Omnibus Law Dibuat untuk Kepentingan Siapa ?

Insyan Saputra Siahaan

Omnibus Law menjadi isu yang saat ini sedang ramai diperbincangkan di Indonesia. Perdebatan yang berfokus kepada bagian formil maupun materil terus-menerus bergulir diantara ahli hukum dan tokoh-tokoh akademisi yang ada.

Draft Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (RUU CipKer) menjadi yang pertama kali dibahas dan langsung menuai perdebatan yang menciptakan pro dan kontra diberbagai lapisan di Indonesia. Menurut Duhaime Legal Dictionary arti dari Omnibus Law adalah ”semua” atau “untuk semua”.

Menelusuri sejarah dari Omnibus Law di seluruh bagian dunia akan dapat disimpulkan bahwa Omnibus Law ini sebenarnya bermula pada negara dengan sistem hukum Anglo-saxon atau Common Law System. Hal ini tidak mudah bagi Indonesia akan sebuah konsep baru yang tidak dikerangkakan dalam suatu sistem hukum untuk didifusikan ke dalam suatu sistem hukum itu sendiri. Jika kita mengingat kembali sejarah dari Indonesia dimana negara Indonesia adalah negara bekas jajahan Belanda sehingga Indonesia menganut sistem hukum yang dibawa oleh negara Belanda, yakni Civil Law System. Berarti juga bahwa Indonesia jelas lebih condong terhadap sistem hukum yang dianut oleh negara Eropa kontinental, bukan Common Law System. Hal ini sudah menjadi ketentuan yang dikehendaki oleh konstitusi sebagaimana mestinya bahwa sistem hukum kita adalah sistem hukum tertulis dan menghendaki adanya hierarki peraturan berjenjang (Stufenbau Theory). Namun, yang perlu kita ilhami bersama bahwa dewasa ini semakin terdapat konvergensi antara dua sistem hukum terbesar tersebut, termasuk salah satunya dalam metode pembuatan peraturan perundang-undangan.
Perbedaan yang mendasar di antara civil law dan common law yang menjadi pertimbangan diberlakukannya Omnibus Law adalah sebagai berikut:
     
Pertama, negara yang menganut Civil Law System lebih mengutamakan adanya kodifikasi hukum agar ketentuan hukum tersebut dapat berlaku secara efektif sebagaimana yang diharapkan dari politik hukum yang ingin diwujudkan. Berbeda halnya dengan Common Law System yang menempatkan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang utama sehingga tidak menempatkan kodifikasi hukum sebagai prioritas dalam konsiderans putusan yang akan dikeluarkan terhadap suatu perkara (judge made law)  sehingga jelas bahwa sebuah kodifikasi hukum atau sebuah hukum tertulis adalah sesuatu yang sangat vital kedudukannya di negara penganut Civil Law System karena apa yang tertulis menjadi penentu arah hakim dalam menentukan putusannya, dalam kata lain hakim sangat terikat dengan kodifikasi hukum yang ada, hukum yang tertulis, serta hukum yang diundangkan secara resmi oleh negara. Berbeda halnya dengan Common Law System yang sebagaimana sumber hukum yang utama adalah putusan hakim terdahulu bukan ketentuan-ketentuan yang ada dalam sebuah kodifikasi hukum di negara tersebut.
     
