Opini: Keadilan dalam Sistem Demokrasi Hanya Ilusi

Nisa Andini Putri

Oleh: Nisa Andini Putri (Mahasiswi Bengkulu)

Jaksa menuntut dua penyerang Novel Baswedan dengan hukuman pidana selama satu tahun penjara. Apa alasan jaksa memberikan tuntutan yang dinilai ringan? Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Gambir Jakarta Pusat, jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel. Namun banyak pihak yang menyayangkan atas tuntutan pidana yang hanya satu tahun penjara bagi pelaku. Bahkan banyak pengamat yang menilai bahwa tuntutan satu tahun penjara syarat dengan kepentingan tertentu.

Dikutip dari vivanews, (14/6/2020), Pengamat politik Rocky Gerung mengibaratkan air keras yang digunakan pelaku saat menyiramkan ke mata penyidik KPK Novel Baswedan adalah air keras kekuasaan. Untuk itu, ia meminta agar mata publik tidak buta dengan proses peradilannya. Apa lagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan justru menuntut hukuman pidana penjara hanya satu tahun kepada kedua terdakwa. Hal ini disampaikan oleh Rocky Gerung pasca menyambangi kediaman Novel Baswedan bersama sejumlah tokoh lainnya di Jalan Deposito T8, RT 03/10, Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Minggu, 14 Juni 2020.

Rocky menilai tuntutan satu tahun oleh JPU dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap terdakwa pelaku merupakan tuntutan yang irasional. Untuk itu, pihaknya menggalang gerakan dengan menamai sebagai 'New KPK' untuk menghalangi mata publik dibutakan oleh air keras kekuasaan.   

Peradilan terhadap Novel Baswedan sangat irasional dengan putusan yang tidak proporsional sehingga ahli dibidang hukum yang memahami sebuah peradilan, sangat kecewa dengan tuntutan satu tahun atas pelaku yang mengakibatkan korban yang juga sebagai pejabat Negara tersebut cacat semur hidup.   

Dari kasus ini tampak betapa hukum di Negeri ini tidak memiliki ruang kekuasaan khusus yang mampu berdiri secara independen. Proses peradilan masih dibayang-bayangi oleh kepentingan dan kekuasaan. Pemegang palu hukum belum mampu mengetuk dengan suara keadilan yang sejatinya lahir dari rahim dan nurani keadilan itu sendiri.   

Demokrasi yang dijunjung tinggi ini ternyata bukan tempat yang pas mencari nilai-nilai keadilan. Semua hanya ilusi sehingga menunjukkan kegagalan rezim memberantas korupsi secara tuntas demi mewujudkan keadilan. Menurut Luthfi Afandi SH (2006:9-13), pakar Hukum dari UNPAD Bandung, menyatakan setidaknya penyebab kerusakan hukum (di Indonesia) ada 4 (empat) faktor: Landasan hukum Indonesia bermasalah secara fundamental, karena merupakan produk dari peradilan barat yang sekular, dan mengesampingkan nilai spiritual. 

Bermasalah dari aspek materi dan sanksi hukum, yakni:

(1) Materi dan sanksi hukum tidak lengkap.

(2) Sanksi hukum tidak menimbulkan efek jera, justru sebaliknya: para kriminal semakin merasa ‘berprestasi’ ketika keluar-masuk penjara.

(3) Hukum hanya mementingkan ‘kepastian hukum’ dan mengabaikan keadilan, contoh: UU Terorisme selalu mengabaikan keadilan dan praduga tak bersalah, lihatlah bagaimana para Kiyai dan Ustadz selalu dituduh melakukan teror atas nama agama, namun mengapa jika para koruptor dibiarkan bebas, padahal koruptor adalah teroris kapitalisme yang sebenarnya!.

(4) Hukum tidak mengikuti perkembangan zaman, konsekuensinya hukum akan terus berubah sesuai dengan kepentingan dan syahwat bejat demokrasi neo liberal, yang pada ujungnya akan jadi lahan bisnis, sebagaimana perubahan kurikulum pendidikan yang non-oriented.

Bermasalah dari aspek Sistem Peradilan itu sendiri, yakni: Peradilan yang berjenjang, yang menyebabkan naik banding, dengan sistem seperti ini, orang yang bersalah bisa saja lolos dari hukum karena naik banding, hal ini memang banyak dilakukan para koruptor.

