demikian penyebaran isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan mempengaruhi implementasi kebijakan. 

Deklarasi ZIDes harus dikomunikasikan oleh pimpinan dan seluruh aparatur desa kepada segenap warga di desa tersebut sehingga mereka memahami maksud dan tujuan penerapan ZIDes tersebut sehingga diharapkan mereka dengan penuh kesadaran akan berkomitmen menerapkan ZI di wilayahnya sehingga dalam memberikan pelayanan kepada warga desa menjadi lebih mudah, jelas dan dengan tetap menjaga integritas.

Faktor sumber daya menurut Edward III meliputi staf atau pegawai (street-level bureaucrats), fasilitas, informasi dan wewenang. 

Adanya staf yang tidak memadai atau mencukupi dan staf yang tidak kompeten di bidangnya atau sebaliknya staf yang kompeten dan memadai tapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tidak akan berhasil. 

Menurut KPK, ada 3 kompetensi yang harus dimiliki oleh aparatur pemerintah desa yaitu: (1) kemampuan dasar (meliputi pengetahuan tentang regulasi desa, pengetahuan tentang dasar-dasar pemerintahan desa dan pengetahuan tentang tugas pokok dan fungsi), (2) kemampuan manajemen (meliputi pemahaman tentang manajemen sumber daya publik, manajemen aset dan manajemen keuangan) dan (3) kemampuan teknis (meliputi kemampuan teknis, administrasi desa, penyusunan anggaran, penyusunan peraturan desa dan bagaimana melakukan pelayanan publik).

Bila melihat kompetensi yang dibutuhkan seperti itu jelas membutuhkan kerja keras dari Kementerian Dalam Negeri untuk meningkatkan kompetensi kemampuan dasar dan kemampuan teknis sumber daya manusia (SDM) aparatur desa. Berdasarkan penelitian Marsidi, kualitas SDM aparatur desa terbilang cukup rendah. Terlihat dengan masih benyaknya aparat pemerintah yang hanya tamatan SMA dan hal tersebut membuat kepala desa selalu memotivasi aparatnya agar melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi, ada beberapa yang sudah sarjana tapi bukan lulusan Ilmu Sosial dan Politik sehingga mempengaruhi tingkat keterampilan (skill) aparatur yang relatif rendah atau masih banyak aparat yang belum bisa mengoperasikan teknologi komputer.

Dari sisi kemampuan manajemen, -Kanwil DJPb Provinsi Bengkulu selaku Sekretariat Perwakilan Kemenkeu Provinsi Bengkulu- akan bersinergi dengan unit vertikal Kemenkeu di Bengkulu untuk memberikan pendampingan kepada Pemerintah Desa antara lain pemberian sosialisasi perpajakan Desa serta BUMDes berorientasi ekspor. Kegiatan lain dengan melibatkan institusi lain di luar Kemenkeu seperti BPKP (terkait SISKEUDES) serta APIP dan APH untuk memberikan gambaran kepada Perangkat Desa mengenai pengelolaan Keuangan Desa yang taat hukum

Faktor sumber daya berikutnya yang perlu diperhatikan adalah informasi, dimana informasi tersebut mempunyai dua bentuk yakni berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan dan kepatuhan pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Butir-butir yang terdapat dalam metode pengukuran ZIDes selain harus disosialisasikan dan di familiarisasikan juga perlu selalu dilakukan monitoring dan evaluasi (monev) secara berkala agar memastikan bahwa komitmen pembangunan ZIDes tersebut memang telah dijalankan.

Dalam dunia birokrasi dikenal istilah Hukum Inertia, dimana setiap benda cenderung mempertahankan posisinya. Benda bergerak cenderung untuk terus bergerak, benda diam cenderung untuk tetap diam. Jadi orang yang diam cenderung ingin tetap diam dan orang yang bergerak cenderung tetap bergerak. Prinsipnya, saat seseorang tidak mau mengubah pendiriannya cobalah untuk mengubah sesuatu yang bisa kita lakukan. Bila hukum inertia bisa dipahami akan membantu pencapain target yang dicita-citakan, sebaliknya bila tidak dipahami akan mengaburkan cita-cita. 

Kegiatan sosialisasi dan monev perlu dilakukan untuk memastikan agar cita-cita Pembangunan ZIDes benar-benar dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Kedua pihak harus sama-sama bergerak menuju satu tujuan yang sama. Sehingga jangan sampai gagasan Pembangunan ZIDes yang ‘digerakkan’ oleh Kanwil DJPb Provinsi Bengkulu, ditanggapi dengan ‘diam’ oleh segenap aparatur desa.