Kedua, hakim di negara Civil Law System tidak terikat dengan preseden yang artinya amar
putusan hakim tidak dibatasi oleh putusan hakim terdahulu yang telah menangani duduk perkara yang sama. Hakim Civil Law memang tidak terikat dengan preseden/stare decicis, namun terikat pada peraturan perundang-undangan tertulis yang diberlakukan di negara tersebut sehingga ketika hakim menangani suatu perkara haruslah selalu mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, setelah itu barulah hakim mencari hukumnya yang tidak ditemukan dalam undang-undang dan dapat menggunakan yurisprudensi. Perlu ditegaskan lagi bahwa di negara Civil Law, hakim tidak terikat pada yurisprudensi dan sifatnya hanya membantu hakim dalam menentukan putusannya. Ini pula yang menjadi pembeda dalam Omnibus Law di negara-negara Common Law yang dirumuskan hanyalah hal-hal teknis semata karena nantinya proses penciptaan hukum berada di tangan hakim.
Kilas Omnibus Law Versi Jokowi Dalam pidato yang disampaikan setelah pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2019-2024 pada Sidang Paripurna MPR RI 20 Oktober 2019 lalu, Presiden Joko Widodo menyinggung mengenai rencana penerapan Omnibus Law yang bertujuan untuk menyederhanakan permasalahan regulasi terkait invetasi di Indonesia yang berbelit dan saling tumpang tindih. Omnibus Law versi Jokowi kali ini akan berbentuk undang-undang yang di dalamnya mengatur berbagai macam hal dan kemudian digabungkan dengan tujuan untuk menghapuskan ketentuan yang telah ada sebelumnya. Terlepas dari berbagai pandangan yang ada, dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam Omnibus Law diatur berbagai macam substansi yang berbeda dan pembentukan Omnibus Law bertujuan untuk simplifikasi berbagai regulasi yang ada. Bila dilihat secara kasat mata, tentu Omnibus Law ini memudahkan pemerintah untuk menciptakan suatu peraturan yang dapat mencakup berbagai bidang kehidupan di dalam satu buah produk hukum.

Gagasan Omnibus Law tersebut langsung mendapatkan polemik di tengah masyarakat karena di dalam penyusunan RUU Cipker, landasan sosiologis terkesan dibuat-buat dan tidak menggambarkan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Bahkan dapat disebut bahwa dalam pembentukan RUU Cipker ini kemungkinan besar terdapat perbedaan paradigma yaitu paradigma demi orang banyak atau demi kepentingan negara.

Paradigma demi orang banyak lebih mengutamakan hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat sedangkan paradigma pemerintah dalam pembentukan RUU Cipker ini lebih kepada terciptanya pertumbuhan ekonomi yang cepat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pernyataan pemerintah yang menyebut bahwa RUU Cipker merupakan salah satu sarana menyederhanakan dan mengharmonisasikan regulasi yang bertujuan memberikan kemudahan investasi di Indonesia dengan harapan dapat memberikan dampak positif pada meningkatnya investasi. Apabila dilihat dari sudut pandang konsep pragmatisme, seharusnya sebuah produk hukum bertujuan untuk mewujudkan kepentingan masyarakat dan kesejahteraan sosial sehingga dalam penyusunannya haruslah didasarkan pada fakta empiris yang terjadi di masyarakat dan apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat. Hal tersebut yang kemudian disebut sebagai landasan sosiologis pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.

Kepatuhan terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) harus menjadi prioritas karena jika diabaikan, akan menimbulkan beberapa masalah di antaranya sebagai berikut,

1. Omnibus Law tidak patuh terhadap UU P3 maka akan ada kemungkinan  Omnibus Law tidak memiliki legitimasi di masyarakat walaupun pemerintah secara sepihak memaksakan legalitas terhadapnya.

2. Jika Omnibus Law tidak menaati ketentuan dalam UU P3 maka akan berisiko terjadi distorsi hukum karena landasan yang dibangun sejak tahun 2011 itu eksistensinya dirusak oleh pemerintah yang sedang mengemban tampuk pemerintahan saat ini.

3. Jika Omnibus Law dihadirkan dengan cara dipaksakan dan tidak menghiraukan teknis keteraturan undang-undang yang sudah ditentukan dalam UU P3, maka akan berujung tidak adanya kepastian, kemanfaatan, dan keadilan yang selama ini dicita-citakan setiap negara hukum.

Kesimpulannya adalah bahwa Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) tidak memberikan landasan dikarenakan Omnibus Law merupakan suatu hal yang baru sekaligus tantangan yang besar, maka dari itu dalam menghadirkannya harus penuh dengan kehati-hatian.

***

Insyan Saputra Siahaan, Mahasiswa Fakultas Hukum Unib semester 4