Pejabat Menjadi Pembina di Media

Kamsul Hasan

Ini ada pertanyaan, bagaimana posisi hukum pejabat yang menjadi pembina sebuah media bila terjadi sengketa atas pemberitaan ?

Sebelum membahas posisi hukum pejabat yang menjadi pembina, sebaiknya kita pahami dulu hukum yang mengaturnya.

Undang undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dengan tegas mengatur media yang disebut pers dan lainnya bukan pers.

Perusahaan pers harus memenuhi Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2 dan Pasal 9 ayat (2) UU Pers. Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi, harus.

Pasal di atas sudah pernah diuji materi di Mahkota Konstitusi tahun 2018. Putusannya menolak uji materi, jadi pasal di atas tetap berlaku.

Bila medianya berbadan hukum pers, sesuai Pasal 12 UU Pers yang bertanggung jawab baik keluar dan kedalam adalah penanggung jawab.

Penanggung jawab bukan hanya bertanggung jawab soal berita tetapi juga soal usaha. UU No 40 tahun 1999 tentang Pers ini tak mengenal pemimpin redaksi seperti UU Pers sebelumnya.

Jadi, apabila medianya berbadan hukum pers, tanggung jawab sepenuhnya pada penanggung jawab, pembina atau lainnya tidak bertanggung jawab secara hukum.

Nah, bagaimana bila media itu tidak memenuhi persyaratan yang diatur Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2 dan Pasal 9 ayat (2) UU No 40 tahun 1999 tentang Pers ?

Sistem pertanggungjawaban secara hukum juga berubah. UU Pers gunakan sistem pertanggungjawaban fiktif. UU lain pada umumnya gunakan air terjun.

Nah, di sini, pejabat atau kepala daerah yang menjadi pembina pada media non pers dapat terseret persoalan hukum, baik secara pidana maupun perdata.

Meski belum tentu nantinya bersalah, namun karena secara struktural namanya ada dalam susunan pengelola, bila turut dilaporkan akan dimintai keterangan.

Lebih seru bila sengketa pemberitaan media non pers ini terkait kekuasaan atau Pemilukada yang biasanya menggunakan berbagai cara untuk menang.

(Catatan Kamsul Hasan, ahli pers dan pengurus PWI pusat)