MUHAMMADIYAH : Antara Yang Dulu dan Yang Sekarang

Logo Muhammadiyah

Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1924 sebenarnya bukan hanya warisan berharga bagi kaum Muhammadiyah saja, melainkan juga bagi NU. Kitab itu juga bak kitabnya orang NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU.

Masalahnya hanyalah satu hal bahwa pada tahun 1924 itu NU belum lahir!

NU lahir pada tahun 1926. Dua tahun setelah kitab itu terbit. Dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang diajarkan kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di Nusantara ini, yaitu fiqih mazhab Syafi’i.

Jadi, walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fiqih sebagaimana yang ada di dalam kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 itu.

Artinya, di masa awal berdirinya, Muhammadiyah itu adalah NU, fiqihnya menggunakan mazhab Syafi’i yang sama dengan NU.

Pertanyaannya, mengapa demikian?

Sebab Muhammadiyah adalah gerakan dakwah, yaitu menyampaikan ajaran Islam yang sudah ada kala itu di Kesultanan Yogyakarta yang menganut mazhab Syafi’i, bukan berdakwah dengan mengarang ajarannya sendiri dari nol. Dakwah Muhammadiyah itu untuk menghalau kristenisasi yang didukung penjajah Belanda, sekaligus untuk memurnikan tauhid umat.

Kiai Dahlan sendiri mendapatkan ilmunya dari ulama-ulama yang sama tempat kiai-kiai NU menimba ilmu. Satu guru, satu ilmu, bahkan satu keluarga. Kiai Dahlan Muhammadiyah dan Kiai Hasyim NU adalah sama-sama keturunan Sunan Giri. Sunan Giri adalah anak Maulana Ishaq yang nasabnya sampai ke Siti Fatimah ra binti Rasulullah saw. Maulana Ishaq kemudian mengajar di Pasai Aceh, pusatnya pengembangan Islam Nusantara ketika itu, yang pengaruhnya sampai ke Sumatera Barat, di mana kaum Padri kelak bermukim. Jadi, sesungguhnya ulama Nusantara ini memiliki jaringan yang sangat kuat, satu guru, satu ilmu, dan satu nasab. Mereka bermazhab Syafi’i. Mereka juga berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (dalam komunitas NU lebih populer dengan akronim Aswaja – AM), sebagaimana yang dianut oleh negara adidaya muslim kala itu, yaitu Kesultanan Turki Usmani, yang dinastinya telah berjaya lebih dari 600 tahun. 

Kiai Dahlan dan warga Muhammadiyah ketika itu mengamalkan qunut, dan tarawih 20 rakaat. Mereka azan Jumat dua kali, dan takbiran tiga kali. Mereka salat ’id di masjid, bukan di lapangan.

Pendek kata, Kiai Dahlan dan warga Muhammadiyah adalah bagian umat yang sama dengan umat Islam yang sekarang diklaim sebagai umat NU. Sebab, amalan beliau-beliau adalah amalan NU. Amalan itu bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah dikaji dan dijalankan selama seribu tahun lebih hingga masa kenabian.

Lalu pertanyaannya, kapan Muhammadiyah berubah? Kenapa berubah?

Jawabannya adalah bertahap. Ketika Kiai Dahlan membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global, dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, sehingga generasi berikutnya makin akrab dengan ”Pandora” yang tengah disiapkan penjajah Belanda maka bibit-bibit perubahan masuk. Akibat dari sikap membuka diri itu maka benteng tradisi Muhammadiyah otomatis lemah. Ibarat perang dengan sepenuh tawakal, menyerang dengan tanpa menyusun pertahanan. Adat-istiadat pun akhirnya dapat dihilangkan, dan setelah kulit luar itu terkelupas maka bagian isi pun bisa dicampuri dan kemudian bisa diubah. Fiqih mazhab Syafi’i pun lama-lama tanggal.

Pada tahun 1925, dua tahun sepeninggal Kiai Dahlan, Muhammadiyah dinilai telah berubah dengan mulai diterimanya paham Wahabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan dg runtuhnya Khilafah Utsmani Turki yang Aswaja dan berdirinya Kerajaan Ibnu Saud yg Wahabi yang berhasil menaklukkan Makkah dan Madinah, yang kemudian mendirikan Kerajaan Arab Saudi itu. 

