Menjadi Muslim, Menjadi Indonesia

Mastuki

Suatu waktu, saya terlibat diskusi intens di group whatsapp (WAG) dengan Lukman Hakim Saifuddin (LHS), Menteri Agama RI 2014 - 2019. Di antara pertanyaan menggelitik yang menjadi alasan tulisan ini adalah: mengapa Indonesia menjadi bangsa muslim terbesar di dunia? Apa yang menyebabkan agama-agama lain seperti Hindu dan Buddha yang ratusan tahun bercokol di Nusantara tidak menjadi agama mayoritas bangsa ini? 

Pertanyaan tersebut saya kongkritkan menjadi begini, "Mengapa Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia? Padahal jauh sebelum Islam masuk ke wilayah ini, agama Hindu dan Buddha dengan imperium kerajaan Sriwijaya dan Majapahit menguasai wilayah lebih luas daripada Indonesia?". 

Mengacu data demografis, memang benar bahwa penduduk muslim Indonesia saat ini mayoritas, mencapai 229,62 juta jiwa atau sekitar 87,2% dari total populasi Indonesia yang berjumlah 269,6 juta jiwa. Kalau diproyeksikan ke populasi muslim dunia yang diperkirakan mencapai 2,2 milyar pada tahun 2030 (23% populasi dunia), penduduk muslim Indonesia itu menyumbang sekitar 13,1% dari seluruh umat muslim di dunia.

Capaian sedemikian besar itu tentulah tak bisa bim salabim. Ada sejarah panjang yang bisa ditelusuri di mana Islam berproses menjadi (becoming) yang tiada henti. Dimulai dari pertumbuhan dan perkembangan di wilayah yang dahulu dikenal dengan sebutan Dwipantara, Nuswantara, Nusantara, lalu menjadi wilayah Asia Tenggara yang berbicara dalam lingua franca bahasa Melayu. Sebagian besar wilayah itu kemudian menjadi Indonesia seperti yang kita kenal hari ini. 

Kalau penanggalan ini disepakati, titimangsa abad ke-12/13 Islam tumbuh lalu berkembang di Samudera Pasai, meluas ke Semenanjung Malaya dan Aceh, lantas menyebar ke seluruh kepulauan Melayu/Sumatera (Swarnadwipa), Jawa (Javadwipa), Maluku (Molucas), Sulawesi (Celebes), Kalimantan (Borneo), dan Nusa Tenggara. Di wilayah-wilayah ini Islam berkembang secara bertahap dan melibatkan banyak unsur sosial, budaya, tokoh, pranata sosial, dan lembaga hingga akhirnya terbentuk kekuasaan politik dengan berdirinya kerajaan Islam di Peurelak, Pasai, Malaka, Demak, Aceh Darussalam, Mataram, Cirebon, Banten, Banjar, Gowa Makassar, Ternate, Tidore, Buton, Bima, Palembang, Madura, Johor, Kedah, Indragiri Riau hingga Raja Ampat di Papua.

Ada pandangan pakar dan peneliti Indonesia yang menyatakan, Nusantara menjadi bangsa muslim karena nilai-nilai yang diajarkan Islam lebih cocok dan sesuai dengan pandangan hidup yang berlaku di mayoritas masyarakat lokal. Misalnya etos dagang, tauhid, egalitarianisme (kesamaan hak dan kesetaraan), toleransi, dan moderasi. Etos dagang sejatinya telah tumbuh dan berkembang di kepulauan Nusantara, lalu mengalami penyesuaian beriringan dengan proses islamisasi yang berbasis pada pusat-pusat perdagangan di pelabuhan Nusantara. Penyebaran Islam yang dimulai dari wilayah pesisiran lalu menyebar merata ke berbagai pusat perdagangan Nusantara saat itu seperti Pasai, Aceh, Malaka, Palembang, Tuban, Gresik-Surabaya, Caruban/Cirebon, Gowa Makassar, Buton, Banten, dan Sunda Kalapa.  