Pembuktian yang tidak meyakinkan.
Tidak ada persamaan di depan hukum.
Penyimpangan aparat (baca: oknum) penegak hukum.
Berdasarkan hal-hal tersebut, demokrasi tidak layak disebut Negara hukum, karena menjadikan hukum barang jualan. Pertanyaannya jika bukan demokrasi, lalu sistem apa yang adil?
    Islam telah turun ke bumi dengan seperangkat aturan yang jelas dan bisa diterapkan pada semua manusia dibumi. Terlebih dalam konsep hukum, sistem Islam memiliki sistem peradilan yang unik, unggul dan efektif dalam praktik. Menurut pengkajian sistem pidana Islam yang diterapkan oleh daulah Islam yakni Khilafah, memiliki keunggulan sebagai berikut:

  1. Landasan hukum berasal dari Allah SWT. Sehingga hukum yang diterapkan pasti sempurna dan tiada kekurangan. (Lihat: Al-Maiadah: 3)
  2. Sistem pidana Islam bersifat tetap dan tidak berubah hanya karena tempat dan waktu, sehingga kebenarannya akan objektif. (Al-Maidah: 50).
  3. Sanksi hukum mengandung efek jera (zawajir), misal hukum mati, sekiranya hukum mati diterapkan bagi pelanggar berat,misalkan; Koruptor atau Pengedar Narkoba, dsb.  Tentu Indonesia akan bebas dari koruptor dan kemaksiyatan lainnya, karena efek jera tersebut. Sanksi hukum juga berdimensi akhirat, sebagai penebus dosa (jawabir), sehingga para pelaku kejahatan akan rela dihukum, demi menghindari azab neraka atau agar dosa-dosanya diampuni diakhirat. (HR. Al-Bukhari, No. 17)
  4. Dalam sistem pidana Islam, peluang manipulasi dan mafia peradilan akan bisa ditekan; karena Rasulullah SAW bersabda (artinya): “Seorang Hakim, jika menerima hadiah, dia berarti telah memakan yang haram, dan jika menerima suap, berarti dia telah terjatuh dalam kekufuran”. (HR. An-Nasa’i)
  5. Dalam Islam seorang hakim atau qadhi memiliki independensi tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tidak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syariat. (Zallum, 2002:193)
  6. Hukum pembuktian dalam Islam sangat ketat, misal untuk pembuktian zina membutuhkan empat orang saksi dan mereka harus melihat praktik tersebut secara nyata, namun jika mereka (para saksi) tidak sanggup mendatangkan bukti atau keterangan, maka mereka sendiri akan kena hukum oleh hakim. Jika ketatnya saksi dan bukti ini diterapkan maka, praktik manipulasi maupun pemalsuan barang bukti dan keterangan saksi akan sangat minim.
  7. Dalam struktur Daulaha Islam terdapat lembaga Mazhalim, yang bertugas memberhentikan (kepala negara), jika melakukan penyimpangan diluar ketentuan syariah. Jadi, berdasarkan hal tersebut sangat jelas, bahwa sistem Islam adalah Negara Hukum. Islam telah hadir dengan seperangkat aturan dari Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan untuk memberi keadilan dan kemaslahatan bagi umat manusia.

Islam juga memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan keadilan pada setiap tindakkan perbuatan yang dilakukan. 

Allah Swt berfirman : “Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan ( menyuruh kamu ) apa bila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. (QS.an-Nisaa (4):58).

Begitu pentingnya berlaku adil atau menegakkan keadilan, sehingga Allah SWT memperingatkan kepada orang-orang yang beriman agar jangan karena kebencian terhadap suatu kaum sehingga mempengaruhi dalam berbuat adil.

Sebagaimana Allah Swt berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang- orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepaa takwa. Dan takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. ( QS al-Maidah (5): 8).
Dari sini sudah jelas hanya Islam lah hukum terbaik bagi manusia, karena lahir dari sang Pemilik alam jagad raya. Hanya lslam yang mampu memberikan keadilan bagi seluruh alam. Bukan hukum buatan manusia yang syarat dengan kepentingan individu dan hanya membawa kesengsaraan bagi pengusungnya. Wallahu A’lam.[]