Minim Mitigasi, Gempa dan Tsunami Selalu Mengintai

Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh : Sabar Ardiansyah, S.ST (BMKG, Stasiun Geofisika Kepahiang-Bengkulu, e-mail : [email protected])

Pada 6 Februari 2019 BMKG melakukan rapat koordinasi mitigasi penanganan gempa dan tsunami di Auditorium Kantor Gubernur Sumatera Barat. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati hadir bersama kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo, Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar, Ketua DPRD Sumbar, serta para kepala daerah Sumbar.

Rapat koordinasi ini dalam rangka merespon rangkaian gempa bumi yang terjadi pada 2 Februari 2019 di Segmen Mentawai. Selain memang, segmen Mentawai ini merupakan wilayah yang menurut para ahli menyimpan energi gempa mencapai M=8,0. 

“Ada 8 titik zona gempa (megathrust) yang perlu mendapatkan perhatian khusus, salah satunya adalah Kepulauan Mentawai. Megathrust Mentawai adalah paling diwaspadai” kata Dwikorita. 

Sebanranya tidak hanya 8 zona megathrust sumber gempa di Indonesia. Terdapat 19 zona megathrust, dan tidak kurang dari 295 sesar aktif di Indonesia (Pusgen 2017). Artinya, secara umum gempa bisa terjadi di mana saja dan kapanpun di Indonesia. Pertanyaanya, apa yang sudah kita siapkan untuk menghadapinya?

Mitigasi Sesar

Untuk melakukan upaya mitigasi sesar, langkah pertama adalah kita harus mengakui bahwa keberadaan kita sangat dekat dengan zona gempa bumi. Artinya ada fakta kerentanan yang harus kita terima. Jika kesadaran ini sudah tertanam pada diri kita, baru kita bisa melakukan langkah selanjutnya.

Langkah selanjutnya adalah pemetaan secara rinci dan detail dengan tingkat akurasi yang tinggi. Pemetaan ini mencakup seluruh jalur sesar yang ada pada wilayah sesar aktif. Survey pemetaan bisa berkolaborasi melibatkan lambaga peneliti seperti universitas yang ada di masing-masing propinsi serta pemda setempat. Setelah diketahui secara detail, maka langkah berikutnya adalah memberi tanda pada jalur sesar tersebut. Tanda yang diberikan bisa berupa papan nama, tiang beton, pagar beton, atau lainya. 

Setelah melakukan pemetaan tersebut, maka harus diikuti dengan terbitnya regulasi terkait tata ruang. Regulasi ini harus tertuang secara tegas, bahwa ada radius aman sisi kiri dan sisi kanan sesar. Regulasi semacam ini sudah diterapkan di beberapa negara. Amerika Serikat contohnya, sejak 1977 menetapkan jarak aman dari jalur sesar utama sejauh 150 meter dan 60 meter dari cabang sesar (Pusgen 2017).

Di Taiwan, menetapkan regulasi serupa dengan cara melakukan kajian berdasarkan sejarah gempa. Untuk sesar yang pernah terjadi gempa dengan kekuatan lebih dari M=7,0, maka jarak amannya adalah 100 meter. Sedangkan sesar yang pernah terjadi gempa dengan kekuatan lebih dari M=6,0, jarak amannya adalah 50 meter.

Di Cina, jarak aman yang digunakan bervaria antara 100 meter, 200 meter, dan 400 meter sesuai dengan kelas konstruksi bangunan yang akan dibangun. Berbeda lagi dengan daerah Selandia Baru, mereka menetapkan jarak aman untuk setiap sisi sesar adalah 50-90 meter dan di dalamnya sudah mempertimbangkan ketidakpastian jarak sesar 20 meter untuk tiap sisi. 

Bagaimana dengan di Indonesia, apakah upaya ke arah sana sudah ada? Propinsi Jawa Barat satu langkah lebih maju dalam hal ini. Pada tahun 2016, gubernur Jawa Barat mengeluarkan regulasi dalam bentuk “Keputusan Gubernur Nomor 2 Tahun 2016”. Dalam keputusan ini menyebutkan, setiap pembangunan di sekitar daerah risiko bencana, terutama di sekitar sesar Lembang, jarak aman nya adalah 250 meter dari sisi kiri dan kanan sesar Lembang.   