Banyak laporan penelitian yang menyebutkan tradisi dagang menjadi ciri khas masyarakat muslim pesisiran yang menjadi locus penting penyebaran Islam di Nusantara. Teori yang menyebut bahwa pedagang asing dari mancanegara seperti India, Gujarat, Persia, Arab dan  Cina sebagai penyebar Islam awal di Nusantara menunjukkan korelasi positif antara etos dagang dan nilai Islam (yang memuliakan kedudukan pedagang dan perdagangan). Interaksi yang intensif para pedagang muslim dengan masyarakat lokal itu pada saatnya memunculkan apa yang oleh Nur Syam (2015) disebut "budaya adaptif" yang menjadi ciri khas masyarakat muslim pesisiran. Etos dagang dan egalitarianisme antar penduduk maupun pendatang terjalin sedemikian rupa berkelindan lama sekali dan menjadi cikal bakal komunitas muslim dengan nilai baru yang berorientasi pada Islam.

Penyebar Islam di Nusantara tidak hanya didominasi oleh pedagang, tetapi juga ulama/wali, sufi pengembara (faqir), raja-raja pribumi (sultan), pemimpin tarekat, seniman, sastrawan-budayawan, tabib, guru, dai, pengarang, dan lain-lain. Dalam jangka waktu yang lama, mereka memainkan peranan dalam transformasi sosial dan budaya masyarakat Nusantara. Makanya pranata keagamaan berkembang beriringan dengan pranata sosial-budaya dan politik. Hampir semua keraton memiliki peran islamisasi yang luar biasa dengan aktor utama sultan dan ulama (sebagai qadhi, penasehat, mufti). Ordo sufi yakni tarekat seperti Qadiriyah, Naqsabandiyah, Tijaniyah, Awlawiyah, Khalwatiyah, Rifaiyah, Syattariyah, Syadziliyah, Rifa'iyyah, dan Idrisiyah berkembang pesat di Nusantara. Syekh-mursyid atau khalifah-suluk yang memimpin tarekat ini memiliki jejaring dengan pemimpin tarekat besar di Timur Tengah dan silsilah-nya sampai pada Rasulullah SAW. Peran krusial tarekat pada masa pergolakan melawan Belanda banyak dibahas para peneliti dan menginspirasi banyak gerakan perlawanan rakyat terhadap penjajah (Belanda). 

Lembaga pendidikan dengan nama-nama unik sesuai daerah juga bermunculan bak kecambah di musim hujan. Pesantren (Jawa), surau (Minangkabau), meunasah, dayah, rangkang (Aceh), zawiyah (Jambi, Riau), tajug (Cirebon), langgar (Jawa, juga dipakai di Makasar), rumah besak (Banjar), dan nama sejenis. Penulisan kitab oleh ulama Melayu mencapai tingkat yang tinggi di berbagai bidang keilmuan seperti tasawuf, fikih, tafsir, hadits, lughah, falaq/astronomi, tarikh (babad), dan siyasah (ilmu pemerintahan). Pada abad 17-19 jaringan ulama Melayu-Nusantara dengan pusat Islam terkemuka Mekah, kemudian Mesir, berjalan sangat intens. Jejaring ini memunculkan poros keulamaan dan poros keilmuan (pusat-pusat keilmuan yang berbasis di atau mengikuti kemunculan kota-kota baru di seluruh Nusantara).  

Penggunaan aksara Arab dengan bahasa Melayu yang disebut aksara Jawi atau Arab Pegon menjadi inspirasi munculnya karya-karya sastra dan seni seperti syair, pantun, hikayat, prosa, puisi, gurindam, gending, tembang, arsitektur, seni pentas/wayang, seni musik, kaligrafi, astrologi, pengobatan (primbon), dan sebagainya.

Karya-karya tersebut dalam banyak hal merupakan tradisi baru yang tak berpreseden sama sekali. Alias genuine lahir dari dialektika Islam dan budaya Nusantara. Ada juga yang mengikuti tradisi penulisan ulama Islam yang telah berkembang di kekhilafahan Islam (Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah, Safawiyah). Namun pengaruh tradisi tulis-menulis yang berkembang di Majapahit, Sriwijaya, dan kerajaan lain di Nusantara juga tak bisa dielakkan. Seperti kita ketahui, masa Majapahit dan kerajaan di Jawa mencatat perkembangan ilmu pengetahuan yang cukup mengesankan, khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. 

Beberapa karya intelektual yang lahir pada zaman kerajaan Hindu-Buddha antara lain: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit), Sotasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (Epik berdirinya Kediri hingga Majapahit).

