Mengkaji Fenomena Kasus Ferdy Sambo Dengan Teori Komunikasi Dalam Paradigma Kritis

Ferdy Sambo

Bengkulutoday.com - Kasus Brigadir J sebagai korban penembakan oleh FS, atasan korban dan kawan korban Brigadir RE, telah menjadi 'bola liar' dengan analisis dan tafsir beberapa ahli serta pengamat dengan versi masing-masing. Dengan demikian, tidak jelas lagi profil dan karakteristik  kasus  tersebut, perkara  pembunuhan  biasakah  atau  pembunuhan dengan direncanakan terlebih dulu. Belum selesai masalah status hukum perkara J, kini muncul kesimpang siuran pemberitaan yang ada di media massa terkait kasus tersebut. Berbagai media pun memberitakan mulai dari penanganan kasus hingga penetapan tersangka sehingga tidak dapat dipungkiri, media pun banyak menuangkan opini-opini kedalam pemberitaanya yang mengandung penggiringan hiperbola. Tujuan dari pada media tersebut tidak lain untuk meningkatkan ratting dari media itu sendiri. Kasus tersebut, yang telah mendominasi berita utama di Indonesia selama berminggu-minggu. Motif pembunuhan ini pun masih didalami. Dalam pengakuan terbaru, Irjen Sambo menyebut pembunuhan ini dilakukan lantaran Brigadir J dianggap pernah melakukan tindakan tidak senonoh dan pelecehan kepada istrinya, Putri Candrawathi.

Kini, bukan hanya menyoal kasusnya saja, pembahasan kematian Brigadir J di sosial media telah melebar, bahkan cenderung liar hingga memunculkan beragam isu negatif. Mulai dari isu perselingkuhan Putri dengan ajudannya, perselingkuhan Ferdy Sambo dengan Polwan cantik, hingga isu Ferdy Sambo LGBT. Dua pekan terakhir, bahkan muncul isu lebih liar, dengan kemunculan dua bagan konsorsium 303. Dalam bagan tertera sederet nama perwira Polisi yang mengorganisasi kegiatan judi di Indonesia. Bagan pertama Ferdy Sambo di puncak strukturnya. Sedangkan bagan kedua, Kabareskrim Polri Agus Andrianto yang berada di puncak struktur. Terlepas benar atau tidaknya, bagan tersebut telah membongkar habis kebobrokan institusi Polri. Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso berasumsi bagan dibuat oleh kelompok-kelompok di internal kepolisian yang berlawanan dengan Ferdy Sambo. Tujuannya, mungkin ingin menggusur Ferdy Sambo dan kawan-kawannya dari posisi elite Polri.

Menarik dari kasus diatas, penulis melakukan analisis mengenai paradigma Kritis akan kasus Ferdy sambo tersebut. Paradigma keilmuan itu sendiri merupakan sistem keseluruhan dari berfikir. Paradigma terdiri dari asumsi dasar, teknik riset yang digunakan, dan contoh seperti apa seharusnya teknik riset yang baik. Ilmu sosial kritis sering dikaitkan dengan teori konflik, analisis feminis, dan psikoterapi radikal serta dikaitkan dengan teori kritis yang pertama kali dikembangkan oleh Frankfurt School di Jerman pada tahun 1930an. Ilmu sosial kritis mendefinisikan ilmu sosial sebagai proses kritis penyelidikan yang melampaui ilusi permukaanuntuk mengungkap struktur nyata di dunia material dalam rangka membantu orang mengubah kyang lebih baik dari kondisi dan membangun dunia bagi diri mereka sendiri  (Neuman, 2013:123-124).

Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280).  Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol? Ada kepentingan apa?. Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses komunikasi masyarakat. Hal ini menyatakan bahwa proses penyebaran dan aktivitas komunikasi massa juga sangat dipengaruhi oleh struktur ekonomi politik masyarakat yang bersangkutan

(Ahli: Bharada E Punya Tingkat Kejujuran Tinggi di 2 Tes Asesmen)
 
Terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Richard Eliezer usai menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negri Jakarta Selatan, Rabu (7/12/2022). Ferdy Sambo menjadi saksi untuk terdakwa Richard Eliezer, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf di persidangan perkara pembunuhan berencana Brigadir J.

Liputan6.com, Jakarta Psikolog Klinis Dewasa, Liza Marielly Djaprie, mengungkap Bharada Richard Eliezer alias Bharada E memiliki tingkat kejujuran yang tinggi. Hal tersebut diungkapkannya saat dihadirkan sebagai ahli oleh pengacara Bharada E. Liza mengatakan, hasil tersebut didapat usai melakukan serangkaian tes asesmen kepada Bharada E. Pada tes kedua adalah Anamnesa melalui metode wawancara dan observasi. 