Momentum yang menandai perubahan ini adalah pelaksanaan salat ’id di lapangan tahun 1925, yang berbeda dari ajaran mazhab Syafi’i. 

Penerimaan Muhammadiyah terhadap Wahabi itu memancing kalangan pesantren untuk mendirikan NU tahun 1926, dan membentengi para santri dari paham-paham baru, termasuk Wahabi dan komunisme. NU pun merangkul sebanyak mungkin orang, dan menerima sebanyak mungkin adat-istiadat mereka untuk di-Islam-kan. Dan terciptalah benteng tradisi yang sangat kokoh hingga kini.

Sebaliknya, Muhammadiyah pun tak tinggal diam. Mereka membuat benteng baru, yaitu benteng keterbukaan berlabel Islam tanpa mazhab, dan berupaya menjebol benteng tradisi umat Islam seluruhnya dengan slogan anti-takhayul, anti-bid’ah, dan anti-churafat (TBC). Dengan benteng baru anti-TBC itulah orang-orang NU merasa dipersalahkan.

Namun, untunglah ada Kiai Mansur. Berkat jasa beliau yang mendirikan Majelis Tarjih tahun 1927, Muhammadiyah tidak terseret ke dalam arus deras Wahabi global dukungan Sekutu. Muhammadiyah tidak mau memberikan cek kosong kepada Wahabi.

Jadi, Muhammadiyah dan NU sama-sama membuat tembok benteng, sehingga ”Tembok Berlin” itu sesungguhnya terdiri dari dua lapisan yang sama-sama kuat.

Dalam perjalanan satu abadnya, Muhammadiyah melalui beberapa masa yang khas, di mana di masa-masa itulah material benteng-benteng baru mulai dipasang, dan mulailah bermetamorfosis.

Metamorfosis ormas yang memiliki akar sejarah hingga Perang Dunia I ini setidaknya dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu Masa Syafi’i (1912-1925); Masa Pembauran Syafi’i-Wahabi (1925-1927); Masa HPT -- Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995); dan Masa Pembauran HPT-Globalisasi (1995-kini).

Sepanjang pendiriannya tahun 1912 hingga tahun 1967 ketika HPT terbit kali pertama, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin lama maki sedikit saja yang tersisa. Mazhab Syafi’i baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut pada tahun 1972 lewat muktamar Pekalongan.

Maka, tahun 1972 itulah Muhammadiyah berubah lagi dengan perubahan yang besar. Muhammadiyah mengorbit di lintasan terjauh dari sang pendirinya, yaitu Kiai Dahlan. Hilanglah jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah masa itu. Dan banyak orang NU merasa telah kehilangan saudara tua. Mereka makin kesulitan mencari alim ulama di dalam Muhammadiyah.

Kiai-kiai pemersatu umat seoerti Kiai Mansur telah hilang. Jembatan-jembatan silaturahmi makin langka, sedang para ”Pandora” ada di mana-mana.

Sebaliknya, muncullah panorama muram tentang rumah-rumah bambu yang becek tanpa listrik yang saat magrib sama mendendangkan puji-pujian bid’ah dan saat subuh menengadahkan tangan untuk berqunut. Mereka anaknya banyak dan hanya dikasih makan tanpa lauk. Sementara kekayaan Indonesia terus mengalir ke negeri ”Zeus”.

Pembangunan hanya menguntungkan orang-orang Golkar. Sedangkan panorama desa IDT dinikmati warganya dengan terus berdoa qunut. Tragis. Sebuah keindahan sufistik yang paradoksal di tengah menumpuknya utang luar negeri untuk pembangunan. Dan Muhammadiyah seolah membiarkan panorama itu kendati mereka berkesempatan mengisi pemerintahan.

Dengan penghapusan qunut itu, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan itu dipandang sebagai prestasi, sebab berhasil meruntuhkan kemapanan tradisi yang telah berusia ribuan tahun. Slogan kembali kepada Al Qur’an dan hadis membahana menerjang tradisi yang dianggap takhayul, bid’ah dan khurafat.

Padahal Al-Qur’an dan kitab-kitab hadis yang dirujuk adalah juga barang baru yang di masa Nabi hal itu tidak diketemukan. Pembukuan Al-Qur’an dan hadis adalah ijtihad sahabat dan ulama.