Islam hadir memberi warna pada peradaban Nusantara yang sudah adiluhung dan berada pada puncak-puncak kebudayaan. Bukan sekedar proses adopsi atau adaptasi budaya, tetapi kreasi dan introduksi budaya baru. Salah satu yang menonjol adalah literasi. Anthony H. Johns (profesor emeritus di Division of Pacific and Asian History of the Research School of Asian and Pacific Studies at the Australian National University) menyebut kreasi itu sebagai proses pembahasalokalan (vernakularisasi) keilmuan Islam yang mulai dikenalkan pada akhir abad ke-15 namun intensif pada abad ke-16 M di berbagai wilayah Nusantara. Selain penggunaan aksara Pegon, banyak kata serapan dari bahasa Arab yang telah ditransformasikan dalam bahasa lokal. Di samping itu banyak karya sastra yang lahir di tangan ulama Melayu terinspirasi oleh model-model karya sastra Arab (dan Persia). “Ijtihad kebudayaan” menciptakan aksara Pegon ini ditengarai menjadi penghubung yang penting antara “dunia raja/bangsawan" dan rakyat. 

Tradisi pendidikan yang berkembang sebelumnya, pengetahuan itu “elitis”, milik para bangsawan (kaum brahmana, mpu, atau bhiksu), tidak merembes ke wong alit alias rakyat. Ilmu  hanya berkutat di lingkaran keraton dan mandala. Melalui ajaran iqro’, pengetahuan dan literasi dalam Islam adalah milik semua muslim. Lembaga pendidikan dapat diakses oleh siapapun tanpa ada kelas atau kasta. Praktik nyata di Nusantara, santri (dari kata sashtri, murid di suatu padepokan/mandala) dari manapun latar belakangnya bisa mengaji dengan kitab-kitab standar yang diajarkan kyai di pesantren. Di sini pesantren bertransformasi menjadi semacam landasan demokrasi pendidikan atau pendidikan universal (education for all). 

Seluruh pranata yang disebutkan di atas bekerja sangat efektif dan menjadi faktor pendorong terjadinya integrasi yang kelak dinamakan bangsa Indonesia. Hanya dalam masa tiga atau empat abad penyebarannya di Nusantara, Islam mampu menjadi agama rakyat yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Suatu hal yang mencengangkan, sejak abad ke-16M praktis kepulauan Nusantara telah diintegrasikan oleh Islam; agama yang relatif baru dan jauh (peripheral) dari wilayah yang selama ini disebut sebagai pusat dunia Islam (Haramain, Mekkah-Madinah).

Sampai titik ini, pertanyaan berlanjut ke ihwal yang lebih subtil, yakni dalam hal islamisasi di Nusantara, pengaruh yang paling dominan itu pada aspek apa. Esensi ajarannya kah atau peran aparatus kekuasaan? Lalu bagaimana dengan akulturasi budaya yang dinyana sebagai aspek penting menjadikan Indonesia sebagai bangsa muslim terbesar di dunia.

Budhi Munawar-rahman, pendiri Nurcholish Madjid Society (NCMS) dan seorang Indonesian progressive Islamic scholar, memberi deskripsi teoritik begini. Sejak kehadirannya di Nusantara, Islam telah memberi dasar-dasar pandangan hidup (way of life) dan gambaran dunia (weltanschaung) beserta nilai-nilainya yang universal pada banyak kebudayaan lokal. Budaya-budaya lokal yang dirembesi ajaran Islam ini lantas berkembang maju dan mampu menghasilkan tradisi baca tulis, yang pada gilirannya melahirkan intelektualisasi signifikan dalam proses "islamisasi yang tak pernah selesai". 

“Kepada budaya-budaya daerah yang saling terkait dan memengaruhi satu dengan yang lain itu”, lanjut Budhi, “Islam memberikan dasar-dasar egalitarianisme, rasionalitas, aktivisme, kesalehan sosial, etos dagang, dan tradisi intelektual. Tanpa itu transformasi budaya tidak akan terjadi, sebab berkembangnya kebudayaan mengandaikan adanya suasana komunikatif yang terbuka dan pemikiran-pemikiran yang harus saling dikomunikasikan. Islam memberikan semua itu kepada mayoritas etnik-etnik di kepulauan Nusantara”.

