Omnibus Law Penyelamat Hak Buruh Indonesia

Ilustrasi

Hingga saat ini masih saja terdengar kabar bahwa Omnibus Law itu akan menghapus pasal pidana bagi perusahaan yang melanggar hak pekerja? Bahkan, ada banyak isu hoaks yang menyatakan bahwa Omnibus Law menggunakan basis hukum administratif, sehingga para pengusaha atau pihak lain yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda. Apa benar demikian? 

Menurut, Peneliti Akuntansi Forensik LPPM Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Bambang Arianto, MA, M.Ak, menilai “ bahwa pasal pidana bagi perusahaan yang melanggar hak pekerja akan tetap berlaku seperti sedia kala. Sebab mana mungkin pasal-pasal krusial terutama yang bisa mempidanakan para pengusaha itu dihapus dan digantikan dengan sanksi berupa upah. Inikan tidak masuk akal. Coba kita pakai logika saja, mana ada pasal pidana yang merugikan hak orang lain apalagi ini hak pekerja harus dihapus.

“Justru beberapa kebijakan baru yang ada dalam Omnibus Law Cipta Kerja semakin memperkuat Undang-Undang ini sebagai penyelamat para buruh di Indonesia. Menyelamatkan bagaimana?”

“Dalam beberapa pasal dijelaskan bahwa, setiap pekerja baik tetap maupun kontrak akan tetap diberikan hak nya masing-masing bila suatu saat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan, dalam proses pemutusan hubungan kerja ini malah pihak perusahaan tidak boleh langsung semena-mena merumahkan pekerja tanpa ada keputusan pengadilan yang kuat.”

“Artinya, dalam proses tersebut maka para pekerja harus tetap diberikan hak nya masing-masing. Dengan kata lain, apabila dalam proses sengketa perusahaan tidak bisa memberikan hak kepada pekerja, maka secara otomatis perusahaan tersebut bisa di pidanakan karena telah melanggar regulasi yang ada dalam Omnibus Law” 

Inilah salah satu contoh konkret dari Omnibus Law, yang saya sebut sebagai penyelamat para buruh di Indonesia. Bahkan bila ditelusuri satu persatu akan banyak lagi pasal-pasal yang sangat menguntungkan para pekerja terutama buruh Indonesia. 

Selanjutnya, Bambang menilai “hal yang sama juga bisa ditemui ketika pengusaha tidak memberikan cuti hamil, haid hingga cuti pernikahaan bagi pekerja perempuan. Maka secara tidak langsung pengusaha ini tentu bisa dipidanakan. Aturan ini jelas tertulis dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 yang kemudian akan tetap dipergunakan dalam Omnibus Law”.

“Meski beberapa pasal-pasal tersebut tidak tertera dalam Omnibus Law, bukan berarti pasal tersebut dihapuskan. Sebab, pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan tidak akan dicantumkan kembali dalam Omnibus Law”.

“Perlu dingat bersama bahwa Omnibus Law itu bukan untuk membentuk regulasi baru, tapi intinya lebih kepada menyatukan berbagai undang-undang baik tenaga kerja, UMKM dan perpajakan menjadi sebuah regulasi yang sederhana dan efektif. Dengan penyatuan dan penyederhaan ini tentulah ada beberapa pasal-pasal yang selama ini tetap digunakan tentu tidak di cantumkan lagi dalam Omnibus Law”.

“Oke, sekarang kalian mengertikan bahwa Omnibus Law itu sebagai penyelamat para buruh Indonesia dan bukan sebaliknya. Bahkan dalam pasal-pasal soal pidana sudah sangat jelas disebutkan bahwa pihak perusahaan tidak akan bisa seenaknya merebut hak pekerja. Artinya pasal-pasal pidana tetap akan berlaku seperti UU sebelumnya”.

“Melihat fakta tersebut sudah saatnya bila kita bersama megatakan bahwa, Omnibus Law lahir sebagai jaring pengaman pekerja sekaligus penyelamat hak para pekerja Indonesia”, Jelas, peneliti Akuntansi Forensik yang juga konsen meneliti media sosial ini. 

Bambang Arianto, MA, Peneliti LPPM Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta / NO WA 082133354400