Belakangan, setelah Tembok Berlin di Jerman runtuh tahun 1989 dan Uni Soviet juga runtuh tahun 1991 maka ”Pandora” makin berjaya. Muhammadiyah pun bermetamorfosis lagi. Ormas-ormas baru Islam bermunculan laksana jamur di musim hujan ketika reformasi mewabah. Mereka adalah anak cucu buah cinta ”Pandora” dengan ”Ephimetheus”, yang bahkan kawin mawin dengan anak cucu ”Promotheus” juga. Dan generasi muda itu bukan hanya membangun ”Tembok Berlin” baru yang lebih banyak dan panjang, melainkan berani mencuri ”Kotak Pandora” milik sang ibu, lalu membukanya hingga bertaburanlah angkara, ... korupsi. Melebihi korupsi orang tuanya. Menjadilah ulat yang rakus segalanya. Ulat yang lupa takdir metamorfosisnya menjadi kupu penyerbuk sari.

Mereka pukuli genta reformasi sambil memegang sebuah benda kecil dari ”Kotak Pandora” itu, namanya harapan.

Akan tetapi, yang muncul dari harapan itu adalah angka nol sangat besar yang turun dari langit secara perlahan menembus asap beracun di seantero kota yang kemuramannya mirip siluet Gotham City dalam film Batman. Malam pun jatuh dengan mimpi buruk. Demokrasi menjadi nasi basi. Parlemen menjadi kasino. Sekolah menjadi latar film mesum. Pasar kecamatan menjadi etalase inflasi. Indonesia hanya dapat angka nol.

Dan, selama satu abad metamorfosis itu, ”Zeus” dan dewi-dewi kulit putihnya tersenyum simpul melihat keberhasilan ”Pandora”.

(Kutipan tulisan Bapak Mochammad Ali Shodiqin dalam bukunya Muhammadiyah itu Nahdlatul Ulama – Dokumen Fiqih yang Terlupakan)MUHAMMADIYAH : Antara Yang Dulu dan Yang Sekarang

Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1924 sebenarnya bukan hanya warisan berharga bagi kaum Muhammadiyah saja, melainkan juga bagi NU. Kitab itu juga bak kitabnya orang NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU.

Masalahnya hanyalah satu hal bahwa pada tahun 1924 itu NU belum lahir!

NU lahir pada tahun 1926. Dua tahun setelah kitab itu terbit. Dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang diajarkan kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di Nusantara ini, yaitu fiqih mazhab Syafi’i.

Jadi, walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fiqih sebagaimana yang ada di dalam kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 itu.

Artinya, di masa awal berdirinya, Muhammadiyah itu adalah NU, fiqihnya menggunakan mazhab Syafi’i yang sama dengan NU.

Pertanyaannya, mengapa demikian?

Sebab Muhammadiyah adalah gerakan dakwah, yaitu menyampaikan ajaran Islam yang sudah ada kala itu di Kesultanan Yogyakarta yang menganut mazhab Syafi’i, bukan berdakwah dengan mengarang ajarannya sendiri dari nol. Dakwah Muhammadiyah itu untuk menghalau kristenisasi yang didukung penjajah Belanda, sekaligus untuk memurnikan tauhid umat.

Kiai Dahlan sendiri mendapatkan ilmunya dari ulama-ulama yang sama tempat kiai-kiai NU menimba ilmu. Satu guru, satu ilmu, bahkan satu keluarga. Kiai Dahlan Muhammadiyah dan Kiai Hasyim NU adalah sama-sama keturunan Sunan Giri. Sunan Giri adalah anak Maulana Ishaq yang nasabnya sampai ke Siti Fatimah ra binti Rasulullah saw. Maulana Ishaq kemudian mengajar di Pasai Aceh, pusatnya pengembangan Islam Nusantara ketika itu, yang pengaruhnya sampai ke Sumatera Barat, di mana kaum Padri kelak bermukim. Jadi, sesungguhnya ulama Nusantara ini memiliki jaringan yang sangat kuat, satu guru, satu ilmu, dan satu nasab. Mereka bermazhab Syafi’i. Mereka juga berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (dalam komunitas NU lebih populer dengan akronim Aswaja – AM), sebagaimana yang dianut oleh negara adidaya muslim kala itu, yaitu Kesultanan Turki Usmani, yang dinastinya telah berjaya lebih dari 600 tahun. 