Argumen Budhi masuk akal dan bisa dikonfirmasi dengan data faktual. Seperti uraian sebelumnya, esensi ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal itu dalam aplikasinya di level budaya Nusantara mengalami penyesuaian (adjusment), continuity and change, dan yang tak kalah pentingnya menjadi landasan bagi terbentuknya pelembagaan Islam yang lebih solid. Dalam pelembagaan politik misalnya, keraton/kerajaan atau kesultanan bukan saja menjadi pusat kekuasaan politik, pada saat yang sama menjadi poros keilmuan yang penting dalam penyemaian Islam yang lebih subur. Cerita-cerita tentang sultan yang terdidik (well educated) menunjukkan bahwa di bawah otoritas kekuasaan, ilmu dan lembaga pendidikan serta tradisi keilmuan Islam mendapatkan lahan penyemaian subur. 

Sultan Agung yang bergelar Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Kalifatullah ing Tanah Jawa contoh tipikal gabungan seorang negarawan dan budayawan yang saleh dan terdidik. Selain berjasa dalam mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh Hijriyah dengan tarikh Saka, Sultan Agung adalah penulis naskah Jawa Sastra Gending. Di zamannya, kerajaan Mataram maju pesat. Peninggalan bangunan masjid dengan atap meru dan seni kaligrafi tulisan Arab, juga ritual sekaten untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. 

Kerajaan Islam pertama, Samudera Pasai pernah menjadi pusat studi Islam di Nusantara. Kabarnya Makhdum Ibrahim yang dikenal sebagai Sunan Bonang dan Raden Paku alias Sunan Giri pernah menuntut ilmu kepada Maulana Ishak di Malaka dalam perjalanan haji ke tanah suci. Setelah menyelesaikan pendidikan, mereka kembali ke Jawa untuk mengembangkan ilmu dengan mendirikan lembaga pendidikan. Sunan Giri menjadi raja di Gresik, sementara Sunan Bonang dikenal sebagai seorang penyebar Islam yang menguasai ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan ilmu silat dengan kesaktian dan kedigdayaan menakjubkan. Gubahan sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil adalah karya Sunan Bonang yang terkenal. Di samping karya sastra yang disematkan ke Sunan Bonang, yang oleh antropolog Belanda B.J.O Schrieke disebut Het Boek van Bonang.

Di kerajaan Malaka, perpustakaan tersedia di dalam istana dan berfungsi sebagai pusat penyalinan kitab-kitab dan penerjemahan kitab bahasa Arab ke bahasa Melayu. Karena perhatian kerajaan terhadap pendidikan Islam tinggi, banyak ulama mancanegara datang ke Malaka, seperti dari Afghanistan, Malabar, Hindustan, dan terutama Arab. Sementara di Palembang, istana juga berfungsi sebagai pusat sastra dan ilmu agama. Banyak sultan Palembang yang mendorong perkembangan intelektual dan keilmuan Islam, seperti Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan Muhammad Baha'uddin (1774-1804).

Menurut catatan Martin van Bruinessen, pada abad ke-17 Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di pulau Jawa. Pendidikan agama cukup menonjol ketika Belanda datang pertama kali pada 1596 dan menyaksikan orang-orang Banten memiliki guru-guru dari Mekkah. Pemberontakan Petani Banten tahun 1833 yang fenomenal itu digerakkan oleh para haji yang pulang dari studi di Mekkah. 

Penguasa Aceh Darussalam Sultan Iskandar Muda mendirikan Masjid Raya Baiturrahman dan mengundang Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani sebagai penasihat Sultan, lalu menjadi Qadhi al-Qudhat. Syekh Yusuf al-Makassari dari Kesultanan Gowa Sulawesi Selatan menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke Mekkah kemudian menjadi penasehat utama Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Melalui pengajaran Abdur Rauf as-Singkili muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al-Garuti yang berjasa menyebarkan pendidikan Islam di Jawa Barat. 