Pada tes ini pihak kkeluarga Richard turut dilibatkan juga. Alhasil tes tersebutpun menjelaskan bahwa bharade E memiliki tingkat kejujuran yang tinggi. Awalnya, pengacara pria yang akrab disapa Richard itu, Ronny Talapessy, menanyakan ke ahli apakah Bharada E berkata jujur atau tidak saat dilakukan pemeriksaan mengenai peristiwa penembakan Yosua alias Brigadir J. Liza kemudian menjelaskan, Richard telah melalui dua tes, yakni Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MNPI) dan Anamnesa. "Hasil tes di mana hasil tes kita juga ada yang namanya MNPI di mana dalam alat tes inventory tersebut memang kita akan men-detect level kebohongan, apakah bisa dipercaya, realibitasnya bagaimana, validitas hasil asesmen dia seperti apa," papar Liza dalam ruang sidang PN, Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022). 

Liza menyebut dari hasil tes pertama yang dilakukan itu menunjukan, Richard Eliezer berkata jujur. Dia mengatakan, hasil asesmennya itu pun bisa dipertanggungjawabkan. Pada tes kedua adalah Anamnesa melalui metode wawancara dan observasi. Pada tes kali ini, pihak keluarga Richard turut dilibatkan juga. Alhasil tes tersebut pun menjelaskan bahwa Bharada E memiliki tingkat kejujuran yang tinggi. Dia lalu menjelaskan soal tes Anamnesa ini. Tes Anamnesa berupa wawancara. Tes ini dilakukan langsung kepada individu terkait, dalam hal ini Richard. Juga aloanamnesa yaitu, dengan orang tuanya.

Hasil Tes Kedua "Dari hasil wawancara tersebut, hasil observasi, semua ada tanda-tanda kemudian gestur tubuhnya juga kita bisa membedakan mana gestur yang sedang berbohong atau tidak benar, mana gestur yang mengatakan kejujuran kemudian setelah itu kita cross check dengan pihak orang tua walaupun di waktu dan tempat yang berbeda tetapi dua duanya kurang lebih mengatakan hal yang sama," kata Liza. "Semua ada tanda tanda yang menunjukkan ada tingkat kejujuran yang cukup tinggi dalam arti ceritanya runut," lanjut dia. Liza dihadirkan pihak kuasa hukum Bharada E di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memberikan kesaksian upaya untuk meringankan hukuman kliennya perkara pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Pandangan Kritis 
Menurut pandangan Kritis dari saya, ternyata masih banyak publik yang terjebak dalam kasus Sambo dan menilai bahwa kasus telah selesai dengan pengakuan Sambo sebagai pelaku pembunuhan dengan pengakuan dari Bharade E yang menyebutkan bahwa Ferdy Sambo yang memerintahkan beliau untuk menembak Brigadir J, Begitu hebatnya pemberitaan, sehingga kasus yang sebenarnya baru dimulai, seolah-olah telah sampai pada akhir cerita. sejak kasus Sambo mencuat telah ada skenario-skenario yang disusun untuk mempengaruhi hukum. Pada skenario pertama yang awalnya diyakini publik, ternyata gugur setelah ada pengakuan jujur dari Bharada E. Namun meski sekarang skenario dua sudah makin menguat, bisa saja muncul skenario ketiga dan seterusnya. Semuanya serba mungkin. Oleh karenanya, keadilan harus ditegakkan tanpa terkecuali dalam kasus ini.

Namun, saya melihat banyak sekali pendapat yang bermunculan atas kasus penembakan yang terjadi. Salah satunya ada yang mengatakan Bharada E bisa bebas karena melaksanakan perintah jabatan, bahkan banyak komentator mengatakan itu bisa karena melaksanakan perintah atasan. Jadi kalau Bharada E sebagai ajudan Kadiv Propam, ruang lingkup tugasnya tidak ada untuk menembak orang, karena bukan lingkup dia. Kalau atas dasar diancam, dipaksa, itu lain soal lain cerita, Tapi kalau atas perintah jabatan menurut saya kurang tepat. Semenjak terjadi kasus ini, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi turun pasca terjadinya kasus pembunuhan Brigadir J yang dilakukan oleh Irjen Ferdy Sambo. Banyak Publik beranggapan bahwa semua aparat kepolisian mempunyai sifat yang sama dengan Ferdy sambo, padahal realitanya hanya sebagian oknum yang merusak citra institusi kepolisian buruk dimata publik. Namun media seolah-olah menutup mata akan hal tersebut, media terus menggiring opini-opini yang menyudutkan institusi kepolisian agar memiliki citra yang buruk dimata publik. 

Artikel ini ditulis oleh Ajeng Maya Rizki (Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu/NPM: D2E022001)