Kiai Dahlan dan warga Muhammadiyah ketika itu mengamalkan qunut, dan tarawih 20 rakaat. Mereka azan Jumat dua kali, dan takbiran tiga kali. Mereka salat ’id di masjid, bukan di lapangan.

Pendek kata, Kiai Dahlan dan warga Muhammadiyah adalah bagian umat yang sama dengan umat Islam yang sekarang diklaim sebagai umat NU. Sebab, amalan beliau-beliau adalah amalan NU. Amalan itu bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah dikaji dan dijalankan selama seribu tahun lebih hingga masa kenabian.

Lalu pertanyaannya, kapan Muhammadiyah berubah? Kenapa berubah?

Jawabannya adalah bertahap. Ketika Kiai Dahlan membuka Muhammadiyah untuk pengembangan paham global, dengan cara mengajarkan huruf Latin dan bahasa Belanda, sehingga generasi berikutnya makin akrab dengan ”Pandora” yang tengah disiapkan penjajah Belanda maka bibit-bibit perubahan masuk. Akibat dari sikap membuka diri itu maka benteng tradisi Muhammadiyah otomatis lemah. Ibarat perang dengan sepenuh tawakal, menyerang dengan tanpa menyusun pertahanan. Adat-istiadat pun akhirnya dapat dihilangkan, dan setelah kulit luar itu terkelupas maka bagian isi pun bisa dicampuri dan kemudian bisa diubah. Fiqih mazhab Syafi’i pun lama-lama tanggal.

Pada tahun 1925, dua tahun sepeninggal Kiai Dahlan, Muhammadiyah dinilai telah berubah dengan mulai diterimanya paham Wahabi yang anti-amalan pesantren. Hal itu seiring dengan dg runtuhnya Khilafah Utsmani Turki yang Aswaja dan berdirinya Kerajaan Ibnu Saud yg Wahabi yang berhasil menaklukkan Makkah dan Madinah, yang kemudian mendirikan Kerajaan Arab Saudi itu. 

Momentum yang menandai perubahan ini adalah pelaksanaan salat ’id di lapangan tahun 1925, yang berbeda dari ajaran mazhab Syafi’i. 

Penerimaan Muhammadiyah terhadap Wahabi itu memancing kalangan pesantren untuk mendirikan NU tahun 1926, dan membentengi para santri dari paham-paham baru, termasuk Wahabi dan komunisme. NU pun merangkul sebanyak mungkin orang, dan menerima sebanyak mungkin adat-istiadat mereka untuk di-Islam-kan. Dan terciptalah benteng tradisi yang sangat kokoh hingga kini.

Sebaliknya, Muhammadiyah pun tak tinggal diam. Mereka membuat benteng baru, yaitu benteng keterbukaan berlabel Islam tanpa mazhab, dan berupaya menjebol benteng tradisi umat Islam seluruhnya dengan slogan anti-takhayul, anti-bid’ah, dan anti-churafat (TBC). Dengan benteng baru anti-TBC itulah orang-orang NU merasa dipersalahkan.

Namun, untunglah ada Kiai Mansur. Berkat jasa beliau yang mendirikan Majelis Tarjih tahun 1927, Muhammadiyah tidak terseret ke dalam arus deras Wahabi global dukungan Sekutu. Muhammadiyah tidak mau memberikan cek kosong kepada Wahabi.

Jadi, Muhammadiyah dan NU sama-sama membuat tembok benteng, sehingga ”Tembok Berlin” itu sesungguhnya terdiri dari dua lapisan yang sama-sama kuat.

Dalam perjalanan satu abadnya, Muhammadiyah melalui beberapa masa yang khas, di mana di masa-masa itulah material benteng-benteng baru mulai dipasang, dan mulailah bermetamorfosis.

Metamorfosis ormas yang memiliki akar sejarah hingga Perang Dunia I ini setidaknya dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu Masa Syafi’i (1912-1925); Masa Pembauran Syafi’i-Wahabi (1925-1927); Masa HPT -- Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995); dan Masa Pembauran HPT-Globalisasi (1995-kini).