Berikutnya terkait kewenangan, memang harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Pembagian tugas harus dilaksanakan berdasarkan Standar Operating Procedure (SOP) yang jelas agar semua pihak memahami tugas dan fungsinya. 

Seperti halnya instansi pemerintah yang lain, maka pemerintah desa sebagai instansi penyelenggara layanan masyarakat desa dan wajib berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Pemerintah desa juga wajib menyusun dan menetapkan standar pelayanan, membuat maklumat pelayanan, menempatkan petugas/pelaksana layanan yang berkompeten, menyediakan sarana prasarana dan/atau fasilitas pelayanan publik, membantu masyarakat memahami hak dan tanggung jawabnya sebagai pengguna layanan yang berkualitas sesuai asas penyelenggaraan pelayanan publik.

Dalam praktiknya masih ditemukan beberapa permasalahan antara lain belum utuhnya pemahaman penyelenggara layanan di desa terhadap regulasi yang ada, merasa superior karena menjadi pejabat di desa pelaksanaan kewenangan tidak mempertimbangkan asas-asas penyelenggaraan layanan publik dan tidak dilakukan pengadministrasian yang baik dalam proses pelayanan. Dengan pembangunan ZIDes diharapkan agar aparat desa dapat memperbaiki layanannya menjadi lebih baik dengan mengedepankan nilai-nilai integritas. 

Tantangan berikutnya adalah faktor disposisi atau sikap pelaksana yang berkaitan dengan komitmen dan kepatuhan para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan. Kemauan dan kemampuan dari seluruh perangkat desa untuk mematuhi butir-butir pengukuran dalam pembangunan ZIDes tersebut adalah merupakan tantangan tersendiri karena perangkat desa memerlukan role model dari pimpinan untuk memastikan dipatuhinya nilai-nilai ZI tersebut. 

Bila diibaratkan dalam mengendarai kendaraan, Kepala Desa dan perangkat desa adalah drivers, dan warga masyarakat merupakan passengers.  Pemimpin yang baik adalah seorang good drivers. Passengers hanya mengikuti kemana drivers mengarahkannya. Keberhasilan penerapan ZIDes tergantung pada komitmen antara drivers dan passengers untuk bersama-sama meraih tujuan yang sama yang menjadi wilayah yang bebas dari korupsi.

Sebagai drivers pasti berhadapan dengan risiko-risiko. Meraka harus bersedia membayar biaya berupa pengorbanan, kesulitan, kerja keras . Biaya itu juga dapat berupa tenaga, waktu dan emosi namun berani mencoba dan bersedia (menjalani) kendati hasilnya belum jelas. Dan seharusnya keberhasilan mereka (dalam membangun ZIDes) diapresiasi dalam bentuk ‘return’ atau ‘payback’ beserta keuntungan-keuntungan yang akan mereka peroleh.

Masalahnya saat ini pun, kinerja aparatur desa belum berjalan maksimal disebabkan niat kerja para aparat desa tidak berjalan dengan baik. Tidak adanya reward menjadikan aparat desa tidak memiliki inisiatif dan kompetisi dalam memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat. Apalagi bila mereka juga dihadapkan dengan kenyataan tidak ada reward khusus yang akan diberikan dalam pembangunan ZIDes di desanya sehingga diperlukan komitmen yang cukup kuat agar mereka dapat tetap menjaga integritasnya demi untuk memastikan agar kesinambungan dana desa dapat tetap tersalurkan.

Tantangan terakhir adalah faktor struktur birokrasi yakni berkenaan dengan pembagian kerja, wewenang dan tanggung jawab. Gagasan pembangunan ZiDes di Provinsi Bengkulu dengan menggunakan pendekatan dari bawah ke atas melalui piloting di beberapa desa di Provinsi Bengkulu dapat dimaknai bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, dapat dianggap menjadi gagasan yang kurang ideal apabila hal tersebut tidak didukung oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) atau bahkan oleh pemerintah daerah itu sendiri. Pembangunan ZIDes yang dilakukan pemerintahan desa seolah menjadi sia-sia manakala pemerintah daerah itu sendiri belum menerapkan pembangunan ZI di daerahnya sehingga desa tidak mempunyai contoh nyata implementasi ZI tersebut di lapangan.

Sebaliknya di sisi lain, apabila penerapan piloting ZIDes berhasil dilaksanakan bukan tidak mungkin akan membuka mata pemerintah daerah akan pentingnya penerapan ZI di wilayah kerjanya sehingga diharapkan akan dapat menular dan mewarnai Pembangunan ZI di wilayah pemerintahan daerah di Provinsi Bengkulu. Pada gilirannya nanti, kita berharap tidak lagi menemukan berita terkait korupsi penyalahgunaan dana desa di Provinsi Bengkulu.