Sengaja menyebut peran krusial keraton dan raja (sultan) karena capaian peradaban Melayu-Nusantara dapat diukur dari sini. Tesis “Islam Istana” tak sepenuhnya salah. Bahwa tahap awal Islam diterima oleh raja, setelah itu rakyat secara resmi memeluk agama Islam. Sebagai contoh islamisasi di Sulawesi Selatan, Raja Tallo sekaligus mangkubumi Kerajaan Gowa, I Malingkang Daeng Manyonri’, memeluk Islam dan mendapat nama Islam, yaitu Sultan Abdullah Awwalul Islam. Pada saat yang sama, Raja Gowa ke-14, I Manga’rangi Daeng Manrabia, juga memeluk Islam, bergelar Sultan Alauddin.

Menurut Ahmad M. Sewang dalam bukunya Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad XVII (2005), Raja Gowa dan Raja Tallo mengundang tiga guru agama dari Koto Tengah, Minangkabau yang berada di Aceh, untuk mengajarkan Islam di Sulawesi Selatan. Mereka dikenal sebagai Dato’ Tallu di Makassar atau Datu’ Tellu di Bugis, yaitu Dato’ri Bandang (Abdullah Makmur alias Khatib Tunggal), Dato’ri Pattimang (Sulaiman alias Khatib Sulung), dan Dato’ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu). Setelah memastikan pengajaran Islam berlangsung lancar, Sultan Alauddin mengeluarkan dekrit pada 9 November 1607 di hadapan jemaah salat Jumat bahwa Kerajaan Gowa sebagai kerajaan Islam dan pusat Islamisasi di Sulawesi Selatan. Islam menjadi agama kerajaan dan dekrit ini diikuti dengan pengislaman masyarakat Gowa. 

Keraton memang bukan satu-satunya center islamisasi, meskipun penting. Dengan kata lain, proses islamisasi di Nusantara tak bisa dijelaskan dengan pendekatan tunggal, misalnya pendekatan kekuasaan (struktural atau top-down approach). Dalam banyak kasus, peran lembaga non-keraton (non-negara) atau bisa disebut pendekatan kultural lebih dominan dalam proses islamisasi yang butuh banyak aktor, institusi, dan piranti sosial. 

Karakteristik Islam di Jawa bisa jadi mewakili pendekatan kultural yang lebih kentara ketimbang pendekatan kekuasaan atau struktural. Sekali lagi bukan dalam pengertian demarkatif tapi berhimpitan. Contoh yang banyak dirujuk adalah peran krusial yang dimainkan Wali Songo dalam proses islamisasi Jawa. Berhadapan dengan masyarakat Jawa yang kenyal secara budaya dan kental dengan mistisisme, pengaruh agama Jawa dan kekuasaan politik Hindu dan Buddha, pendekatan soft-power dan people to people communication lebih ampuh ketimbang perang. Hasilnya yang khas adalah akulturasi atau asimilasi budaya –atau mungkin integrasi budaya—Jawa dan Islam yang sampai saat ini masih berlangsung. 

Namun demikian, pendekatan kekuasaan bukan ditinggalkan sama sekali. Sultan Agung Mataram menggunakan dua pendekatan itu secara apik. Contoh lain Sunan Giri. Beliau raja (susuhunan, Sunan, pandhita ratu) sekaligus ulama (wali). Dari kedhaton-nya di bukit Giri (Gresik), Sunan Giri mengajar tasawuf dan ilmu-ilmu agama dengan menggunakan medium tembang-tembang dolanan anak atau seni pertunjukan wayang. Pada saat yang sama wali yang bernama Raden Paku ini mengadakan ekspansi kekuasaan sampai ke Banjar dan Kutai Bornoe, Sumbawa, Bima, Gowa bahkan sampai Maluku. 

Sutan Ageng Tirtayasa Banten alias Pangeran Surya, bergelar Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah sedikit berbeda menerapkan perluasan kekuasaan Islam. Sultan yang dikenal pandai strategi perang ini mempercayakan pengajaran agama kepada Syekh Yusuf al-Makasari yang menjadi mufti kerajaan sekaligus penasehat spiritualnya. Sedikit ada kemiripan, ketika kerajaan Demak berkuasa, Raden Fatah melakukan konsolidasi Islam dengan kekuasaan, namun pendekatan kultural ada di tangan Dewan Wali Songo. Akan tetapi ketika Sultan Trenggona naik tahta, Islam disebarkan dengan pedang. Pasukan Demak melibatkan “pasukan berjubah” yang sangat militan (cikal bakal militerisasi sipil). Pendekatan ini berhasil meluaskan Islam, tapi mendapat tentangan internal dari para wali, terutama Sunan Kalijaga. Kenapa Sunan Kalijaga memakai simbol pakaian hitam-hitam adalah sebagai simbol 'protes' terhadap keadaan atau silent opposition terhadap kebijakan Trenggono.  