Sepanjang pendiriannya tahun 1912 hingga tahun 1967 ketika HPT terbit kali pertama, mazhab Syafi’i masih diamalkan walaupun makin lama maki sedikit saja yang tersisa. Mazhab Syafi’i baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya qunut pada tahun 1972 lewat muktamar Pekalongan.

Maka, tahun 1972 itulah Muhammadiyah berubah lagi dengan perubahan yang besar. Muhammadiyah mengorbit di lintasan terjauh dari sang pendirinya, yaitu Kiai Dahlan. Hilanglah jejak-jejak amalan khas NU yang diamalkan Kiai Dahlan di dalam keseharian warga Muhammadiyah masa itu. Dan banyak orang NU merasa telah kehilangan saudara tua. Mereka makin kesulitan mencari alim ulama di dalam Muhammadiyah.

Kiai-kiai pemersatu umat seoerti Kiai Mansur telah hilang. Jembatan-jembatan silaturahmi makin langka, sedang para ”Pandora” ada di mana-mana.

Sebaliknya, muncullah panorama muram tentang rumah-rumah bambu yang becek tanpa listrik yang saat magrib sama mendendangkan puji-pujian bid’ah dan saat subuh menengadahkan tangan untuk berqunut. Mereka anaknya banyak dan hanya dikasih makan tanpa lauk. Sementara kekayaan Indonesia terus mengalir ke negeri ”Zeus”.

Pembangunan hanya menguntungkan orang-orang Golkar. Sedangkan panorama desa IDT dinikmati warganya dengan terus berdoa qunut. Tragis. Sebuah keindahan sufistik yang paradoksal di tengah menumpuknya utang luar negeri untuk pembangunan. Dan Muhammadiyah seolah membiarkan panorama itu kendati mereka berkesempatan mengisi pemerintahan.

Dengan penghapusan qunut itu, slogan Islam tanpa mazhab benar-benar berhasil dibuktikan, dan itu dipandang sebagai prestasi, sebab berhasil meruntuhkan kemapanan tradisi yang telah berusia ribuan tahun. Slogan kembali kepada Al Qur’an dan hadis membahana menerjang tradisi yang dianggap takhayul, bid’ah dan khurafat.

Padahal Al-Qur’an dan kitab-kitab hadis yang dirujuk adalah juga barang baru yang di masa Nabi hal itu tidak diketemukan. Pembukuan Al-Qur’an dan hadis adalah ijtihad sahabat dan ulama.

Belakangan, setelah Tembok Berlin di Jerman runtuh tahun 1989 dan Uni Soviet juga runtuh tahun 1991 maka ”Pandora” makin berjaya. Muhammadiyah pun bermetamorfosis lagi. Ormas-ormas baru Islam bermunculan laksana jamur di musim hujan ketika reformasi mewabah. Mereka adalah anak cucu buah cinta ”Pandora” dengan ”Ephimetheus”, yang bahkan kawin mawin dengan anak cucu ”Promotheus” juga. Dan generasi muda itu bukan hanya membangun ”Tembok Berlin” baru yang lebih banyak dan panjang, melainkan berani mencuri ”Kotak Pandora” milik sang ibu, lalu membukanya hingga bertaburanlah angkara, ... korupsi. Melebihi korupsi orang tuanya. Menjadilah ulat yang rakus segalanya. Ulat yang lupa takdir metamorfosisnya menjadi kupu penyerbuk sari.

Mereka pukuli genta reformasi sambil memegang sebuah benda kecil dari ”Kotak Pandora” itu, namanya harapan.

Akan tetapi, yang muncul dari harapan itu adalah angka nol sangat besar yang turun dari langit secara perlahan menembus asap beracun di seantero kota yang kemuramannya mirip siluet Gotham City dalam film Batman. Malam pun jatuh dengan mimpi buruk. Demokrasi menjadi nasi basi. Parlemen menjadi kasino. Sekolah menjadi latar film mesum. Pasar kecamatan menjadi etalase inflasi. Indonesia hanya dapat angka nol.

Dan, selama satu abad metamorfosis itu, ”Zeus” dan dewi-dewi kulit putihnya tersenyum simpul melihat keberhasilan ”Pandora”.

(Kutipan tulisan Bapak Mochammad Ali Shodiqin dalam bukunya Muhammadiyah itu Nahdlatul Ulama – Dokumen Fiqih yang Terlupakan)