Kalau Jawa Barat bisa, harusnya daerah lain juga bisa. Upaya selanjutnya yang paling penting adalah pengawasan yang super ketat terhadap regulasi yang sudah ditetapkan. Jangan sampai hanya sebatas tertuang dalam bentuk keputusan kepala daerah, namun di lapangan tidak dijalankan dengan sepenuh hati. 

Zona Subduksi, Mitigasi Kita Masih Tertinggal

Sama hal nya seperti pada wilayah sesar darat, harus jujur dan mau mengakui bahwa pada wilayah pesisir pantai kegiatan mitigasi kita masih jauh tertinggal. Bandingkan saja dengan Chili. Chili boleh dilirik bila bicara mengenai persiapan mengantisipasi bencana. Negara di Amerika Selatan ini dihadapkan dengan kondisi alam yang mirip Indonesia : rawan bencana.

Seperti Indonesia pula, Chili dilewati “Cincin Api”. Kawasan Cincin Api tempat tumbuh gunung aktif. Pun lokasi subur gempa bumi dunia. Namun, berkat mitigasi terukur, Chili lebih siap menghadapi gempa bumi. 

Misal saja pada 2014, gempa dengan kekuatan M=8,2 mengguncang pantai utara Chili dan memicu tsunami. Untungnya mereka sudah menyiapkan diri. Adanya deteksi dini tsunami membuat sekitar satu juta orang dipindahkan ke lokasi aman. Deteksi dini dan persiapan bencana itu merupakan pelajaran yang dipetik dari gempa 2010 dengan kekuatan M=8,8 dan tsunami yang mengikutinya. 

Kemudian pada 2015, ketangguhan mitigasi Chili kembali diuji dengan gempa berkekuatan M=8,5 di daerah Coquimbo, gempa ini memicu tsunami dengan ketinggian 4,5 meter. Korban jiwa tetap ada, namun hanya 9 orang saja. Sangat sedikit jika dibandingkan dengan gempa Palu, Sulawesi Tengah 2018 lalu dengan kekuatan M=7,4 korban jiwa mencapai 2.045 orang serta ratusan orang dinyatakan hilang tersapu tsunmi (www.bbc.com).

Apa yang membedakan? Jawabannya adalah persiapan yang matang. Pada satu momen, tim penyelamatan dari Peru, El Savador, Amerika Serikat, dan Spanyol tergabung dalam simulasi bertajuk simex 2015 di Santiago, ibu kota Chili. Dalam latihan tersebut digelar pula simulasi jika Chili diguncang gempa dengan kekuatan M=9,0 berpusat di Santiago.

Dan itu bukan latihan sekali jalan. Dalam skala luas, warga dibiasakan melakukan simulasi (drill) evakuasi minimal enam atau tujuh kali dalam satu tahun. Di seluruh kawsan. 

Di luar itu, pemerintah sudah siapkan sistem peringatan baru. Dalam kasus Coquimbo, beberapa menit setelah gempa, sirine meraung mengirim peringatan. Ambulans, pemadam kebakaran, polisi turun mengatur lalu lintas. Ada juga petugas khusus yang memaksa para penduduk yang masih bertahan di rumah untuk keluar dan berlari ke arah bukit. 

Ihwal penting lainya adalah menetapkan standar kekuatan bangunan. Pemerintah membuat aturan ketat yang mensyaratkan bangunan baru untuk bisa bertahan dari gempa berkekuatan M=9,0. 

Di Indonesia, zona rawan gempa dan tsunami sudah dipetakan, pertanyaanya sudah tersosialisasikah kepada masyarakat yang terpapar langsung? Sudah siapkah semua komponen menghadapinya? Sudah berapa kali kita melakukan simulasi (drill)? Jangan sampai ribuan nyawa kembali hilang, kemudian sibuk sesaat dan kembali lupa. (***)

NID Old
9056