Jika ada perbedaan pendekatan islamisasi antara Jawa dan luar Jawa, menurut analisis Azyumardi Azra, lebih karena karakter budaya yang berbeda. Jawa terkenal kenyal atau elastis secara kultural, tak mudah menerima kultur baru. Tapi pada saat kultur luar itu menyatu dengan kultur asli Jawa, akan lebih tahan (adaptatif). Sumatera berbeda sedikit. Kasus islamisasi di Aceh, Palembang, Indragiri Riau, Medan, dan Minangkabau menampakkan kesamaan budaya, meski tak seratus persen. Aceh memiliki kultur budaya kosmopolit (salah satu ciri islamisasi Melayu adalah memperkenalkan watak kosmopolitanisme Islam ini). Di tangan Kesultanan Aceh Darussalam berabad-abad, kedudukan sultan dan ulama sama-sama signifikan. Kebijakan pemerintahan merupakan perpaduan antara unsur politik dan nilai Islam. Adagium “Raja Adil Raja Disembah, Raja Lalim Raja Disanggah” dan “Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah” contoh penerapan ajaran Islam dalam konteks kekuasaan dan adat. Kitab Bustanus Salatin yang dikarang Syekh Nuruddin Ar-Raniri berisi nilai Islam dan etika pemerintahan. Hal yang sama di Jawa, Sunan Bonang dan Sunan Kudus, juga Sunan Giri memperkenalkan etika politik yang dibungkus nilai Islam, terutama dari tasawuf.

Islamisasi di Sumatera juga disebarkan melalui sastra, sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Melayu. Hamzah Fansuri memperkenalkan syair ke dalam dunia Melayu, bahkan sebagai pioner kesusasteraan Melayu. Syamsudin Sumatrani, muridnya, menjadikan pantun sebagai medium menyampaikan pesan-pesan Islam ke tengah masyarakat Melayu. Isinya tentang ajaran tasawuf yang sulit, tetapi divernakularisasi dengan sangat baik melalui bahasa Melayu. Lalu ada prosa, gurindam12, hikayat, dan lain-lain.  

Di Jawa tak ada pantun, tapi muncul gending, tembang, seni pertunjukan (wayang). Semua itu dijadikan medium oleh Wali (di Melayu tak dikenal istilah Wali tetapi Syekh) untuk meluaskan Islam sesuai pandangan dunia masyarakat lokal. Wali Songo tak menolak budaya Jawa, tapi mengisinya dengan nilai dan ajaran Islam. Di Melayu sama. Hikayat, syair, prosa, dan pantun ditulis dengan huruf Arab yang dimelayukan (Pegon) lalu diajarkan ke masyarakat luas. Semua orang bisa mempelajari ilmu-ilmu yang awalnya sulit difahami dalam bahasa aslinya (Arab) melalui lisan dan tulisan. Bukankah ini mirip dengan adaptasi pesantren atas naskah-naskah Arab yang kemudian diajarkan dengan metode utawi-iku dan berbahasa Jawa-Arab (huruf Jawi)?

Demikianlah, Nusantara berproses menjadi bangsa muslim melalui etape yang panjang dan jalan berliku. Hingga hari ini. Capaian peradaban Islam Melayu-Nusantara yang begitu besar itu tak salah kalau disetarakan dengan peradaban dunia Islam lain seperti Islam Arab, Islam Persia, dan Islam Turki. Bagaimana tidak, dengan hasil pelembagaan pranata sosial yang massif, tradisi keilmuan yang tinggi, poros keulamaan yang mendunia dengan karya-karya ilmiah terbaik, ditambah geografi yang luas, dan demografi mencapai ratusan juta. Wajar kalau saat ini pemeluk Islam di wilayah ini terbesar di seluruh dunia. Dan Indonesia (poros utama Nusantara) menjadi bangsa muslim terbesar di dunia (the biggest moslem country in the world).[]
 
*Mastuki HS, Kapus Registrasi Sertifikasi Halal, BPJPH, Kemenag)